Tabloid BOLA ini dulu merupakan salah satu media favorit saya di masa muda. Sebagai penggemar olahraga sepakbola, tabloid yang bermarkas di bilangan Palmerah, Jakarta Barat ini menjadi rujukan yang paling saya percaya tentang berita-berita dari dunia sepakbola. Tabloid ini terbit sekali seminggu. Kalau tidak salah setiap Jumat atau Selasa ya?
Maklum sejak media online sudah kebutuhan, tidak pernah lagi membaca cetak, jadi sudah lupa hari terbitnya. Tapi yang pasti, pernah juga tabloid BOLA ini terbit dua kali sepekan. Â
Dan waktu itu harganya Rp 1.000 per eksemplar. Sebagai mahasiswa yang serba pas-pasan di masa itu, saya tidak selalu membeli tabloid ini secara rutin. Saya sering membacanya di perpustakaan kampus.
Namun meskipun kampus melanggan tabloid ini, ada kalanya--bahkan sering tidak diletakkan di meja untuk dibaca mahasiswa yang datang. Paling kalau sudah "kadaluarsa" barulah ditaruh staf perpus di tempat baca.
Maka saya pun tidak selalu berharap akan bisa membaca tabloid Bola pada minggu-minggu dia terbit, sebab seperti saya katakan tadi, pihak perpustakaan sering "umpetin" tabloid tersebut. Untuk berlangganan rasanya tidak sanggup membayar. Bahkan untuk membeli edisi terbaru dengan harga Rp 1.000 waktu itu sering harus mikir-mikir dulu.
Maklum waktu itu kan duit Rp 1.000 sangat perkasa. Bagi saya anak kost, dengan uang Rp 1.000 itu sudah bisa dipakai buat makan satu hari, bahkan kadang dua hari di warteg langganan. Dengan syarat, jenis makanan yang kita beli itu hanya untuk menyumpal perut supaya tidak kelaparan dan masuk angin. Nasi sepiring ditambah tempe urik, dan kadang sayur, bisa dengan harga Rp 300,-
Maka, meski sangat ingin membeli tabloid BOLA edisi terbaru, namun mengingat keterbatasan uang, saya pun sering menunggu dua tiga hari. Sebab seringkali setelah pertengahan pekan, ada agen atau kios yang menurunkan harganya menjadi Rp 500,- Bahkan kalau lagi mujur, kadang di edisi terbaru ada yang sudah obral setengah harga di jalan-jalan. Dan ini pasti tidak saya lewatkan.
Waktu itu, sebagai mahasiswa, saya sudah biasa menulis artikel-artikel yang sifatnya ringan dan bersifat hiburan di beberapa media. Wajar bila saya terobsesi menulis artikel di BOLA. Entah sudah berapa kali saya mengirim tulisan atau ulasan tentang sepakbola ke tabloid ini, namun tidak pernah diterima.
Awalnya saya mengirim artikel lewat kantor pos. Namun karena tidak pernah dimuat, saya pun mengantarkan sendiri artikel ke kantor redaksi bila sedang kosong jam kuliah. Saya ingin sekalian bertemu dengan redaksi atau pengasuh rubrik supaya bisa mengobrol sedikit sambil berkenalan. Bukankah kata orang: "kenal maka sayang...". Siapa tahu karena sudah saling kenal, artikel saya dimuat. Dan kalau artikel sudah sering dimuat dan banyak anggota redaksi  yang kenal, kalau melamar pekerjaan ke kantor ini kan lebih gampang. Begitu angan-angan saya ketika itu.
Tapi di beranda kantor BOLA, kita hanya diperkenankan menyerahkan artikel ke resepsionis yang sekaligus memberikan surat tanda terima. Tidak diperkenankan masuk ke dalam ruangan kantor redaksi atau ingin bertemu dengan anggota redaksi kalau tidak ada urgensinya.
Kalau mau masukin artikel, hanya lewat resepsionis. Dan entah beberapa kali saya mengantarkan artikel langsung ke kantor redaksi, tidak pernah juga lolos. "Nasib-nasib..." keluh saya waktu itu.
Merasa mentok di artikel, saya pun mencoba peruntungan melukis kartun, dan mengantarkannya ke redaksi. Bukan sekali dua kali, tetapi berkali-kali.
Hari baik itu akhirnya tiba juga. Tak terkirakan girangnya saya ketika kartun pertama saya dimuat di edisi Jumat. Saya pun lebih rajin dan bersemangat membuat kartun dan mengantarkan ke redaksi. Dalam sebulan, bisa sekali atau dua kali dimuat kartun saya.
Dan honorarium untuk sebiji kartun saat itu, lumayan besar juga untuk ukuran mahasiswa indekos yang tiap bulan dibiayai orang tua lewat uang yang dikirim pakai wessel pos. Anak-anak millenia pasti tidak ada lagi yang tahu apa gerangan wessel pos ini.Â
Mau tahu berapa bayaran sebiji kartun saya waktu itu? Rp 30.000, coy! Kalau tadi saya ilustrasikan bahwa dengan uang Rp 1.000 saja sudah bisa diirit-irit untuk makan satu-dua hari di warteg terdekat, maka uang sebesar Rp 30.000 itu sudah seperti apa ya besarnya? Hihihihihih...
Dan begitulah, kalau saya rajin mengantarkan kartun ke kantor redaksi, kemungkinan besar di edisi baru akan dimuat. Dan yang lebih membahagiakan adalah honorarium kartun sudah bisa diambil satu minggu setelah diterbitkan, kalau kita sendiri yang datang ke kantor BOLA untuk mengambilnya. Sedangkan bila ingin dikirimkan lewat kantor pos--pakai wessel pos--harus sabar menunggu sebulan.
Bagi saya yang hidup di alam kos dan sering defisit dalam hal keuangan, menanti kiriman via kantor pos tentu bukan sikap yang cerdas. Maka saya selalu mengambil sendiri sambil membawa juga beberapa kartun baru untuk edisi yang akan terbit. Saya baru berhenti mengirim kartun ke BOLA setelah bekerja di sebuah media, dan tidak ada waktu untuk membuat kartun lagi.Â
Tabloid BOLA telah pergi. Namun dia pernah menghiasi lembaran hidup saya, pernah membantu meringankan beban hidup walau hanya beberapa saat. Untuk semua kenangan indah itu, saya ucapkan terimakasih yang tiada terhingga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H