Mohon tunggu...
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pilpres 2024 dan Dominannya Etika Weberian-Kantian

15 Mei 2024   07:56 Diperbarui: 15 Mei 2024   08:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Profesor Filsafat STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno menjadi saksi ahli saat sidang lanjutan sengketa hasil pilpres 2024 di MK. Sumber: kompas.com

Jagat publik Indonesia dihebohkan dengan kehadiran Romo Magnis Suseno sebagai salah seorang saksi ahli dalam sidang lanjutan perkara sengketa hasil Pemilihan Presiden di MK, Selasa (2/4). Kehadiran Magnis itu direspon banyak pihak, yang sekurang-kurangnya melahirkan dua perspektif dominan percakapan tentang etika beberapa waktu belakangan: 

Pertama, cara pandang demokrasi liberal yang berupaya melihat sejauh mana standar-standar etis diterapkan dalam prosedur dan mekanisme elektoral. Perspektif ini membuat percakapan etis terkunci pada prosedur, kode etik, bahkan etiket (standar sopan santun) dalam politik. Sanksi etik sebanyak tiga kali kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari merupakan salah satu dari sekian banyak contoh implementasi etika liberal tersebut. 

Kedua, penganut demokrasi deliberatif yang berupaya memahami seberapa jauh dan dekatnya hubungan antara substansi (kedaulatan rakyat) dan prosedur (partisipasi publik) demokrasi melalui penerapan etika dalam regulasi. Undang-Undang menjadi referensi penting dalam penerapan etika untuk memastikan bahwa yang subtansial tersirat dalam prosedur atau sebaliknya. Perspektif ini membuat parameter kebaikan dan keburukan diputuskan berdasarkan suara mayoritas maupun melalui legal judgement.

Membongkar Proposisi Magnis

Jika meletakkan argumen-argumen Magnis Suseno ke dalam dua perspektif di atas, kita menemukan bahwa etika dibahas menggunakan kosa kata moral karena menjadikan Presiden Joko Widodo dan regulasi hukum sebagai titik tolak sekaligus orientasi etika politik yang dibayangkan berlaku universal. Hal itu tampak dalam beberapa pernyataan Magnis yang menyebut, "presiden tak ubahnya seperti pemimpin organisasi mafia bila menggunakan kekuasaannya hanya untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu". Sebaliknya, Magnis mengingatkan bahwa rakyat akan menaati pemerintah jika pemerintah bertindak berdasarkan hukum yang berlaku. Tidak berhenti di situ, Magnis menyebut bahwa etika membedakan manusia dari binatang karena bintang hanya mengikuti naluri-naluri alamiah tetapi manusia sadar bahwa nalurinya hanya boleh diikuti apabila naluri itu baik. Padahal mengutip Nietzsche, "der Irrtum hat aus Tieren Menschen gemacht---kekeliruanlah yang membuat hewan menjadi manusia, karena hewan tak bisa khilaf sedangkan manusia sering keliru.

Besar kemungkinannya, landasan berpikir Magnis bersumber dari cara berpikir Weberian yang menekankan pentingnya peran lembaga sebagai penjaga moral publik dan Habermasian yang menekankan konsensus rasional serta Kantian yang meletakan kewajiban universal dalam etika deontologis. Immanuel Kant (1724-1804) misalnya membahas etika terutama dalam tiga karyanya yakni The Critique of Practical Reason dan The Metaphysics of Morals namun Groundwork of the Metaphysics of Moral merupakan buku yang secara khusus membahas tentang etika. Secara umum, Kant fokus pada kewajiban yang mendefinisikan apa itu kebaikan dan keburukan, yang meletakan dasar bagi etika deontologis (berasal dari kata bahasa Yunani, deon yang merujuk pada sesuatu yang bersifat wajib dan mengikat) yang tercermin dalam pernyataan, "berbuatlah berdasarkan petimbangan-pertimbangan, patokan-patokan, dan maksim-maksim yang dapat dikehendaki sebagai undang-undang umum". Filsafat etika deontologis Kant menegaskan bahwa manusia memiliki akal budi dan memahami hukum-hukum moral yang dapat diterapkan secara universal.

Berbeda dengan cara berpikir di atas, muncul perspektif alternatif yang memahami etika bukan bersumber dari metafisika universal (rational choice dalam demokrasi elektoral), prosedur atau tata kelola (good governance dalam demokrasi liberal) dan kehadiran lembaga atau regulasi (konstitusi sebagai panglima dalam demokrasi deliberatif), tetapi dari relasi antarmanusia. Karakter relasional etika membuka percakapan baru bahwa etika atau filsafat moral berbeda dengan moralitas. Jika moralitas mengandaikan adanya landasan epistemologis yang sarat dengan perintah dan larangan maka etika berkutat dengan dilema ontologis.

Pembedaan itu penting ditampilkan karena seseorang tidak bisa menyamakan etika dengan agama. Memang, sebagian besar agama menganjurkan standar etika yang tinggi. Namun orang yang tidak beragama, bahkan ateis juga menerapkan etika. Bersikap etis juga tidak sama dengan menaati hukum sebab Undang-Undang seringkali merupakan standar etika yang dianut oleh sebagian besar warga negara. Undang-undang perbudakan sebelum Perang Saudara dan Undang-Undang apartheid lama di Afrika Selatan, saat ini merupakan contoh nyata dari regulasi yang menyimpang dari etika. Bersikap etis juga tidak sama dengan melakukan "apa pun yang diterima masyarakat". Disebut demikian karena standar perilaku dalam masyarakat juga bisa menyimpang dari etika. Nazi Jerman adalah salah satu contoh yang menunjukkan betapa masyarakat korup secara moral.

Dalam Eichmann in Jerusalem (1963), filsuf keturunan Yahudi, Hannah Arendt berpendapat bahwa komandan Nazi Adolf Eichman dan atasannya telah menghancurkan dirinya sendiri karena tidak menyadari bahwa hidupnya sendiri terikat dengan orang-orang yang ia hancurkan. Ketidaksadaran itu terjadi karena berada di luar kerangka hukum sosial politik konvensional yang menganggap semua manusia itu setara. Iustrasi ini mirip dengan kisah Medea karya Erupides ketika perempuan itu memutuskan untuk membalas dendam kepada Jason suaminya yang berselingkuh dengan cara membunuh anak-anaknya sebelum membunuh dirinya sendiri. Bagi Jacques Lacan, itulah momen etis karena tindakan Medea melampaui paramater hukum positif dan sistem simbolik "Ibu" yang dipahami secara luas.

Melampaui Kant, Memikirkan Ulang Nietzsche

Dua ilustrasi di atas menggambarkan bahwa momen etis selalu berlangsung dalam ketegangan antara prosedur dan substansi, tradisi dan dogma, sistem bahasa dan revolusi makna. Jika menggunakan pendekatan politik radikal, meminjam penalaran agonistik Mouffe, etika hanya berlangsung dalam ketegangan permanen antara differentia specifica kawan-lawan (friend/adversarial)---mentransformasi projek politik Carl Schmit, kawan-musuh (friend/enemy). Perspektif ini sangat berguna dalam mengelola perbedaan politik dan merawat dimensi konfliktual di dalamnya sebab kelompok yang dianggap sebagai "kawan" atau "lawan" sama-sama direpresentasikan oleh wakil yang terpilih atau tidak terpilih. Khusus dalam konteks Pilpres, terwujud dalam Populisme Perubahan dan Populisme Keberlanjutan.

Bagian ini absen dibahas karena menggunakan kaca mata moral Kantian, Magnis menganggap semua warga negara itu rasional dan dengan demikian diasumsikan mewakili komitmen moral universal. Namun, dalam politik representasi, presiden adalah lembaga yang merepresentasikan warga negara yang memilih atau tidak memilih dirinya. Jika presiden diklaim melanggar etika artinya warga negara juga melanggar etika dengan cara membiarkan (by omission) semua itu terjadi karena tidak menjalankan fungsi kritik dan pengawasan atau kontrol yang bermakna sebagai advocatus diaboli. Akan lain ceritanya jika Magnis dengan berani mengakui bahwa tindakan pelanggaran etis yang dilakukan presiden merupakan kelalaian yang disebabkan oleh dirinya sendiri dan seluruh warga negara termasuk DPR dan lembaga lain yang berwenang mengontrol jalannya kekuasaan. Namun, untuk sampai di situ, perlu pembongkaran standar nilai etis yang sudah terlanjur dibuat mapan baik lembaga maupun regulasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun