Mohon tunggu...
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon)
Hans Hayon (Yohanes W. Hayon) Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Isu-Isu Demokrasi, Ekonomi-Politik, dan Keamanan

Suka membaca dan mengobrolkan apa saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradoks Natal

30 Desember 2023   23:18 Diperbarui: 15 Mei 2024   08:25 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Yosef yang ragu-ragu mengambil Maria sebagai istrinya adalah pengalaman paling eksistensial ketika di mana-mana ada banyak laki-laki yang ragu-ragu menikahi perempuan yang hamil di luar nikah. Atau Maria yang bersikap pasrah jika seandainya tidak ada lelaki seperti Yosef. Pergulatan seperti ini, begitu dekat dengan kehidupan pemuda-pemudi kita hari ini, yang seharusnya menjadi fokus dari pewartaan Natal.


𝐍𝐢𝐥𝐚𝐢 𝐁𝐚𝐫𝐮 𝐝𝐚𝐧 𝐀𝐠𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐭𝐚𝐥


Pertama, dengan membongkar parameter nilai yang kita hidupi selama ini ketika memikirkan dan berbicara tentang Natal, kita dimampukan menemukan bahwa kita juga bisa menjadi seperti Yesus. Tujuan Yesus menjadi manusia hanya satu: supaya kita belajar untuk menjadi seperti Dia. Jika tidak begitu, buat apa Yesus susah-susah menjadi daging, menjadi roti, menjadi domba, menjadi anggur, menjadi makanan, menjadi manusia?


Dengan lahir di kandang, Yesus mau tunjukan bahwa semua orang bisa menjadi raja, bisa menjadi pemimpin, bisa jadi apa saja. Dengan lahir bukan dari keturunan secara langsung seperti versi Perjanjian Lama, terjadi pemutusan hubungan kepemimpinan/kekuasaan berdasarkan garis keturunan (dinasti).


Bagian ini penting ketika kita bicara tentang formasi pemimpin kita hari ini yang dikuasai oleh segelintir elit berdasarkan kontrol politik, jaringan keluarga, dan kekayaan ekonomi. Sebaliknya, terus-menerus memaklumi bahwa kandang itu identik dengan kehinaan dan kesengsaraan hanya akan membatalkan peluang kita melahirkan calon pemimpin dari keluarga dan masyarakat kita sendiri.


Kedua, jika Natal diletakan sebagai momen mengambil keputusan dan menghadapi risiko, maka menjadi pemimpin dan menjadi raja selalu berisiko, apalagi itu dilakukan melalui jalur yang tidak biasa. Banyak orang menempuh jalur suap, jaringan klientisme, dan patronase untuk menjadi anggota dewan, pejabat kampus, pejabat gereja, bahkan menteri, namun tidak pernah sekalipun menjadi pemimpin.


Ketika diwawancarai Andre Vltchek dan Rossie Indira (Des 2003-April 2004), Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa sesudah Soekarno, kita memiliki banyak presiden, tetapi tidak pernah memiliki pemimpin. 

“Yang bisa mereka lakukan hanya bicara omong-kosong saja. Tidak ada kampanye yang benar-benar, karena tidak ada yang bisa mereka bicarakan. Buat saya, mereka semua hanyalah badut-badut,” kata Pram.


Yesus dan Soekarno misalnya, disebut pemimpin karena melakukan hal ini: berani memutuskan sesuatu dan siap menanggung risikonya. Jika mengenang kembali peristiwa kematiannya, Yesus yang wafat di salib mestinya tidak dilihat sebagai momen sengara, tapi momen kemuliaan. Mengapa demikian? Ya, karena mati adalah konsekuensi yang muncul dari keputusan-Nya menaati perintah Allah.


Yesus menjadi Tuhan bukan karena mukjizat-mukjizat yang Ia lakukan, tetapi karena keputusan yang Ia ambil. Pergualatan di taman Getzemani dan di atas salib menunjukkan itu secara terang benderang.
Lalu mengapa bagian ini hilang dari percakapan kita ketika berbicara tentang menjadi pemimpin?


Ketiga, berkelurga bukan semata-mata hanya karena seseorang telah menikah dan memiliki anak misalnya. Parameter ini diubah melalui Natal. Kelahiran Yesus mempertanyakan kembali nilai-nilai yang kita yakini menjadi dasar terbentuknya sebuah keluarga. Bukan uang atau bukan keterjaminan; tetapi cinta, itulah dasarnya. Dengan demikian, hubungan keluarga ditentukan bukan lagi oleh darah, family is not only about blood, it’s about love.


Pernyataan Yesus yang masih remaja di Bait Allah di Yerusalem bahkan nyaris membuat Maria stress: Sebab, siapa saja yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang ada di surga, dialah saudara laki-laki-Ku, saudara perempuan-Ku, dan ibu-Ku (Matius 12: 50). Anda bisa terjemahkan ini ke dalam banyak bentuk tergantung ke mana Anda menghubungkan cinta, baik itu komitmen kepada seseorang, komunitas gerakan, bahkan masyarakat secara keseluruhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun