Pekan ini pihak oposisi bagaikan mendapatkan amunisi baru untuk mengganggu pemerintah (baca: Presiden Jokowi). Berawal dari pidato Jokowi di Sentul, Jawa Barat dalam rangka rapat umum pendukung Jokowi, Sabtu (4/8/2018).
Dalam pidatonya Jokowi antara lain mengatakan: "Jangan bangun permusuhan, jangan membangun ujaran kebencian, jangan membangun fitnah-fitnah, tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang. Tapi, kalau diajak berantem juga berani!"
Pidato ini disambut antusias dan penuh semangat oleh para relawan yang memenuhi Sentul International Convention Center (SICC) tersebut. Respon hadirin yang sangat bersemangat itu wajar saja, terlebih lagi jika mengingat bahwa selama ini pihak oposisi terkesan "bisa melakukan apa saja" untuk mengganggu, melecehkan, mendiskreditkan, menjelekkan pemerintah, secara khusus pribadi dan keluarga Presiden Jokowi.
Bagi pengguna aktif medsos, pasti tahu bagaimana misalnya Jokowi terus-menerus dituduh sebagai anggota PKI; tidak punya orang tua yang jelas asal-usulnya; harus tes DNA, dll. Presiden yang dikenal sebagai taat beragama sejak masa kanak-kanak hingga menjadi presiden sekarang ini, mendapat serangan pula dengan sebutan sebagai musuh ulama, antiagama, dan lain sebagainya. Lucu sekali mereka!
Didera aneka tudingan tak berdasar dan tak bertanggung jawab seperti ini--jangankan pendukung Jokowi--orang-orang yang bersikap netral, pasti merasa tersinggung. Hebatnya, Presiden Jokowi sendiri menanggapinya dengan dingin, dan tidak tersulut emosi. Kita pun yakin bahwa tuduhan-tuduhan itu tujuannya hanyalah untuk menjatuhkan nama baik Jokowi, untuk membuat simpati rakyat hilang.Â
Kejam dan sadis memang cara-cara yang dilakukan oleh pihak oposisi yang haus kekuasaan tersebut. Mereka juga ingin mengganggu konsentrasi pemerintah supaya kebijakan dan pekerjaan amburadul.
Coba, ketika nilai rupiah terus melemah terhadap mata uang asing, siapa yang bersorak girang? Apabila kondisi negara tidak sehat atau tidak stabil, siapa yang berbahagia? Kegagalan pemerintah adalah pintu masuk mereka meraih kekuasaan yang sejak lama didambakan. Dalih ingin membawa negeri ini ke posisi terhormat dan disegani dunia? Itu hanyalah jargon usang yang semua orang pasti memidatokannya dalam setiap kampanye pilpres.
Sangat banyak karya dan gebrakan pemerintah Jokowi yang membuat kita sebagai anak bangsa merasa sangat optimis menatap ke masa depan. Pembangunan infrastruktur di mana-mana yang pasti akan membawa manfaat untuk generasi kini dan generasi mendatang, di mata oposisi itu hanya bayang-bayang semu. Mereka hanya mempersoalkan hutang-hutang pemerintah, harga telur yang naik.
Pemberantasan korupsi yang masif dengan dicokoknya sejumlah oknum pejabat daerah dan politikus yang nyambi sebagai maling, menggarong uang rakyat, bukannya didukung, malah balik menuduh parpol pendukung pemerintah sarang koruptor.Â
Pemerintah dengan dahsyat mulai mengambil alih aset bangsa semacam Freeport dan Blok Rokan, namun oposisi menyoal tentang Indosat, Pertamina, dll. Singkatnya, tidak ada satu hal pun kerja pemerintah yang bagus pun di mata mereka. Kejadian apa pun diolah dan dijadikan isu untuk kemudian disebarkan ke masyarakat luas. Dengan sadar mereka menyesatkan publik dengan isu-isu yang digoreng sedemikian rupa, demi kekuasaan.
Kini, pidato Jokowi di Sentul dibolak-balik mereka sebagai provokasi Jokowi untuk berkelahi dengan sesama anak bangsa. Mereka sendiri paham bahwa pidato tersebut sama sekali tidak ada unsur untuk mencari permusuhan atau lawan. Apalagi, beberapa detik kemudian Jokowi menyambung pidatonya tadi dengan kalimat: "Tapi jangan ngajak (berantem) loh. Saya bilang tadi, tolong digarisbawahi. Jangan ngajak. Kalau diajak (berantem), tidak boleh takut," kata Jokowi lagi-lagi disambut antusias oleh para relawan.
Dan konteksnya pun berantem di media sosial, bukan fisik! Jadi sangat jelas, tidak ada yang perlu dipersoalkan dari pidato tersebut. Itu hanya soal membela diri kalau mendapat perlakuan semena-mena. Dalam konteks ini, fitnah dan hoax yang disebarkan oleh mereka di medsos, ya harus dilawan/ditanggapi di medsos pula. Tapi pihak sebelah merespon dengan cara ngawur.Â
Kemudian setiap pihak mengomentari pidato itu dengan bumbu-bumbu penyedap untuk kepentingannya sendiri, atau kelompok mereka sendiri. Orang-orang yang selama ini kita kira pintar dan cerdas, ternyata kualitas nalarnya tidak beda dari seorang idiot dalam mengomentari pidato tersebut di media sosial seperti Twitter, dll. Dan mereka memang tidak perduli, sebab yang mereka incar adalah posisi dan kenikmatan jabatan dari pihak yang mereka dukung.
Kondisi terkini semakin memperlihatkan kualitas mental pihak sebelah yang sebenarnya kacau. Kelompok ini tanpa merasa risih atau tidak merasa bersalah sedikit pun gencar melakukan aksi-aksi demo yang terang-terangan menyerang presiden dengan kampanye #2019gantipresiden. Mereka beraksi dari satu kota ke kota lain.
Dalam orasi, mereka pasti melontarkan isu-isu yang buruk soal pemerintah dan presiden. Begitu bebasnya mereka seolah tidak ada yang berhak melarang atau menghentikan aksi tersebut. Padahal tindakan semacam itu, yang ingin mengganti pemerintah secara tidak sah, tergolong makar. Sebab kalau ingin mengganti presiden toh sudah ada mekanismenya, yakni pilpres tahun 2019, yang hanya beberapa bulan lagi dari sekarang.
Aksi-aksi (demo), sebar hoax, fitnah, dll., yang berpotensi memecah-belah bangsa inilah yang harus dilawan, sebab bila dibiarkan akan menjadi preseden buruk di masa-masa mendatang. Bila cara-cara ini tidak dihentikan, maka demokrasi menjadi tidak berguna, yang terjadi adalah anarki! Maka, demi memberikan pendidikan politik yang bermartabat, aksi-aksi yang mencederai demokrasi dan kepatutan, harus dilawan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H