Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cemeti

21 Juli 2017   09:12 Diperbarui: 21 Juli 2017   10:07 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepanjang diskusi di Cemeti, terdapat dua hal yang mengganggu akal sehat saya yakni narasumber berbicara terlalu sederhana dan saking sederhananya, mungkin saja membuat orang "awam" tidak paham. Sebagai misal, ketika membahas tentang kebaikan dan kesederhanaan, tidak jarang orang mengira bahwa itu topik yang sangat mudah dan tidak luar biasa. Namun, "apa itu kebaikan dan apa itu kesederhanaan"? Terhadap pertanyaan yang sederhananya minta ampun semacam ini, sudah membuat banyak orang sejak Plato, Edward Moore, sampai Habermas pusing! Mengapa? Karena orang mesti menyesuaikan dirinya untuk melihat hal-hal yang sederhana tetapi dengan tatapan yang mendalam sehingga, akan muncul substansi dari hal yang dinilai sepele dan biasa-biasa saja itu.

Rasa terganggu berikutnya yakni, narasumber berbicara seolah-olah semua pendengar sudah mengerti. Kesimpulan ini muncul karena sepanjang presentasi dan diskusi, orang berbicara seperlunya saja tanpa harus menghamburkan kata-kata biar dikira keren tapi lucu. Jujur saja, kebanyakan mahasiswa yang saya jumpai di Flores punya kecenderungan banyak bicara, gemar berkomentar, tetapi substansinya absen. Saya tidak menyalahkan panitia Cemeti karena saya tahu, mereka menganggap semua orang yang datang-hadir diskusi itu, setidak-tidaknya sudah punya pemahaman tentang apa yang akan dikaji nantinya. Luar biasa, bukan? Tidak heran, sepanjang pertemuan, saya lebih banyak diam dan menyimak.

Cemeti

Sudah sejauh mana lembaga pendidikan di Flores menyediakan ruang diskusi bagi para (maha)siswanya? Ini persoalan penting dan mendesak! Selain membaca, literasi sekolah hanya akan berkembang jika ditopang dengan kebiasaan berdiskusi. Di sana, orang bisa menyampaikan gagasannya, menyiasati teknik berargumentasi, membangun pertahanan jika idenya diserang, dan merumuskan kesimpulan yang masuk akal. Naas, orang cenderung lebih mudah tergoda untuk menyerang pribadi ketimbang gagasannya. 

Padahal, kita mahfum, kehancuran sebuah bangsa sebenarnya dimulai dari lembaga pendidikan yang minus ruang berdiskusi. Saya sama sekali tidak mendewakan apa yang dinamakan diskusi ini! Namun, pengalaman membuktikan, sejak Plato dan Aristoteles, kehidupan masyarakat hanya akan berkembang jika mereka diberikan ruang untuk menyampaikan gagasan yang lahir dari kegelisahan hidup mereka sendiri secara argumentatif. Itulah inti berdemokrasi sebenarnya. Di dalam ruang tersebut, genaplah apa yang saya kutip di awal tulisan ini, I can not teach anybody everything. 

I can only make them think (saya tidak mengajarkan orang tentang segala sesuatu. Saya hanya membuat mereka berpikir). Pikiranlah yang menjadi kunci apakah, sesudah membaca tulisan ini, kau merasa tersinggung ataukah masa bodoh. Pikiranlah yang selanjutnya membuat Anda menyadari betapa pentingnya berdiskusi ketimbang meratapi nasib karena tak pernah tuntas melupakan mantan! Jika kau belum berhasil, belajarlah dari dua orang ini: Sonny Lamoren dan Dedi Lolan. Hahaha!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun