Mohon tunggu...
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pilpres 2024 dan Dominannya Etika Weberian-Kantian

15 Mei 2024   07:56 Diperbarui: 15 Mei 2024   08:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Pembongkaran standar nilai moral itu sudah ditunjukan secara jelas oleh Nietzsche dalam On the Genealogy of Morality (1887) melalui pembedaan antara moralitas tuan (apollonian) dan moralitas budak (dionysian). Moralitas tuan melihat yang mulia sebagai hal yang baik dan menekankan tindakan kepahlawanan, keberanian dan kebesaran individu sebagaimana yang ditemukan dalam moralitas aristokrat Yunani Kuno. Sementara itu, moralitas budak adalah moralitas orang lemah yang oleh Nietzsche tampak dalam moralitas Kristen yang mengusung nilai kelangsungan hidup seperti kepatuhan, kerendahan hati, pengampunan, dan kesabaran sebagai sesuatu baik bagi budak.

Nietzsche memandang bahwa moralitas merupakan alat yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk mengontrol dan memanipulasi pihak yang lemah. Dari sisi kaum budak, nilai-nilai seperti kerendahan hati, kelemahlembutan dan ketaatan dirancang untuk menjaga agar pihak yang lemah tetap berada di tempatnya dan mencegah mereka menentang pihak yang kuat. Untuk bertahan hidup, kaum budak harus mengarahkan kekuatan dan ketegasan alami mereka melawan ekspresi kekuatan dan ketegasan mereka sendiri. Hal ini tentu saja membuat mereka sangat membenci tuannya---tetapi mereka juga mulai membenci diri mereka sendiri karena melakukan apa yang dikatakan tuannya dan karena peran mereka sendiri dalam menekan diri sendiri. Konflik antara dua jenis moralitas ini memuncak dalam kebangkitan Agama Kristen yang menggantikan nilai-nilai moralitas tuan dengan nilai-nilai moralitas budak dan sekaligus menghilangkan dimensi kehendak untuk berkuasa (the will to power) dan kreativitas manusia.

Dalam konteks polemik Magnis, reaksi sebagian besar publik terhadap dugaan pelanggaran etis Presiden Jokowi dan ASN menggambarkan fantasi moralitas budak yang ingin balas dendam sekaligus mengingatkan pemimpin tentang pentingnya moralitas tuan. Namun baik pihak pengkritik maupun pembela Jokowi, dua-duanya masih menggunakan rumusan masalah dan standar moral yang sama. Padahal mengutip Nietzsche, dibutuhkan tranvaluasi nilai di mana masing-masing pihak keluar dari parameter moral tuan dan budak. Penjungkirbalikan nilai itu penting dilakukan agar menghindarkan diri dari kecenderungan saling mengklaim seperti yang ditunjukan oleh Magnis dalam legal judgement bahwa presiden mencuri dan klaim prosedural pejabat kementerian bahwa yang dilakukan rezim tak melanggar regulasi.

Meskipun demikian, polemik ini menjadi semacam blessing in disguise, memberikan kita pelajaran berharga, terutama kepada agama-agama formal di Indonesia untuk mulai berbicara tentang formasi leadership, tata kelola kenegaraan, sekaligus pada saat yang sama mengurangi kecenderungan menghabiskan terlalu banyak waktu dan tenaga mengumbar seruan moral resentimen tentang surga dan neraka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun