“Kalau itu sih saya tahu, Mas. Tetapi yang tersedia di situ kan hanya toilet khusus wanita dan khusus untuk laki-laki. Lha, toilet khusus untuk bencong seperti saya mannnaaaa....,” katanya genit.
Poltak tidak bisa menahan tawa. Dia tidak tahu apakah orang itu sedang bercanda atau sungguh-sungguh. Dia tidak tahu apakah orang itu normal atau abnormal atau amoral. Tetapi kejadian tersebut telah membuatnya teringat kepada anak-anak pinggiran yang pernah dia ajari di kawasan kumuh Tanjungpriok beberapa waktu sebelumnya.
Waktu itu salah satu anak didiknya itu bernama Parno, nakal dan suka bicara ceplos-ceplos. Suatu ketika Poltak mengajari pelajaran biologi kepada anak-anak tersebut:
“Ada berapa jenis kelamin manusia?” tanya Poltak kepada anak-anak itu
“Dua!” jawab mereka hampir serempak.
“Sebutkan,” perintah Poltak.
“Laki-laki dan perempuan,” jawab mereka hampir berbarengan.
“Bagus...,” jawab Poltak puas.
Tetapi sekonyong-konyong si Parno, anak yang badung itu malah nyeletuk dengan kencang.
“Salah Om. Sekarang bukan dua, tetapi tiga jenis, yakni: wanita, pria, dan waria!”
“Huahahahahahahahahahaha....” semua tertawa ramai waktu itu, termasuk Poltak yang tidak bisa menahan senyum.
Dan kini, di kapal, kejadian yang hampir sama konyolnya kembali terulang. Tapi lumayanlah, itu bisa membuatnya sedikit terhibur.