Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Arogansi Oknum Pejabat Khas Orde Baru

15 Agustus 2019   20:48 Diperbarui: 15 Agustus 2019   21:02 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan ini viral sebuah video tentang seorang siswa SMA di Labuhan Batu, Sumatera Utara, yang dicoret dari daftar anggota paskibra (pasukan kibar bendera) pada HUT ke-74 RI, 17 Agustus 2019 nanti.

Ceritanya, siswa bernama Koko itu berlatar belakang keluarga tak mampu. Dia termasuk salah seorang siswa setempat yang lolos audisi untuk menjadi anggota paskibra di kabupaten.

Bersama rekan-rekannya yang lolos audisi Koko sudah menjalani pelatihan sehingga layak untuk tampil di hari H. Segala keperluan untuk menjadi seorang anggota paskibra pun sudah komplit dia miliki, termasuk pakaian, sepatu, topi, dll. 

Namun bak disambar petir di siang bolong, Koko mendapati kenyataan pahit, sebab namanya tidak lagi tercantum di daftar nama-nama anggota pengerek bendera nasional tersebut.

Tragis, padahal hanya beberapa hari menjelang tibanya hari yang sangat bersejarah itu, dirinya seolah dicampakkan tanpa penjelasan yang logis.

Lebih pilu lagi, sebab tempatnya di daftar itu sudah digantikan oleh nama seorang siswa lain, yang ternyata anak pejabat setempat. 

Nasib malang anak ini dengan cepat diketahui seluruh bangsa Indonesia, karena videonya sudah mem-viral. Koko yang mengenakan seragam sekolah SMA-nya tampak memperagakan orang yang sedang berbaris sebagaimana layaknya pasukan paskibra. Tampak wajahnya memelas seperti menahan tangis. Video itu direkam di rumahnya yang sederhana, di mana tampak pula ibundanya duduk di sampingnya dengan wajah tak kalah sendu. 

Setelah berita ini viral, terdengarlah pembelaan dari oknum-oknum soal penggantian nama peserta paskibra ini. Katanya, anggota paskibra itu ditentukan lewat dua jalur: 1) seleksi atau audisi ketat, dan 2) penunjukan oleh pejabat. 

Jalur kedua (penunjukan oleh pejabat), kalau memang benar adanya, sudah sangat tidak relevan di era yang serba ketat persaingan ini. Kalau masih ada kebijakan semacam ini, sama saja membawa negeri ini ke kondisi Orde Baru yang serba main tunjuk. Dulu itu, orang mau masuk universitas terkemuka, tidak usah ikut testing, sudah ada jatah. Mau bekerja di instansi pun tidak perlu seleksi kalau punya keluarga, kerabat atau backing  di instansi tersebut.

Ini lagi kisah nyata di masa Orba dulu. Seorang kawan yang baru lulus dari  fakultas hukum sebuah universitas swasta, bisa langsung masuk kerja di sebuah instansi pemerintah, lewat jalur "jatah". Kabarnya, di instansi tersebut, seorang pegawai apalagi sudah berstatus pejabat bisa digantikan oleh sanak suudara atau siapa pun yang dia kehendaki untuk menggantikan posisinya jika pensiun atau meninggal.

Kawan saya itu memang beruntung, bak kejatuhan durian runtuh. Setelah dia selesai kuliah dan mulai kasak-kusuk melamar pekerjaan ke sana ke mari, tiba-tiba seorang kerabat dekatnya, pegawai di suatu instansi, meninggal dunia.

Berhubung tidak ada anak kandung atau adik almarhum yang punya titel sarjana hukum pada saat itu, maka posisi itu diberikan kepada kawan saya yang masih kerabat dekatnya. Itu kejadian puluhan tahun loh, yang sudah tidak mungkin lagi terjadi di masa reformasi ini.

Di era reformasi ini kita sudah sangat yakin bahwa rekrutmen untuk menjadi PNS atau pendidikan kemiliteran/kepolisian tidak lagi mengenal sistem penjatahan, sogok-sogokan atau backing.

Semua proses rekrutmen sudah dilakukan secara transparan, dan semua warga negara sama hak dan kesempatannya untuk diterima, asal saja memenuhi segala persyaratan dan lulus testing atau audisi, tentu saja.

Betapa kita tidak terpesona oleh peristiwa beberapa tahun silam ketika Kahiyang Ayu, putri Presiden Jokowi  yang baru lulus sarjana S1, dan melamar untuk menjadi pegawai Pemda Surakarta.

Sama seperti ribuan pelamar lainnya, Kahiyang Ayu juga mengikuti testing. Namun ternyata Kahiyang tidak lulus. Padahal, Jokowi, hanya dengan mengedipkan mata kepada panitia rekrutmen pun, sudah pasti meloloskan Kahiyang. 

Itu hanya secuil contoh anyar  bahwasanya era millenium 3 ini bukan lagi zamannya pejabat setinggi apa pun pangkat dan jabatannya, punya hak istimewa menunjuk atau menitipkan seseorang untuk diterima bekerja, atau dalam konteks ini, menjadi anggota paskibra.  Bisa saja mungkin kalau siswa yang ditunjuk  itu memulai dari nol, sama-sama latihan dari awal, dan lulus dalam seleksi atau audisi.

Tetapi kasus di Labuhan Batu ini sungguh tidak elok, sebab oknum pejabat menyusupkan anaknya sendiri, tanpa ikut audisi, tanpa latihan keras. Lebih nista lagi karena untuk itu  seorang anggota yang memulai dari awal, dan lulus, harus tersingkir demi ambisi oknum pejabat yang tidak punya rasa hormat dan rasa malu itu.

Maka demi keadilan, praktik-praktik khas Orba semacam ini harus segera dinyatakan sebagai perbuatan melanggar hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun