Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Enak "Zaman Now"

16 Mei 2018   15:52 Diperbarui: 16 Mei 2018   16:29 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah merupakan pemandangan biasa apabila kita menemukan tulisan berupa stiker atau mural, dsb., yang bunyinya: Enak zamanku toh? Lalu di samping tulisan itu ada gambar Pak Harto, presiden RI ke-2, sambil tersenyum melambaikan tangan.

Bukan baru sebenarnya. Foto dan teks semacam ini sudah mulai tampak ketika Pak Harto baru beberapa tahun lengser dari kursi kepresidenan yang beliau duduki selama 32 tahun!

Kalau tidak salah, saya sendiri mulai pertama sekali melihatnya menjadi lukisan di belakang sebuah truk yang sedang melintas di jalan raya, di era SBY. Dan kala itu, ilustrasi di belakang truk itu mampu membuat saya tersenyum.

Tepatnya Pak Harto mulai menjabat sebagai presiden menggantikan Bung Karno, pada tahun 1968. Lalu MPRS yang bersidang pada tahun 1971 memilih Jenderal TNI Soeharto, sebagai pengemban Supersemar, menjadi presiden menggantikan Bung Karno yang pidato pertanggungjawabannya ditolak oleh MPRS yang ketika itu dipimpin Jenderal AH Nasution. Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden.

Kita harus mengakui ada banyak hal yang baik di masa Pak Harto. Apalagi ketika itu, Pak Harto punya program pembangunan berjangka yang disebut dengan Repelita (rencana pembangunan lima tahun). Jadi, setiap Pak Harto mengawali periodenya usai dipilih MPR menjadi presiden lagi, itu disebut dengan Repelita I, II, III, IV, V.

Tapi repelita VI tidak berlanjut sebab pada 23 Mei 1998, atau beberapa bulan setelah Pak Harto diangkat lagi oleh MPR menjadi RI 1 untuk yang ke-6 kalinya, beliau direformasi oleh desakan para mahasiswa! Sekali lagi: gerakan mahasiswa-lah yang membuat Pak Harto akhirnya turun takhta, bukan siapa-siapa! Jadi reformasi 1998 itu sepenuhnya karya mahasiswa pada masa itu.

Betul, selama sekian tahun memerintah, bahkan 32 tahun, banyak hal yang telah diperbuat Pak Harto untuk negara dan bangsa Indonesia. Tidak salah bila beliau pernah mendapat gelar: Bapak Pembangunan Indonesia. Pembangunan infrastruktur sangat gencar pada tahun 80-an dst. Ekonomi yang menggeliat membuat kota-kota besar pun tumbuh pesat.

Di Jakarta sebagai ibukota, gedung-gedung pencakar langit tumbuh subur. Bahkan dalam sebuah tulisan, ada seorang turis dari luar negeri "kaget" ketika tiba di Jakarta pada tahun 90-an . Selama ini yang ada di benaknya Indonesia itu masih terbelakang. Namun dia mendapati gedung-gedung pencakar langit sudah memenuhi Ibu Kota. Kendaraan mewah banyak berseliweran di jalan-jalan.

Rakyat banyak yang hidup sejahtera, makmur, dan mewah. Tingkat perekonomian membaik. Itu semua bisa terjadi karena pembangunan. Dan pembangunan bisa berjalanan kalau stabilitas terjamin. Dan di masa Pak Harto, stabilitas relatif "aman mantap dan terkendali". 

Aman, mantap dan terkendali! Ucapan ini sepertinya sudah menjadi kata-kata yang harus dihapal oleh aparat pada masa itu. Jadi setiap kita bertanya kepada petugas, apakah itu hansip, satpam, polisi, tentara, tentang situasi dan kondisi di lingkungannya, jawaban seragam: aman, mantap dan terkendali!

Maka berbahagialah orang-orang yang sekarang bebas berkoar-koar mengkritik dan mencaci-maki pemerintah, itu adalah buah perjuangan para mahasiswa di era tahun 90-an, khususnya tahun 1998. Kalau tidak ada reformasi, tentu tidak ada kebebasan yang sudah terkesan "kebablasan" seperti saat ini. 

(renataputrii.blogspot.com)
(renataputrii.blogspot.com)

Tapi reformasi memang sudah menjadi tuntuan zaman pada waktu itu. Kondisi dunia internasional turut memberikan angin sehingga kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia bergejolak dahsyat. Diawali dengan krisis moneter (krismon) di berbagai negara, di mana mata uang setempat bertekuk lutut terhadap dolar AS, maka beberapa negara, termasuk Indonesia, dilanda krismon--istilah yang sangat populer saat itu.

Satu dolar AS yang selama beberapa dekade hanya berkisar antara Rp 2.000 - Rp 3.000, tiba-tiba melonjak menjadi Rp 15.000 lebih. Harga-harga pun melambung tinggi. Banyak usaha/bisnis yang hancur lebur. Perokonomian yang menyulit tiba-tiba itu, membuat rakyat panik, marah dan putus asa. Angka pengangguran meningkat tajam.

Apes bagi Soeharto, semua ditimpakan ke rezimnya. Lamanya Soeharto berkuasa, lebih dari 32 tahun, antara lain dituding sebagai penyebab. Maka tiada jalan lain, Soeharto harus diganti dengan seorang presiden baru yang diharapkan dapat menyulap Indonesia dalam sekejap.

Dalam situasi seperti ini, rakyat yang sulit, sangat mudah diprovokasi oleh politikus-politikus yang selama ini tidak berkutik. Kasus-kasus dugaan korupsi, penyalahguanaan kekuasaan yang melibatkan keluarga Pak Harto diungkit-ungkit.

Rakyat pun mudah terpengaruh, dan dalam sekejap melupakan "jasa-jasa" pemerintah yang telah membuat Indonesia menjadi negara modern. Dan puncakanya adalah ketika pada 23 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri, dan menyerahkan tongkat estafet kepada wakil presiden BJ Habibie.

Apakah setelah itu Indonesia langsung menjulang naik ke angkasa kembali? Oh, no! Tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi, para petualang politik yang tiba-tiba mendapati dirinya sebagai anggota DPR, menteri, ketua parpol, dsb., terkesan bisa mengatakan apa saja sesuai keinginannya. Apalagi banyak pula yang mempermainkan agama, menjadikan agama sebagai alat dan tunggangan untuk meraih popularitas, fulus, dan berbagai kenikmatan lainnya, makin kacaulah.

Dalam kondisi seperti itu, banyak orang yang bernostalgia ke masa silam: di mana pemerintah (baca: Soeharto) begitu perkasa dan berwibawa mengendalikan semua hal, sehingga tidak ada yang berani berbuat macam-macam, dan berbuah stabilitas di berbagai sektor kehidupan. Maka terbitlah jargon atau lebih tepat gurauan: Piye, lebih penak zamanku, toh.

Tidak juga. Zaman dulu sama zaman now sama-sama enak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Yang pasti, zaman selalu berubah, dan enaknya pun ikut berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun