Lebaran dua tahun silam, saya di Surabaya mengisi libur sepuluh hari. Bosan pula, di rumah (mertua) terus. Pinginnya sih jalan-jalan ke Bali, dua tiga hari, sendirian saja. Mau ikut acara keluarga, ogah, mending balik ke Jakarta. Daripada kembali ke DKI, lebih keren dolan ke Bali, dengan tarif ekonomis. Uang pegangan hanya Rp 1 juta, yang menghuni dompet saya ketika berangkat dari Jakarta kemarinnya. Bisakah?Â
Kalau mau merogoh kocek lebih dalam, memeras kartu ATM sendiri, tidak masalah sih berwisata ke Bali dari Surabaya selama dua tiga hari. Nginap dua malam di hotel kelas melati.Â
Tapi rasanya kok tidak "nendang" ya, tidak ada tantangan sama sekali. Liburan dengan gaya konvensional seperti itu, sangat tidak layak bagi seseorang yang di masa muda gemar berpetualang, semacam saya.Â
Saya ingin ke Bali dengan modal nekat (Rp 1 juta). Akan banyak cerita kalau ini bisa saya tunaikan. Andaikata saya punya uang Rp 5 juta misalnya, dan bolak-balik Surabaya - Bali - Surabaya dalam dua hari, tidak ada yang perlu diceritakan. Semua orang pasti bisa. Tapi dengan hanya Rp 1 juta? Ini misteri yang harus ditaklukkan!
Niat ini saya utarakan ke istri. Seperti saya duga, tidak mendapat restu. Tapi saya (mantan) petualang, yang suka menempuh perjalanan tidak lazim. Paginya saya naik angkot menuju Stasiun Gubeng, Surabaya. Sebab dari stasiun sanalah kereta api berangkat menuju Banyuwangi. Semalam saya sudah berselancar di internet untuk mencari info dalam rangka mewujudkan rencana saya ini.Â
Sebenarnya ada kereta api dari Stasiun Lempuyangan Yogyakarta langsung menuju stasiun akhir Banyuwangi. Tetapi saya sudah di Surabaya, dan harus naik kereta api yang diberangkatkan dari Gubeng!
Saya makin percaya diri berpetualang di Pulau Bali dengan modal cuma Rp 1 juta itu, setelah via internet saya dapat info tentang tarif-tarif penginapan yang murah-meriah di kota-kota wisata. Ada yang hanya Rp 50.000 semalam. Kalau misalnya tiga malam di Bali, saya hanya mengeluarkan Rp 150.000 untuk akomodasi.Â
Bagaimanapun, penginapan itu vital untuk tempat istirahat di malam hari. Tarif kereta api ekonomi Stasiun Gubeng - Banyuwangi pun paling murah Rp 50.000. Harga ini tentu saja sesuai dengan skenario saya. Lama perjalanan kurang-lebih 10 jam! Dari Banyuwangi kita ke Pelabuhan Ketapang, lalu naik kapal ke Gilimanuk, pintu gerbang Pulau Bali!
Setelah hitung-hitung biaya nginap 2-3 malam di Bali dan ongkos kereta api pergi dan balik lagi ke Surabaya, hanya Rp 250.000. Artinya uang di saku untuk makan, ngopi dan ongkos-ongkos di jalan menuju tempat wisata masih lebih dari cukup. Syaratnya, tentu saja, kita harus pandai-pandai memilih warung atau kantin yang murah untuk makan siang atau malam.Â
Maka carilah warung-warung tradisional milik warga pribumi yang memang diskenariokan hanya untuk warga setempat. Jangan masuk ke restoran atau gerai di pinggir pantai yang memasang tarif dalam US dolar.Â
Beberapa tahun sebelumnya saya memang sudah pernah ke Sanur Bali, dalam rangka acara kantor selama dua hari. Waktu itu  nginap di hotel berbintang. Dan waktu jalan-jalan, saya menemukan warung tradisional yang harga-harganya juga  disesuaikan dengan kantong warga pribumi. Ketika itu saya memesan nasi  goreng dengan harga Rp 10.000,- Dan rasanya uenak tenaaan... Â
Nanti saya makan siang atau malam di warung-warung seperti ini saja. Toh niat saya ke Bali kali ini hanya jalan-jalan untuk menikmati daerah-daerah wisata, bukan untuk menikmati makanan khas atau kuliner.Â
Karena sudah pernah sekali ke Bali itulah maka saya berani "nekat" dengan hanya modal Rp 1 juta menyeberang dari Surabaya. Sebab paling tidak, saya sama sekali tidak buta lagi soal Pulau Dewata tersebut. Ditambah banyak informasi dari internet, maka saya makin yakin bakal sukses menaklukkan kawasan wisata kelas dunia itu dengan bermodalkan hanya Rp 1 juta.Â
Dan yang paling penting, andaikata saya tidak kebagian tempat penginapan murah-meriah sebagaimana info di internet, saya sudah siap menghabiskan malam di tempat-tempat ibadah, misalnya. Apalagi soal yang satu ini saya sudah punya pengalaman cukup banyak kalau lagi di luar kota: nginap di beranda tempat ibadah, karena tidak punya uang menginap di losmen.
Dengan bermodal info yang sangat memadai untuk melakoni petualangan saya, dan uang di dompet hanya Rp 1 juta, saya berangkat dari rumah menuju St. KA Gubeng Surabaya. Saya hanya memanggul tas ransel berisi tiga potong kaos dan pakaian dalam, handuk, dan alat-alat mandi. Stasiun Gubeng  sangat ramai membeludak, maklum momen Lebaran, saya menuju loket untuk membeli tike kelas ekonomi PP ke Banyuwangi.Â
Tapi petugasnya bilang tiket ekonomi untuk beberapa hari ke depan sudah ludes. Yang masih ada untuk hari ini hanya kelas bisnis/eksekutif yang tarifnya Rp 250.000 sekali jalan. Itu pun tinggal 5 tiket lagi. Kereta berangkat dua jam lagi!
Saya pun berhitung: Rp 250.000 x dua tiket PP = Rp 500.000. Artinya uang yang sisa Rp 500.000,- Dengan uang segini, terus terang saya tidak berani melakoni petualangan nekat ini ke Bali. Maka dengan langkah lunglai, saya tinggalkan emperan Stasiun Gubeng, naik angkot menuju rumah. Disambut derai tawa dan ledekan istri. Hihihihihihihihih...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H