Atas nama hukum positif dan liberalisme, dengan gampang kita menganggap semua mereka sebagai iblis, penjahat, dan pembunuh.
Kita bersikap seolah-olah sebagai penjaga moralitas sebelum kita ditampar oleh pertanyaan ini:
Di manakah Anda ketika orang-orang tersebut berada dalam situasi gamang? Apakah kita bertindak seperti para rasul yang melarikan diri ketika Yesus ditangkap? Dengan kata lain, bukankah perempuan yang membunuh bayinya adalah korban dari jahatnya perlakuan masyarakat, termasuk Anda dan saya?
Atau jika pertanyaan ini dibalik, bukankah mereka yang menolak vaksinasi karena dalil agama adalah contoh terdekat dari buruknya pendidikan dan absennya sosialisasi yang komprehensif dari negara? Bukankah hanya perempuan beruntung yang mampu merawat bayinya karena lingkungan yang fleksibel dan dinamis memunginkan untuk itu?
Paradoks-paradoks di atas mengingatkan saya pada pembacaan iek terhadap novel Kafka bertajuk "Metamorfosis" di mana ia menunjukkan proses menjadi manusia secara negatif, dengan mengemukakan dimensi 'yang bukan manusia: Gregor Samsa becomes human only when he no longer resembles a human beingby metamorphosing himself into an insect, or a spool, or whatever (iek, 2005:166).
Sayangnya, terlalu sering fokus pada dimensi keluhuran, kemuliaan, dan kesucian, kita abai pada dimensi ketidakmanusiaan yang inheren dalam diri setiap orang.
Khusus tentang problem-problem di atas, sekurang-kurangnya kita dihadapkan pada pertanyaan filosofis paling mendasar tentang siapa atau apa itu yang "bukan manusia" (yang asing).
Tentu saja, saya tidak menjelaskan hal tersebut secara detail dan dengan bahasa yang sesederhana mungkin mengingat keterbatasan teknis tertentu.
Meskipun begitu, dengan meminjam beberapa poin kunci yang saya pinjam dari Alain Badiou dan Derrida, saya coba menjabarkan hal tersebut demikian:
Pertama, tugas utama yang mesti kita lakukan saat ini adalah berani membuat keputusan dengan kesadaran bahwa kita tidak akan pernah bisa memutuskan apa-apa (ketakterputusan sebuah keputusan). Ini sama seperti iman yang, walaupun menjanjikan ketenangan, toh tetap tidak memberikan ketenangan. Persis di situlah, kita resmi menjadi makhluk yang mengandung risiko.