Gayanya seperti anggota FBI yang memperlihatkan ID-card ke pejabat AS yang hendak dimintai keterangan. Poltak berpikir, dengan melihat kartu mahasiswanya, si cewek itu pasti langsung keder dan tidak banyak ulah lagi.
“Loh. Kok kartu ATM sih? KTP-nya mana?” si gadis bertanya bingung.
Poltak frustrasi, merasa malu dan kasihan pada dirinya sendiri. Ternyata si gadis ini tidak paham dunia pendidikan tinggi dan tidak mengerti bagaimana keramatnya selembar kartu mahasiswa.
Akhirnya dia mengeluarkan KTP-nya. Tetapi harap maklum masih KTP yang dari kampung. Dia belum sempat mengurus KTP baru di Jakarta. Dia berharap si cewek yang lagaknya sudah bagaikan satpam Kedubes AS ini tidak menolak dengan alasan bukan KTP DKI.
Si cewek tampak membaca nama dan mencocokkan foto dengan orangnya. Kali ini di mata Poltak, cewek ini seperti oknum pegawai kelurahan di kampungnya saja, yang pura-pura serius mencocokkan data, namun berniat untuk mencari kekurangan warga pemohon perpanjangan KTP. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk mengharapkan uang pelicin supaya urusan lancar.
Cukup lama si gadis membaca dan memperhatikan KTP. Setelah merasa yakin, dia kembali ke dalam rumah untuk mengambil kunci gembok gerbang. Setelah pintu gerbang terbuka dia mempersilakan Poltak masuk. Kali ini dia bersikap ramah terhadap Poltak.
“Nama saya Lastri, Om. Saya sudah sebulan bekerja di sini,” katanya memperkenalkan diri.
Ternyata dia menggantikan Bu Dariyah yang mengundurkan diri dengan alasan ingin berkonsentrasi mengurus cucu.
“Oh, kamu bekerja di sini toh,” jawab Poltak sambil terus berjalan ke dalam kamarnya. Suasana rumah sedang sepi. Kata Lastri, majikannya pergi kondangan sedari pagi. Ke kondangan saban hari Sabtu sudah bagaikan rutinitas Paman Johnson dan Tante Tiurlan. Dan biasanya mereka pulang sore atau malam. Sedangkan Gomos sudah dua hari tidak di rumah.
“Gue lagi di Bandung menghadiri seminar di ITB. Hari Senin baru pulang”. Demikian bunyi SMS Gomos yang masuk ke HP saat Poltak membuka pintu kamarnya.
Paman Johnson dan Tante Tiurlan tidak di rumah. Gomos ke Bandung. Artinya, saat itu hanya Poltak dan Lastri yang ada di rumah. Lastri memang berstatus pembantu rumah tangga (PRT) di rumah pamannya itu, tetapi di mata Poltak, kualitas wajah dan bodinya tidak kalah jika dibandingkan dengan salah satu pembantu rektor (purek) di kampusnya, yang kebetulan adalah seorang wanita muda cantik dan pintar.