Mohon tunggu...
Hans Panjaitan
Hans Panjaitan Mohon Tunggu... -

Biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Jomblo Mencari Cinta (20)

18 Oktober 2014   02:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:36 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

20

TERBAKARNAFSU

TAK tahan menanggung derita asmara, Poltak Suhardo keluar dari kamar dan menemui Lastri di dapur. Si cantik manis sedang memasak semur jengkol. Semur jengkol ini awalnya adalah makanan favorit Paman Johnson. Lama-lama Bu Tiurlan danGomos ketularan doyan juga. Tapi semur jengkol itu hanya menjadi menu keluarga sekali seminggu, atau di hari Sabtu saja. Sebab kalau setiap hari penghuni rumah makan semur jengkol, maka aroma kamar mandi akan menyengat sepanjang hari, oleh bau jengkol.

Hello Kitty,” sapa Poltak ketika masuk ke dalam dapur.

Hello juga Om Poltak,” jawab Lastri sambil melirik keponakan majikannya itu sekilas. Cantik, manis, dan menggoda iman.

Dada Poltak bergemuruh. Kaget juga dia mendapatkan reaksi spontan dari gadis yang dia kira lugu dan masih malu-malu itu. Poltak pura-pura sibuk mencari sesuatu di rak piring.

Cari apa Om?”

Gelas. Aku mau minum air putih dulu. Dari tadi belum minum air putih.”

Sebentar aku ambilin Om,” jawab Lastri. “Duduk di ruang depan saja Om, nanti aku antarin minumannya. Mau dibikin kopi panas atau teh manis dingin?” Lastri menawarkan dengan simpatik dan sopan. Seperti pelayan warteg saja.

Gak usah ah. Aku minum di sini saja,” jawab Poltak mulai bergenit-genit ria. Dia mengambil tempat duduk di samping kulkas.

Ngapain di dapur Om? Kotor dan bau,” kata Lastri.

Gapapa...” balas Poltak sembari mengedip-ngedipkan mata ke gadis yang paling banter berusia 17 tahun tersebut.

Emangnya Om Poltak tidak kuliah?

Tidak. Setiap hari Sabtu libur.”

Poltak merasa girang, sebab Lastri ternyata punya sifat terbuka dan mau ngobrol. Tadinya dia mengira bahwa gadis ini pemalu dan penakut yang hanya mau buka mulut jika ditanya. Paman Johnson dan Tante Tiurlan pasti sudah sering bercerita tentang Poltak sehingga Lastri tidak terlalu merasa asing lagi dengan dirinya. Dan itu baik.

Kamu asalnya dari mana?” tanya Poltak.

Tasik.”

Tasik. Di mana itu?”

Jawa Barat Om”.

Umur kamu berapa?”

Kok nanya-nanya umur sih Om?”

Emang gak boleh ya....”

Gak boleh”.

Kenapa enggak boleh.”

Itu menyangkut rahasia seorang wanita...”

Bah!”

Sejurus tak ada yang bicara. Mata nakal Poltak diam-diam memelototi tubuh si gadis yang duduknya hanya tiga langkah darinya. Berkali-kali dia menelan ludah. Pikirannya mulai dihinggapi bayangan-bayangan kotor.Adegan memalukan dengan Putrie tidak lagi mampu menahan gejolak hatinya yang sudah dipenuhi nafsu birahi terhadap Lastri. Dia yakin Lastri tidak akan mengadu kepada paman dan tantenya. Maka dia pun mulai memasang kuda-kuda sambil mendekatkan jarak.

“Kamu cantik deh...” rayu Poltak.

“Hehe...terimakasih,” sahut Lastri tersenyum manis sekali, membuat Poltak semakin belingsatan. Poltak pun semakin mendekatkan jaraknya hingga tinggal sejangkauan. Lastri tidak beranjak, meski sudut matanya mengawasi gerak-gerik Poltak. Gadis itu sedang memotong-motong sayur.

“Ada apa sih Ommm...” kata Lastri ketika Poltak bercanda dengan menahan-nahan sayur yang hendak dipotong.

Poltak mendesah panjang. Hasratnya sudah sampai di ubun-ubun. Dia sudah kehabisan kata-kata untuk merayu, karena otak dan pikirannya sudah dipenuhi birahi. Maunya langsung mendekap dan mengunyah bibir si Lastri yang ranum dan segar itu.

