Diangkatnya Haji Mochtar Ngabalin menjadi tenaga ahli utama Kantor Staf Kepresidenan belum lama ini, mestinya tidak mengagetkan. Karena memang itulah politik. Dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi, yang ada adalah kepentingan. Lagi pula, kejadian seperti ini bukan kali yang pertama.
Contoh paling anyar pun belum jauh berselang. Parpol-parpol pendukung capres Prabowo - Hatta yang terangkum dalam Koalisi Merah Putih (KMP), pasca-Pilpres 2014, satu demi satu berbalik menjadi pendukung Presiden Jokowi. Yang dulu mencela dan mengecam, kini memuji dan membela.
Mochtar Ngabalin adalah sosok penuh warna. Dia pernah menjadi kader Partai Bulan Bintang (PBB) pimpinan Prof Dr. Yusril Ihza Mahendra yang punya agenda mengusung syariat Islam. Ngabalin bahkan dikenal sebagai salah seorang pejuang syariat Islam.
Dalam Pilpres 2014, Ngabalin berada di barisan KMP, pendukung Prabowo-Hatta. Ketika itu, pria bersorban ini sempat memicu heboh dengan statemennya dalam kampanye: "Kita mendesak Allah SWT berpihak kepada kebenaran, berpihak kepada Prabowo-Hatta. Setuju?" ucap Ngabalin disambut teriakan "setuju" dari para pendukung.
Partai politik (parpol) bukan agama, maka silakan saja pindah-pindah parpol kalau memang sudah tidak cocok. Tentang hal ini sudah pernah saya tulis di Kompasiana dengan judul: "Karena Parpol Bukan Agama, Kalau Tak Suka Silakan Pindah Partai". Dari itu, adalah tidak salah bila kemudian hari Ngabalin menanggalkan jaket hijau PBB-nya dan bersalin jaket kuning Golkar!
Tentang ini pun, Ngabalin punya alasan tersendiri, bahwa ayahandanya dulu adalah Golkar, maka sah-sah saja dia kembali ke Golkar. Dan apabila suatu ketika nanti dia mengenakan jaket merah PDIP misalnya, itu urusan dan hak dia. Tak usahlah sok sewot menuduhnya sebagai "kutu loncat". Lagi pula, emangnya situ sudah pernah lihat seekor kutu meloncat? Gak juga toh? Bercanda.
Politik itu kotor, karena penuh muslihat dan biasa memainkan segala cara untuk meraih tujuan. Demikian pendapat banyak orang. Namun bagi Sabam Sirait, politikus kawakan PDI Perjuangan, justru politik itu suci. Pandangannya tersebut dia paparkan dalam sebuah buku "Politik Itu Suci".
Pada buku terbitan Gramedia (April 2013) itu, tertulis: "... ia berpendapat bahwa seorang politisi tidak perlu takut. Jika seorang politisi yakin dengan pendiriannya, maka ia sebaiknya menyatakannya secara terbuka--terlepas dari risiko yang mungkin akan dihadapinya" (hlm 9).
Sah-sah saja setiap orang menilai politik itu kotor atau suci. Politik itu bisa saja diibaratkan sebilah pisau tajam dalam genggaman seseorang. Pisau itu bisa digunakan untuk mengupas buah-buahan atau mengiris bawang di dapur oleh seorang ibu yang lemah-lembut dan penuh kasih. Buah yang dikupas diberikan kepada keluarga untuk dimakan.
Bawang dan bumbu yang dikupas dijadikan sambal dalam makanan yang enak dan lezat bagi anggota keluarga. Sementara bagi orang yang punya tabiat jahat, pisau itu bisa dimanfaatkan untuk membunuh orang lain, merampok dan menodong. Singkatnya pisau itu bisa digunakan untuk melakukan aksi kejahatan.
Terlepas dari beragamnya penilaian orang tentang politik, namun secara umum kita harus mengakui bahwa politik zaman now banyak dilakukan dengan cara-cara yang tidak elok. Menghalalkan segala cara demi meraih tujuan politik. Politik itu adalah jalan untuk meraih kekuasaan. Dan dengan kekuasaanlah seseorang dapat membawa sebuah negara dan rakyatnya ke kehidupan yang baik.