Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Supaya Ahok Tidak Dimakzulkan

24 Maret 2015   12:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:44 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto: ahok.org

RAPBD DKI 2015 ditolak oleh DPRD. Gubernur Ahok akhirnya menggunakan anggaran tahun sebelumnya. Banyak kalangan menilai kalau gagalnya APBD 2015 ini lebih merugikan masyarakat Jakarta. Pasalnya dana yang dialokasikan dalam APBD 2014 yang digunakan setelah RAPBD 2015 ditolak, berbeda. Jika alokasi dana dalam RAPBD 2015 sebesar Rp 72 triliun, maka yang ada dalam APBD tahun sebelumnya “hanya” sekitar Rp 63 triliun.

Batalnya RAPBD 2015 disebabkan oleh kisruh berkepanjangan antara pihak legislatif dengan eksekutif. Gubernur Basuki Tjahaja Purnama—nama asli Ahok—berdasarkan tudingan DPRD telah memalsukan RAPBD 2015 yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Kata mereka, Ahok bukannya meneruskan RAPBD yang dibahas bersama DPRD dan Pemkot ke Mendagri untuk disetujui. Menurut DPRD, Ahok mengubah draf RAPBD. Ahok sendiri, dalam masalah ini beralasan mencoret beberapa pengalokasian dana yang tidak jelas juntrungannya. Alhasil, sekitar Rp 12 triliun dana yang tidak jelas peruntukannya itu dicoret dari RAPBD. Pengubahan secara sepihak ini, bagi kalangan DPRD DKI, merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

DPRD pun melakukan hak angket guna menyelidiki kesalahan fatal yang telah dilakukan oleh Ahok ini. Lewat penggunaan hak angket, Dewan bisa melakukan penyelidikan apakah kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah DKI yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Meski pihak DPRD membantah, namun semua orang mafhum kalau penggunaan hak angket ini bertujuan untuk melengserkan Ahok dari kursi gubernur yang baru beberapa bulan didudukinya itu. Bahkan beberapa pimpinan DPRD tidak malu-malu berterus terang tentang niat menjungkalkan gubernur yang mereka nilai “arogan, gila, kasar, sombong, tidak sopan” tersebut.

Untuk saat ini kisruh APBD sedikit mereda karena DPRD sudah “angkat tangan”, dan menyerahkan permasalahan APBD ini kepada Ahok. Gubernur DKI pun tidak keberatan menggunakan APBD 2014. Dapat diduga, DPRD memang tidak akan meloloskan RAPBD 2015, sebab mereka masih berkepentingan melanjutkan hak angket. Menurut salah satu pimpinan DPRD yang paling sewot terhadap Ahok, pelaksanaan angket sudah 80% dan tinggal menunggu penilaian tim ahli. Selanjutnya urusan ini akan dibawa ke sidang paripurna.

Bila mayoritas politisi yang mengaku-ngaku sebagai wakil rakyat itu masih memiliki hati nurani, dapat dipastikan mekanisme angket ini akan gagal melengserkan Ahok. Namun bila sebaliknya, di mana mayoritas anggota DPRD itu adalah gerombolan “siluman”, maka gubernur yang sudah memperlihatkan keseriusannya dan ketulusannya membangun masyarakat, akan tergusur. Mayoritas warga yang merindukan perubahan hanya bisa menangis, sementara segelintir manusia berhati keji akan tertawa-tawa bahagia.

Drama ini, paling tidak memberikan kita pelajaran berharga yang mungkin belum pernah terpikirkan. Mengapa hanya eksekutif yang bisa terkena pemakzulan lewat penggunaan hak angket yang dimiliki oleh legislatif? Rasanya tidak adil. Masak gara-gara segelintir oknum politikus seorang pejabat yang berintegritas harus tersingkir? Harus ada mekanisme, peraturan, atau undang-undang untuk melindungi seorang kepala daerah sejenis Ahok dari gangguan politikus berhati tikus. Misalnya, harus ada semacam lembaga atau dewan kehormatan yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal punya integritas dan adil, untuk menilai apakah seorang anggota dewan bekerja dengan benar dan untuk kepentingan masyarakat. Bila di masa reformasi ini lahir Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Yudisial, dan mahkamah lainnya, mengapa tidak ada mahkamah untuk menilai para anggota legislatif yang ngawur?

Apabila seorang atau beberapa oknum anggota legislatif kerjanya hanya merecoki, menghasut, tanpa alasan yang jelas, atau alasan yang tidak urgen, mereka bisa direkomendasikan ke parpol untuk di-recall. Kita harus bisa menilai, apakah urgensinya bagi masyarakat DKI mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan Ahok dalam penyusunan APBD ketimbang penyelamatan uang rakyat sebesar Rp 12 triliun yang bisa digunakan untuk membangun banyak sekolah, rumah sakit, puskesmas, dan berbagai kesejahteraan warga lainnya?

Kiranya ini menjadi renungan dan PR kita bersama untuk Indonesia yang lebih maju dan bermartabat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun