Tapi reformasi memang sudah menjadi tuntuan zaman pada waktu itu. Kondisi dunia internasional turut memberikan angin sehingga kondisi sosial-ekonomi-politik Indonesia bergejolak dahsyat. Diawali dengan krisis moneter (krismon) di berbagai negara, di mana mata uang setempat bertekuk lutut terhadap dolar AS, maka beberapa negara, termasuk Indonesia, dilanda krismon--istilah yang sangat populer saat itu.
Satu dolar AS yang selama beberapa dekade hanya berkisar antara Rp 2.000 - Rp 3.000, tiba-tiba melonjak menjadi Rp 15.000 lebih. Harga-harga pun melambung tinggi. Banyak usaha/bisnis yang hancur lebur. Perokonomian yang menyulit tiba-tiba itu, membuat rakyat panik, marah dan putus asa. Angka pengangguran meningkat tajam.
Apes bagi Soeharto, semua ditimpakan ke rezimnya. Lamanya Soeharto berkuasa, lebih dari 32 tahun, antara lain dituding sebagai penyebab. Maka tiada jalan lain, Soeharto harus diganti dengan seorang presiden baru yang diharapkan dapat menyulap Indonesia dalam sekejap.
Dalam situasi seperti ini, rakyat yang sulit, sangat mudah diprovokasi oleh politikus-politikus yang selama ini tidak berkutik. Kasus-kasus dugaan korupsi, penyalahguanaan kekuasaan yang melibatkan keluarga Pak Harto diungkit-ungkit.
Rakyat pun mudah terpengaruh, dan dalam sekejap melupakan "jasa-jasa" pemerintah yang telah membuat Indonesia menjadi negara modern. Dan puncakanya adalah ketika pada 23 Mei 1998, Soeharto menyatakan mengundurkan diri, dan menyerahkan tongkat estafet kepada wakil presiden BJ Habibie.
Apakah setelah itu Indonesia langsung menjulang naik ke angkasa kembali? Oh, no! Tidak semudah membalik telapak tangan. Apalagi, para petualang politik yang tiba-tiba mendapati dirinya sebagai anggota DPR, menteri, ketua parpol, dsb., terkesan bisa mengatakan apa saja sesuai keinginannya. Apalagi banyak pula yang mempermainkan agama, menjadikan agama sebagai alat dan tunggangan untuk meraih popularitas, fulus, dan berbagai kenikmatan lainnya, makin kacaulah.
Dalam kondisi seperti itu, banyak orang yang bernostalgia ke masa silam: di mana pemerintah (baca: Soeharto) begitu perkasa dan berwibawa mengendalikan semua hal, sehingga tidak ada yang berani berbuat macam-macam, dan berbuah stabilitas di berbagai sektor kehidupan. Maka terbitlah jargon atau lebih tepat gurauan: Piye, lebih penak zamanku, toh.
Tidak juga. Zaman dulu sama zaman now sama-sama enak, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Yang pasti, zaman selalu berubah, dan enaknya pun ikut berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H