Setiap berada di Kota Surabaya, ibukota Provinsi Jawa Timur, penulis selalu sempatkan untuk menyeberang ke Pulau Madura. Bagi penulis, menyeberang dengan ferry tetap lebih asyik ketimbang melintasi Jembatan Suramadu yang sudah digratiskan oleh Presiden Jokowi sejak beberapa waktu lalu. Bagaimanapun juga, menyeberangi Selat Madura dengan kapal ferry itu lebih alami, historis dan asyik.Â
Sebelum ada Jembatan Suramadu, mengarungi Selat Madura pakai ferry menjadi satu-satunya cara untuk tiba di Pulau Garam tersebut. Tapi karena jarak daratan Pulau Jawa (Tanjung Perak, Surabaya) tidak terlalu jauh dari Madura, maka kapal-kapal ferry yang beroperasi di sana pun tidak sebesar kapal-kapal penyeberangan yang beroperasi di Selat Sunda, yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Lampung, Sumatera.Â
Dan jika waktu tempuh kapal dari Pelabuhan Merak (Banten) ke Pelabuhan Bakauheni (Lampung) memerlukan waktu kurang-lebih tiga jam, menyeberangi Selat Madura hanya butuh waktu sekitar 20 menit.Â
Bahkan dari  Pelabuhan  Tanjung Perak, daratan Pulau Madura terlihat dengan jelas saking dekatnya, demikian sebaliknya.
Beroperasinya jembatan Suramadu sejak beberapa tahun lalu itu, jelas sangat memengaruhi aktivitas penyeberangan di Selat Madura. Aktivitas di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dan Kamal (Madura), jadi berkurang drastis.Â
Dan ketika jembatan Suramadu sudah digratiskan beberapa waktu lalu oleh Presiden Jokowi, aktivitas pelabuhan di Selat Madura semakin berkurang pula. Hal itu diakui oleh salah seorang petugas pelabuhan yang ditanya oleh penulis sewaktu ke sana, pada akhir Desember 2018 lalu.
Tetapi bagaimanapun juga, aktivitas di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya dengan Pelabuhan Kamal, Madura itu tidak akan pernah hilang, sekalipun Jembatan Suramadu sudah lebih praktis dan cepat.Â
Sebab toh tidak semua orang yang bepergian ke Pulau Madura harus melewati jembatan Suramadu. Bahkan mungkin lebih asyik naik ferry, sekalipun mungkin lebih lama.
Makin sepinya aktivitas penyeberangan di Selat Madura itu tampaknya  berpengaruh besar pula terhadap keberadaan pasar yang ada di kawasan pelabuhan Kamal itu. Pasar menjadi seperti tidak berpenghuni.Â
Banyak kios yang sudah tutup, dan di sana-sini dalam kondisi kotor, kumuh tidak terawat. Mengenaskan tentu saja. Tapi apa mau dikata. Ratusan atau bahkan ribuan orang  yang selama ini setiap detik, setiap jam berlalu lalang di sana, seiring tiba dan berangkatnya kapal ferry, kini jumlahnya sudah berkurang drastis.Â