Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Perlu Mencintai Tuhan?

1 November 2017   21:47 Diperbarui: 1 November 2017   21:50 2451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mencintai manusia, alam, dan makhluk hidup, bagi saya merupakan hal yang sudah biasa. Meskipun dalam proses mencintai itu terdapat begitu banyak tantangan dan kendala, toh masih tersedia alasan konkret bagi seseorang untuk tetap bertahan. Lalu, bagaimana dengan mencintai Tuhan? Mengapa seorang pemuda memutuskan untuk tidak menikah karena lebih tertarik menjadi seorang biarawan? Apakah ada penjelasan ilmiah mengapa seorang lebih cenderung menghabiskan waktu berjam-jam di dalam tempat ibadah dari pada bersama kawan dalam sebuah klub malam? Lalu, kapan seseorang yang mencintai Tuhan itu, patah hatinya? 

Saya belum tahu persis tetapi ilustrasi ini bisa menjadi titik tolak refleksi saya tentang cinta seperti itu. 

Sebuah pepatah Jepang berbunyi demikian, "Aku berkata kepada pohon amandel: ceritakan padaku tentang Tuhan! Lalu ia mulai berbunga". Ilustrasi di atas menjelaskan betapa dekatnya Tuhan dengan ciptaanNya. Saya kemudian berpikir, cara terbaik untuk mengenal Tuhan adalah dengan mencintai berbagai hal. Tuhan senantiasa menyediakan anugerah cinta bagi setiap orang dan baru akan memberikannya ketika manusia cukup hanya dengan menganggukkan kepala. 

Itulah alasannya mengapa orang selalu menutup mata ketika berdoa, ketika menangis, atau ketika menyelami secara mendalam suatu peristiwa. Karena, hal-hal yang indah itu tidak bisa dilihat dengan mata tetapi dengan hati. Saya berani menyimpulkan demikian karena hati adalah mata yang tidak pernah tertutup. Mungkin karena alasan yang sama itulah, William Shakespeare menulis, "Cinta bukan dilihat dengan mata, tetapi dengan hati. Oleh sebab itulah, dewi cinta yang bersayap selalu dilukiskan buta".

Mencintai: Bergerak Keluar

Sebagaimana yang kita ketahui, cinta butuh "sarana" atau sesuatu yang melaluinya cinta itu menjadi mungkin. Penyair Sapardi Djoko Damono dalam puisinya Aku Ingin menulis, "Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Seperti kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, seperti isyarat yang tidak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada". Betapa sederhananya mencintai itu. Pertanyaan yang sama akan muncul: apa "sarana" yang dibutuhkan untuk mencintai Tuhan?

Berbicara tentang Tuhan saja sudah rumit, apalagi mencintainya. Itu jauh lebih rumit. Demikian kesan pertama dari orang kebanyakan tentang konsep mencintai seperti ini. Tetapi, jika kita berusaha mendalami secara bijak bagaimana seharusnya mencintai Tuhan, kita akan menemukan betapa sederhana mencintaiNya. Sebuah pepatah Latin ditulis, "Ubi amor, Deus caritas est" yang artinya di mana ada Tuhan, di situ ada cinta. 

Dengan kata lain, di dalam cinta, Tuhan ditemukan di dalam dunia, dan di dalam dunia, Tuhan ditemukan di dalam cinta. Karena itulah, novelis Rusia, Fyodor Dostoevsky pernah menulis demikian, "Cintailah semua ciptaan Tuhan, cintailah bagiannya masing-masing...cintailah setiap helai dedaunan, cintailah setiap berkas sinar, cintailah binatang, tanaman, juga benda yang tidak ber-roh sekalipun, dan akhirnya engkau akan mencintai Tuhan dan manusia secara utuh".

Berkaitan dengan hal di atas, orang Inggris mendefinisikan cinta sebagai to love means to reach out di mana mencintai berarti menjangkau orang lain. Nah, bagaimana sampai seseorang bisa menjangkau orang lain? Hal pertama yang perlu dilakukan adalah bergerak keluar dari diri. Lihatlah kura-kura! Satu-satunya kesempatan yang bisa membuat kura-kura melangkah maju adalah karena dia berani menjulurkan kepalanya ke luar. 

Tidak pernah ada "mencintai tanpa bergerak keluar dari diri". Hanya melalui proses keluar dari sikap egoisme, ekslusivitas, dan kemapanan diri itulah, terdapat kemungkinan untuk mencintai. Dengan demikian, kita sering menemukan ungkapan seperti: "Aku mencintaimu karena aku peduli pada hidumu".

Di samping itu juga, melalui proses mencintai, seseorang dihadapkan pada kenyataan lain bahwa ternyata hidup dirasa begitu timpang tanpa kehadiran orang yang dicintai. Demikian pula mencintai Tuhan merupakan salah satu alasan mengapa orang selalu merasa begitu berdosa di hadapanNya. 

Saya katakan begitu karena Tuhan adalah tempat terbaik manusia meletakkan cermin dirinya. Bayangkan saja pada suatu ketika Tuhan berdiri bagaikan sebuah cermin jernih di hadapanmu, kamu memandang ke dalam diriNya dan melihat bayanganmu. Kemudian kamu berkata, kucinta kamu. Tetapi sebenarnya, kamu mencintai dirimu dalam diriNya.

Sayangnya, seiring perkembangan zaman, manusia cenderung ingin menjadi seorang pribadi dewasa dan otonom. Tetapi di hadapan Tuhan, kita diajak menjadi seperti anak kecil, bukan sebagai orang dewasa yang otonom. Peribahasa sanskrit mengatakan, "Kalau sungai masuk ke laut, ia lupa akan nama dan kemasyurannya". 

Demikian juga, kaum bijak dan pandai dari dunia ini akan membuang jabatan dan ijazahnya pada saat mereka mendekati dan bertemu dengan Tuhan. Tidak mengherankan bila filsuf dan matematikawan ateis, Blaise Pascal sebelum meninggal menulis bahwa manusia hanyalah sebatang galah yang berpikir, un roseau pensant untuk menjunjukkan sekaligus kedahsyatan manusia dan kerapuhannya.

Mencintai Berarti Berharap

Cinta itu apa, bagaimana, darimana asalnya, kemana orientasinya, dengan cara apa ia bekerja, dan seterusnya, adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang selalu fakultatif jawabannya. Cinta adalah sebuah keadaan, makhluk atau entitas, yang kita merasa dekat bahkan terintegrasi ke dalamnya, tapi secara paradoksal justru kita tidak pernah (bisa/mungkin) memahaminya. 

Dalam dunia abstrak, mungkin cinta menempati strata abstraksi tertinggi, yang selalu gagal kita tangkap-bekap, kita rumuskan, falsifikasi, materialisasi atau kita ukur, tidak sebagaimana beberapa abstraksi di strata-strata di bawahnya. Sepanjang sejarah kebudayaan manusia, manusia merasa dipengaruhi, ditelanjangi, diperangkap bahkan disubordinasi oleh cinta, tanpa ia memiliki kapasitas kebudayaan apa pun untuk mengerti apa sesungguhnya "makhluk" yang begitu berkuasa itu.

Cinta tampaknya telah menjadi penguasa abadi yang manusia mati-matian ingin menggeser posisi itu, atau sekurangnya menjadi partner terbaik, untuk ikut merasakan kekuasaan itu. Kekuasaan yang tak tersentuh dan membuat kebudayaan (bangsa seluruh dunia) secara obsesif mendambakannya. Tapi makhluk satu itu bergeming. Ia ada dalam realitasnya sendiri. Ia ada untuk memengaruhi, bukan sebaliknya. Ia seperti tangan Tuhan yang menjalankan kuasaNya, tanpa makhluk lain dapat menggugat, mengganggu, atau mengoreksinya. Tuhan bicara melalui cinta.

Filsuf eksistensialis dari Prancis, Gabriel Marcel mengatakan bahwa mencintai seseorang berarti berharap kepadanya untuk selamanya. Sama saja hubungan manusia dengan Tuhan. Jika kita tidak miskin, tidak mengharapkan apa-apa dari padaNya, jika kita tidak ingin mendengarkanNya maka sebabnya adalah kita sudah tidak lagi mencintaiNya, tidak lagi percaya kepadaNya. Sejak kita tidak memperhatikan lagi saudara-saudara kita, suami dan isteri, sejak kita tidak mengharapkan sesuatu dari orang lain, itu berarti kita tidak mencintai mereka lagi. Kita menganggap dan memperlakukan orang lain sebagai barang sebab perhatian dan pengharapan menentukan sikap kita terhadap orang lain.

Dengan mencintai Tuhan, sebenarnya manusia sedang berupaya mencintai dirinya sendiri. Mencintai diri sendiri merupakan titik tolak untuk mulai mencintai sesama. Oleh karena itu, saya bisa katakan, mencintai Tuhan berarti mencintai semua ciptaanNya tanpa kecuali. Paus Fransiskus dalam salah satu audensinya seperti yang dikutip oleh New York Times mengatakan, "Saya percaya pada Tuhan, tetapi bukan Tuhannya orang Katolik." Betapa mencengangkan pernyataan seperti itu. 

Demikian juga Mahatma Gandhi yang berani mengatakan, "Saya tidak memeluk agama tertentu. Agama saya adalah kemanusiaan." Mencermati pernyataan kedua tokoh terkenal di atas, saya berani menyimpulkan bahwa mencintai Tuhan berarti mencintai Dia secara tak terbatas baik dari segi kualitas maupun caranya. Tanpa batas atau sekat primordial. Bulan bergerak tanpa berisik dan kembang mekar dalam diam. Demikianpun Tuhan yang adalah cinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun