Bersamaan dengan datangnya zaman postmodern, di mana segala sesuatu menjamur tak terkendali, orang kehilangan pegangan. Satu-satunya hal yang digunakan untuk merayakan kehidupan yakni terlibat dalam kerumunan sosial. Artinya, otonomi diri seseorang ditentukan oleh sejauh mana peranan kerumunan sosial itu. Konsekuensinya jelas, di mana-mana, orang disebut modern, maju, dan kekinian, jika dia bisa menikmati secangkir kopi di starbuck ketimbang di warung kopi. Atau orang dinilai modern jika menikmati paha ayam di KFC ketimbang di rumah sendiri. Atau menggunakan smartphone itu lebih kece daripada Wartel.
Pernyataan seperti, "You are what you eat" sebenarnya menegaskan posisi masyarakat postmodern di atas. Tindakan mengonsumsi bukan lagi sebagai sebuah aktivitas kodrati untuk bertahan hidup melainkan lebih sebagai tindakan menjaga status sosial. Nah, dalam kondisi seperti itu, saya melihat ada sesuatu yang baik datang dari Nanamia Pizzeria Resto yang terletak di jalan Tirtodipuran no. 1 Yogyakarta, beberapa kilometer ke arah selatan, dari jantung kota Malioboro.
 "The Journey is the Destination"
Sekurang-kurangnya, sub judul di atas menegaskan bahwa proses merupakan tujuan dari sebuah perjalanan. Tanpa harus terjebak dalam kecenderungan mengabaikan tujuan, Nanamia Pizzeria hadir dengan pola pikir yang mirip. Seperti yang diungkapkan oleh Pak Matthias, pemilik resto tersebut, "Pola makan di Eropa itu lebih mengutamakan prosesnya. Sebab, dalam proses memasak makanan, ada kesempatan berkomunikasi dari hati ke hati dalam suasana kebersamaan." Bahkan, kata dia, untuk membuat saus tomat saja, butuh waktu berjam-jam.
Tidak dengan maksud mempecundangi restoran canggih yang tersebar di Indonesia, Pak Matthias bersama istrinya Ibu Nana, mendesain resto tersebut agar para pengunjung merasa seperti di "rumah sendiri (at home)". Sampai pada titik itu, saya menduga, kehadiran Nanamia Pizzeria merupakan bentuk protes terhadap mode popular di hampir semua rumah makan yang cenderung menunda pola komunikasi. Lihat saja di kafe dan restoran, masing-masing orang duduk dan sibuk dengan pembicaraan yang serius, di samping beberapa yang lain militan memelototi smartphone.
Memasak Itu Pekerjaan Jiwa
Satu hal menarik yang diungkapkan oleh Pak Matthias dalam bincang-bincang bersama Kompasianer Jogja yakni bagi dia, memasak itu proses kerja jiwa. "This is the work of the soul," katanya. Dengan demikian, lanjut Matthias, menjual hasil masakan sama artinya dengan menjual setengah jiwa. Sampai di situ saya tertegun.Â
Alangkah filosofisnya pernyataan seperti itu. Jujur, saya tidak terlampau tergesa-gesa menyimpulkan bahwa memasak bagi perempuan itu kewajiban dan bagi pria itu pekerjaan seni. Bagi saya, di tengah kemajuan zaman seperti ini, banyak orang berupaya menjaga "muka" atau gengsi ketimbang merawat jiwanya sendiri. Demi meraup profit sebesar-besarnya, banyak perusahan dan kapitalis mengorbankan segala sesuatu termasuk sesama manusia.Â
Saya berani bertaruh, di dalam sebuah perusahan besar, orang bekerja karena tuntutan profesionalitas dan bukan karena pengabdian. Kalau pun ada, jumlahnya sangat sedikit. Nah, "memasak itu kerja jiwa" adalah sebuah pengecualian yang sangat serius. Muncul pertanyaan, ketika memasak, apakah Anda melakukan hal itu sebagai sebuah rutinitas semata? Sebenarnya memasak itu sebuah aktivitas yang seksis, yang hanya dilakukan oleh kaum perempuan saja, ataukah semua orang?
Melawan Kapitalisme dengan Memasak