Tapi situasi dan kondisi dirasa kurang tepat. Lastri sedang memegang pisau dapur untuk memotong sayuran. Bagaimana kalau nanti Lastri tidak menerima perlakuannya dan membela diri sambil menusukkan pisau dapur itu ke tubuh Poltak? Pikiran waras Poltak masih jalan. Maka dia pun mencoba cara lain. Dia keluar dari dapur sambil berusaha mencolek pipi Lastri. Si gadis menghindar dengan cekatan:

Ihhhhhh.... Om genit sih.....” katanya.

Poltak yang sudah berada kembali di dalam kamarnya, memanggil Lastri.

“Lastri, tolong ke sini sebentar...”

“Ada apa Om?” Lastri sudah berada di ambang pintu kamar Poltak,tangannya masih menggenggam pisau pemotong sayur yang tajam dan berbahan steenless itu. Poltak keder.

“Bisa kamu ganti seprei tempat tidur saya ini? Sudah lama tidak diganti semenjak saya tinggal di rumah Pak Haryono,” perintah Poltak.

“Sebentar ya Om, saya beresin pekerjaan di dapur dulu, sebentar lagi kok,” kata Lastri.

Poltak setuju.

Seperempat jamkemudian, Lastri masuk kembali ke kamar Poltak sambil membawa seprei bersih dan sarung-sarung bantal.Kali ini tanpa memegang pisau dapur.

Poltak duduk di kursi belajar pura-pura serius membaca buku. Ketika Lastri sudah hampir selesai mengganti seprei dan sarung-sarung bantal, Poltak menutup pintu kamar. Sebenarnya dia cuma iseng. Kepingin tahu saja bagaimana reaksi Lastri.

“Kok ditutup sih Om?” Lastri protes. “Buka pintunya, aku mau keluar...” katanya seraya mendekap sprei kotor yang baru diganti itu.

Poltak hanya cengengesan sambil memandangi gadis remaja cantik itu dengan kagum. Namun Lastri yang ketakutanberteriak-teriak seperti sedang melihat hantu. Lastri yang merasa dirinya dalam bahaya, menggapai pintu. Poltak membuka kunci dan membiarkan gadis itu keluar sambil menangis ketakutan.

Dapat dimengerti, akhir-akhir ini banyak kejadian sopir angkot memerkosa penumpangnya. Mungkin saja Lastri yang lugu itu curiga akan diperlakukan tidak baik. Maka dia berontak dan meraung-raung sejadi-jadinya.

Kini Poltak terdiam. Bingung. Ketakutan. Dia lalu menghampiri Lastri sambil meminta maaf. Tetapi saat didekati, Lastri justru lari menjauh. Dia menangis dan masuk ke kamarnya. Tidak lama kemudian dia keluar lagi sambil menenteng tas. Dia mau pergi dari rumah itu.

Poltak yang bisa menebak maksud Lastri bagaikan disambar petir di siang bolong. Dia tidak mau menjadi penyebab kaburnya pembantu rumah pamannya itu. Dia berusaha menghalangi dan meminta maaf. Poltak berdiri di muka pintu depan untuk menghambat jalan Lastri.

Poltak mengunci pintu rumah dari dalam. Ini malah membuat Lastri histeris,berteriak-teriak semakin kencang, meraung-raung menangis meminta pintu dibuka.Poltak pucat pasi. Dia tidak tahu harus berbuat apa.

Tiba-tiba dari luar terdengar suara klakson mobil. Paman dan bibinya ternyata sudah pulang dari kondangan.

Poltak merasa dunia sudah kiamat!

Ada apa ini. Ada apa ini? Ini ada apa?” kata Paman Johnson begitu masuk ke dalam rumah. Raut wajahnya terlihat bingung dan tegang sambil memelototi Poltak dan Lastri secara bergantian.

“Ada apa ini? Ini ada apa? Apa ini ada? Ada ini apa?” Tante Tiurlan juga tampak bingung sampai-sampai mengucapkan kata-kata juga sudah ngawur.

Poltak terhenyak di dekat pintu. Dia bungkam seribu bahasa. Wajahnya menunduk. Tidak berani melihat ke arah paman dan tantenya.

“Saya....saya ...saya... hendakdiperkaos sama Poltak,” kata Lastri terbata-bata. Dia mendekap erat tas berisi pakaiannya. Tadinya dia mau kabur saja begitu pinturumah dibuka, tetapi keburu dicekal oleh Tante Tiurlan sebelum melewati garis pintu.

Diperkaos bagaimana maksud kau?” hardik Paman Johnson. Emosinya sudah meluap.Tadinya dia berharap sesampai di rumah langsung mencicipi semur jengkol dua-tiga biji lalu istirahat di kamar menunggu waktu makan malam, namun kok disambut kerusuhan.

“Om Poltak tadi hendak memperkosa saya!” Lastrimengoreksi kalimatnya namun masih tetap terbata-bata.

“Bohong. Dusta. Fitnah!” Poltak segera bereaksi dengan wajah geram. “Hai pembantu rumah tangga yang tidak beriman. Kamu jangan coba-coba memutar balik fakta ya. Mana bukti saya mau memperkosa kamu. Siapa saksi bahwa aku mencoba memperkosa kamu? Jangan asal ngomong dong. Fitnah itu lebih kejam dari pembantaian!” tangkis Poltak. Kini keberaniannya sudah timbul, bahkan dia berkata sambil menuding-nuding Lastri pula.

“Diam!” bentak Paman Johnson.

Shut up!” timpal Tante Tiurlan ketularan panik.

Push up!” kata Poltak ikut-ikutan. Entah apa hubungannya. Namun yang jelas kondisi jiwanya saat itu memang sedang galau berat. Dia ingin mengurangi ketegangan dan amarah paman dan tantenya dengan mencoba melucu. Tetapi dia keliru besar sebab saat itu timing-nya sangat tidak tepat.

PLAK!!!!!

Telapak tangan Paman Johnson yang lebar dan kekar itumampir dengan telak di pipi Poltak. Johnson, adik bungsunya ibu si Poltak ini memang gampang tersulut emosi.

“Duduk!” Paman Johnson memerintahkan semua orang untuk duduk di sofa. “Lastri. Sekarang coba kamu ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan ditambah jangan dikurangi! Silakan berdebat secara intelektual. Aturan mainnya: Selama Lastri bicara, tidak boleh ada yang membantah, begitu juga sebaliknya. Mulai!”

“Teng.....”

Tante Tiurlan memukulkan sendok ke tutup panci sebagai tanda perdebatan boleh dimulai. Entah apalah yang berada di pikiran ibu setengah baya tersebut kok pakai acara seperti di ring tinju. Maklum saja, mungkin beliau tiba-tiba stres berat menghadapi masalah di rumah. Cari pembantu yang baik susah, kok sekarang terancam mau kabur pula, gara-gara keponakan yang tidak tahu diri semacam Poltak.

Lalu Lastri pun menceritakan kejadian dimulai dari Poltak mengacungkan kartu mahasiswa, yang disangka kartu ATM oleh Lastri. Dia menceritakan semua kejadian itu secara detil. Dia memang gadis berotak cerdas, nasibnya saja yang seperti batu cadas. Sewaktu tiba pada adegan kunci pintu kamar dan tampang Poltak yang cengengesan, Lastri menangis sesenggukan.

TERLALU....” katanya. Dia memang penggemar Rhoma Irama.

Tante Tiurlan tampak tidak kuasa menahan rasa dongkol dan geramnya pada Poltak.Matanya berkaca-kaca bibirnya gemetar saking menahan emosi.

Ketika tiba giliran Poltak, dia langsung bicara dengan nada tinggi. Dia membantah dengan keras tentang adanya upaya pemerkosaan. Dia bahkan berkali-kali bersumpah sambil menyebut nama Tuhan pencipta langit dan bumi dan segala isinya.

Dengan nama Tuhan Yang Mahaesa, saya bersaksi bahwa Lastri telah merekayasa dan mendramatisir kejadian itu. Tujuannya jelas, dia hanya ingin mencemarkan nama baik saya. Dia ingin membunuh karakter saya. Saya berani bersumpah demi nama Tuhan Yang Mahamengetahui, bahwa saya tidak ada niat untuk memperkosa Saudari Lastri,” tangkis Poltak.

“Ooo, begicu? Silakan saja Saudara Poltak berkelit dan membantah. Itu hak Saudara. Tetapi saya juga bisa bersumpah atas nama Tuhan seru sekalian alam bahwa semua yang saya ceritakan tadi adalah benar 100%,”ujar Lastri tak kalah sengit. Mungkin karena gadis polos inisering menonton acara debat politik di televisi, gaya bahasanya pun terbawa-bawa jadi sok intelek dan formal. Kepada Ny. Tiurlan dia pernah mengaku sebagai penggemar berat Ruhut Sitompul.

Nah! {} BERSAMBUNG...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun