Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Langkah Arwah

9 Mei 2018   13:14 Diperbarui: 13 Mei 2018   15:29 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto: premieremagz.com)

Aku yang sejak SMA sudah tinggal di Jakarta, selalu rutin berkunjung ke rumah Kak Marni. Terlebih setelah keponakan-keponakanku itu lahir, hampir setiap hari Sabtu aku ke Tangerang, sebab sangat senang rasanya bisa bercengkerama dengan kedua balita yang sehat cantik ganteng dan menggemaskan itu. 

Hingga pada pagi hari tadi, berita meninggalnya Kak Marni telah mengguncang seluruh tubuhku, menyedot habis semangat hidupku.

Memasuki komplek perumahan tempat mereka, ragaku seperti melayang setelah melihat bendera kuning bertuliskan nama Kak Marni terlihat di ujung gang. Kepiluan yang sudah menggumpal, agaknya telah menghalangi air mataku sehingga tidak bisa tumpah. Padahal betapa aku ingin menangis sekuat-kuatnya begitu  menyaksikan tubuh Kakakku yang cantik itu terbaring di ruang tengah, dihadapi suaminya yang juga tampak terpukul dan tergoncang batinnya. Lelaki yang baik dan ramah itu yang berurai air mata, saat melihatku masuk dan bersimpuh di samping jenazah.

"Kena serangan jantung," demikian bisik-bisik yang terdengar dari pelayat.

Yang membuat hatiku makin hancur adalah saat menyaksikan kedua anak balita almarhumah duduk di samping bapak mereka, mengusap-usap jenazah mamak mereka seperti tidak mengerti apa-apa yang sudah terjadi. 

"Mama kok belum bangun-bangun sih, Pa?" tanya Santi pada bapaknya.

*

Seminggu setelah kakakku dimakamkan, aku mengunjungi kedua keponakan aku itu. Yang ada di rumah pagi itu hanya pembantu rumah tangga (PRT) yang sedang memasak di dapur. Bang Robert, suami almarhumah kakak, sudah berangkat kerja. Sementara kedua keponakanku, tidur di lantai atas. Rumah mereka waktu itu KPR type kecil. Maka ditambah ruangan di atas berlantai papan, untuk kamar tidur.

Aku naik ke atas. Dan hampir tumpah air mata aku ketika melihat kedua bocah imut-imut itu sedang tertidur pulas. Mereka belum sepenuhnya mengerti bahwa mereka sudah ditinggal pergi untuk selamanya oleh ibunda yang sangat mengasihi mereka. Dulu, waktu mama mereka masih ada, biasanya aku langsung mengajak kedua keponakan aku itu untuk bercanda dan bercengkerama.

Dengan langkah pelan, supaya mereka tidak terbangun, aku turun ke bawah, dan menonton televisi. Beberapa saat kemudian, aku mendengar bunyi seperti langkah kaki di lantai atas. Jelas sekali seperti suara langkah kaki seorang dewasa berjalan-jalan di lantai atas. aku mengecilkan volume suara televisi. Dan suara langkah kaki itu masih terdengar dengan sangat jelas. Antara kaget ketakutan bingung dan sedih, dengan tubuh gemetaran aku mengendap-endap menaiki tangga kayu menuju atas, dan ketika tiba di atas.... sepi! Bunyi langkah kaki tidak terdengar lagi. Hening. Tidak ada siapa pun di sana, kecuali kedua keponakan aku yang tetap tidur pulas.

Aku menghela napas, sedih dan gentar, turun kembali ke bawah. Naluri aku berkata, arwah Kak Marni sedang datang untuk mengunjungi anak-anak yang sangat dia sayangi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun