Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (4)

7 Oktober 2014   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:04 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

BAGIAN 4

MERANTAU

TIGA bulan menjelang ujian nasional atau UN, Pak Monang, ayahanda Poltak Suhardo mengadakan pertemuan khusus dengan sang anak. Orang tua ini ingin tahu apa sebenarnya keinginan si anak sulung selepas dari sekolah menengah atas. Mau kuliah atau mau berwiraswasta? Bagi Pak Monang sama saja. Pak Monang sudah siap menggelontorkan dana segar untuk modal apabila Poltak mau memulai usaha, berwiraswasta. Yang penting asal Poltak tidak minta modal untuk kawin saja.

Maka untuk itu Pak Monang mau mendengar aspirasi anaknya itu secara langsung, bukan diwakili oleh pihak ketiga. Pak Monang ingin mendengar sendiri isi hati sang anak sulung, bukan berdasarkan kata-kata orang lain, apalagi kata-kata politikus. Bukan apa-apa. Pak Monang sudah jemu dan muak mendengar parpol atau politikus berkoar-koar sambil membawa-bawa nama rakyat, mengatasnamakan rakyat, memperjuangkan aspirasi rakyat. Tapi yang terjadi adalah rakyat tetap di bawah.

Pak Monang ingin bertatap muka dengan Poltak. Dan pertemuan ini sangat penting mengingat hubungan antara Poltak dengan sang ayah selama ini tergolong biasa-biasa saja. Tidak akrab, tapi musuhan juga enggak. Di rumah, mereka sering ketemu tetapi jarang ngobrol. Kerap berpapasan tetapi jarang bersenggolan. Kalau Poltak sengaja melucu, seisi rumah yang terdiri atas ibu, ketiga adiknya bisa tertawa cekikikan, tetapi Pak Monang paling mendehem. Nggak jelas apa arti deheman itu! Mungkin karena yang di pikirannya hanya hitungan-hitungan dagang dan uang, Pak Monang rada pendiam dan serius. Di rumah, lelaki paruh baya yang tampang dan perawakannnya agak mirip Jokowi ini hanya bicara yang perlu-perlu saja.

Kalau ada hal-hal yang dianggap perlu dengan Poltak dan adik-adiknya, Jokowi, eh...Pak Monang paling menyampaikannya kepada istri. Selanjutnya sang istri menyampaikan dan mendiskusikannya kepada anak-anak. Dan sejauh ini belum pernah terjadi pergolakan di rumah gara-gara komunikasi yang serba terbatas dan kaku itu. Belum pernah misalnya Poltak Suhardo dan adik-adiknya berunjuk rasa untuk menuntut agar ayah membawa mereka rekreasi ke Kota Medan, atau melancong ke Danau Toba yang jaraknya sekitar 200 kilometer dari Kota Dame. Maka tidak heran jika dari kanak-kanak hingga remaja, Poltak hampir tidak pernah keluar dari kota kecilnya itu. Tapi bagi Poltak itu tidak masalah. Dia yakin akan tiba saatnya nanti dia akan melanglang buana ke seluruh penjuru negeri. “Segala sesuatu akan indah pada waktunya”

Nah, sore itu, sebelum jam mandi, Pak Monang dan Poltak sudah duduk berhadapan di ruang tamu. Pak Monang mengerti bahwa faktor pendidikan adalah hal yang sangat penting untuk merenda masa depan generasi masa kini. Terlebih di jaman yang serba canggih ini. Kepintaran otaklah yang dibutuhkan bila ingin eksis dalam kehidupan. Apalagi ini menyangkut Poltak yang akan tamat dari SMA. Ini masalah serius yang harus dia tangani sendiri.

“Poltak, sebentar lagi kau akan lulus SMA. Apa rencanamu nanti setelah lulus?” tanya Pak Monang sambil memandangi wajah anaknya.

Poltak tidak langsung menjawab pertanyaan bapaknya. Dia masih asyik memencet-mencet handphone. Dia sedang asyik SMS-an, tapi yang jelas bukan dengan Rosita Naulibasa.

“Poltak, kalau kau lulus SMA apa rencanamu?” Pak Monang mengulangi pertanyaannya.
“Kuliah dong Pak. Masak jadi kuli?” jawab Poltak mencoba bercanda dengan bapaknya.
“Bagus! Bagus. Bagus! Kau tahu yang kumau,” jawab Pak Monang tersenyum.

Poltak agak kaget. “Sejak kapan bapakku ini bisa bahasa gaul?” katanya dalam hati.
Pak Monang memang senang mendengar jawaban anaknya itu. laki-laki paruh baya ini ingin semua anaknya menjadi sarjana, terlebih Poltak yang sulung. Maklum, dari segi tingkat pandidikan, Pak Monang sangat ketinggalan dibandingkan dengan generasi masa kini. Di masa kini pendidikan terendah rata-rata masyarakat setingkat SMA, dulu Pak Monang cuma sampai SMP. Itu pun tidak tamat.
Pak Monang di masa remajanya ingin berjualan, karena bisa menghasilkan uang. Dia sengaja sering bolos dari sekolah supaya bisa berjualan es di hari pekan yang datang setiap hari Jumat. Akhirnya, dia malah keluar dari sekolah sebelum naik ke kelas 3. Dan kini, dia sangat ingin anak-anaknya menebus kesalahannya di masa lalu, yang malas bersekolah. Maka keputusan Poltak untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi dia sambut dengan penuh sukacita.

Pertemuan khusus antara bapak dan anak itu pun berlangsung sukses. Kedua belah pihak puas. Kesimpulannya: Setelah lulus UN, Poltak akan berangkat ke Jakarta untuk kuliah. Mau kuliah di universitas mana, pada fakultas atau jurusan apa, semua terserah pada ke Poltak. Sebab Pak Monang berpendirian, Poltak pasti lebih mengerti soal-soal sepetti itu. Poltak tahu apa bakatnya, dan sampai di mana kemampuan akademiknya.

“Aku ingin di ruang tamu rumah kita ini nanti tergantung foto kita sekeluarga bersama kau yang memakai pakaian wisuda yang hitam itu,” pesan Pak Monang sebelum beranjak dari tempat duduk.
“Itu namanya baju toga Pak,” kata Poltak mengoreksi.
“Ah...apa kek itu namanya. Baju toga kek, baju togu kek, baju si Togar kek, baju si Togu kek, apa kek. Yang penting nanti beberapa tahun lagi kau harus memakainya saat kita berfoto bersama,” cetus Pak Monang. Rata-rata, di rumah para kerabat yang pernah dia kunjungi ada tergantung foto wisuda. Dan Pak Monang pun ingin di rumahnya ada foto seperti itu. Pertemuan penting dan langka antara bapak dan anak itu pun berakhir dengan damai. Win win solution.

Singkat cerita, segala rencana berjalan dengan lancar. Poltak lulus UN, dan bersiap-siap berangkat ke Jakarta. Meski ayah dan ibunya menyuruh dia naik pesawat terbang dari Bandara Polonia Medan, namun Poltak memilih naik kapal laut dari pelabuhan Belawan saja.
“Biar lebih gampang dijemput Paman Poltak di pelabuhan Tanjungpriok,” demikian alasan Poltak. Salah satu pamannya, adik ibunya, memang berdomisili di Tanjungpriok, yang masuk wilayah Jakarta Utara. Nama pamannya itu Pak Johnson.
Di hari pemberangkatan ke Jakarta. Tak terkatakan bagaimana senangnya Poltak saat berada di KM Kelud, kapal berukuran raksasa yang akan membawanya ke ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saking senangnya, dia sampai lupa membalas lambaian tangan ayah, ibu, adik-adiknya. Maklumlah. Ini merupakan perjalanan pertamanya ke luar dari kota kelahirannya. Dia sangat bahagia melihat lautan luas yang segera akan dia arungi bersama kapal penumpang raksasa yang sangat megah itu. Ada ratusan manusia di dalamnya. Sejenak dia membayangkan film Titanic yang dia sering tonton lewat DVD- player. Ada rasa ngeri di dalam hatinya. “Tapi ini bukan Titanic, ini KM Kelud,” katanya menghibur diri. Dia sangat bangga membayangkan dirinya sebentar lagi akan menginjak Kota Jakarta. Apalagi nanti jika dia benar-benar menjadi mahasiswa.

Tepat sesuai jadwal, KM Kelud yang berisi ratusan penumpang itu pun mulai bergerak, membelah samudera luas menuju Pulau Jawa. Sejenak dia melayangkan pandangan ke daratan. Ada rasa haru menyeruak saat tiba-tiba mengingat orang-orang yang dia cintai dan sayangi: bapak, ibu, ompung, dan adik-adiknya. Semua turut mengantar dia ke Pelabuhan Belawan. Tetapi rasa haru itu dia tepis jauh-jauh. Perpisahan ini hanya sementara waktu. Bahkan bila perlu, enam bulan lagi dia bisa pulang saat liburan semester. Apalagi ibunya pun mengharapkan Poltak pulang setiap liburan semester. Dan ayahnya pun tidak keberatan bila harus memberikan ongkos bila sewaktu-waktu ingin pulang.

Di kapal, seorang bapak-bapak yang sedari tadi duduk di dekatnya, dan memperhatikan dia tersenyum-senyum sendirian. Tidak tega membiarkan anak muda itu larut dalam lamunan, dia pun menyapa Poltak.

“Adik ini mau ke mana?”
“Oh, saya mau ke Jakarta Pak,” jawab Poltak.
“Jakarta-nya di mana, Dik?” lanjut si bapak.
“Ya, di Pulau Jawa dong Pak, masak di Kalimantan atau Sulawesi...!” sahut Poltak.

Dalam hati, Poltak menertawakan bapak itu yang tidak tahu di mana letak Kota Jakarta. Sebaliknya, si bapak juga, dalam hati menertawakan si Poltak karena tidak mengerti bahwa yang dia maksud dengan pertanyaannya itu adalah: di mana alamat tujuan kamu nanti sesampai di Jakarta? Tetapi Poltak dengan enteng menjawab: di Pulau Jawa! {} BERSAMBUNG.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun