Mohon tunggu...
Hans Hayon
Hans Hayon Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Melihat Indonesia Timur dari Yogyakarta

11 Juli 2017   02:50 Diperbarui: 11 Juli 2017   10:25 1450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa warga tampak berfoto bersama para mahasiswa dari papua di acara Bakar Batu(KOMPAS.com/ wijaya kusuma)

Baru sekitar sebulan lebih saya berada di Kota Yogyakarta. Ketika masih di Flores, NTT sangat sering saya mendengar nama kota itu dilafalkan berulang kali seumpama mantera. Beberapa mahasiswa yang menempuh pendidikan di sana, bercerita mengenai betapa istimewanya kota yang terkenal dengan suasana yang memikat serta mengaburkan jalan pulang mereka. Tidak berlebihan jika "Penyair Celana", Joko Pinurbo menulis, "Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan". 

Saya belum begitu paham soal puisi. Satu-satunya hal yang saya tahu, kedatangan saya ke kota ini yakni untuk menempuh pendidikan. 

Lalu apa hubungannya dengan Indonesia Timur?

Seperti kebanyakan pandangan yang berseliweran di muka bumi ini, manusia sering memandang dan menilai hal lain berdasarkan perbandingan. Saya sendiri bingung: Indonesia Timur itu apa? Mengapa selama ini tidak pernah terdengar sekalipun orang-orang berbicara tentang Indonesia Tengah atau Indonesia Barat? Apa yang salah dengan itu Indonesia Timur sehingga namanya senantiasa disebut? Apakah itu merupakan bentuk kepedulian verbal?

Terhadap pertanyaan seperti itu, kebanyakan orang selalu menjawab, itu Indonesia Timur hanyalah identitas yang dibuat berdasarkan alasan geografis. Nah, ini yang lucu! Saya mendadak hendak mual. Logikanya, jika ada perbandingan semacam itu, otomatis "yang timur" tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya "yang barat". Begitu juga dengan "yang tengah". 

Tampaknya, sejarah bangsa Indonesia selalu dibayangkan terdiri atas tradisi pengkotak-kotakan, antara generasi tua dan muda, antara "kami" dan "mereka". Seakan setiap angkatan berdiri sendiri, terpisah dan tak bersinggungan sama sekali.

Lalu, Indonesia Timur itu apa?

Hingga saat ini, saya belum menemukan jawaban yang cukup memuaskan atas pertanyaan tersebut. Jangan bilang itu soal identitas politik. Sumpah, itu bikin saya gemas. Alasannya sederhana saja: sudah sejauh mana orang-orang dari Indonesia Timur menyadari akan identitasnya tersebut? Itu pun kalau yang namanya identitas itu ada. Seandainya ada orang yang bilang bahwa identitas tersebut memang ada, pertanyaan berikutnya, identitas seperti apa yang kalian maksudkan itu? 

Konflik di Timor Leste (yang berujung pada disintegrasi) mestinya menjadi persoalan seluruh masyarakat Indonesia Timur seandainya identitas semacam itu ada. Atau lihat saja gerakan bawah tanah di Papua, misalnya. Sudah sejauh mana keterlibatan semua elemen di Republik Indonesia bagian Timur untuk mengatasi persoalan tersebut? Jadi, stop sudah bilang-bilang kalau Indonesia Timur itu identitas politik.

Meskipun saya belum membuat survey, terbilang cukup banyak mahasiswa di Yogyakarta berasal dari Indonesia bagian Timur. Entah bagaimana, kota ini dianggap memiliki daya pikat yang luar biasa. Jujur, sampai saat ini, saya belum menemukan alasan yang cukup penting mengapa Yogyakarta dianggap istimewa. Hemat saya, alasan keistimewaan Yogyakarta lebih bertendensi politis yakni berada di bawah pemerintahan sultan. Itu saja, tidak lebih. 

Dengan demikian, kesan mengistimewakan sebuah kota dibandingkan kota lain tanpa alasan rasional merupakan ketimpangan akut sejak dalam pikiran. Meskipun subjektif, Larantuka, Labuan Bajo, Ende, dan beberapa kota lain di Pulau Flores justru jauh lebih membuat saya tertarik ketimbang ikonis Yogya. Boleh jadi ada yang hendak bertanya, "Lalu kenapa mesti jauh-jauh datang kuliah di sini"? 

Jawaban atas pertanyaan tersebut sederhana namun berdampak luas: karena politisasi pendidikan. Di mata orang yang ada di Indonesia bagian Timur, pendidikan di Pulau Jawa jauh lebih "berkelas" dan punya nilai jual. Tamatan S1 Sastra Inggris Sanata Dharma tentu jauh lebih diminati pangsa kerja ketimbang lulusan dari universitas X di NTT. Jangan terlalu naif dan menilai bahwa hal yang diutamakan itu kualitas dan bukannya popularitas. Publik sudah terlanjur mengidolakan universitas tertentu dibandingan yang lainnya dengan pertanyaan semacam,"Tamatan Sadar ya? Dari UNY kan?" Nama besar universitas, itulah yang terpenting. Dengan demikian, di mana posisi Indonesia Timur jika dalam kancah pendidikan saja, kebanyakan mahasiswanya menempuh pendidikan di luar daerah? 

Tidak masalah jika kemudian ada yang menilai bahwa toh dengan menempuh pendidikan di Pulau Jawa, setelah tamat, para sarjana muda itu akan kembali mengabdi di daerah asalnya. Namun pertanyaannya, sudah sejauh mana sistem pendidikan yang diterapkan di Pulau Jawa memahami karakteristik Indonesia Timur? Lebih luas lagi, sudah sejauh mana sistim pendidikan Indonesia menjangkau seluruh pelosok negara ini? Seorang guru SD di pelosok Kabupaten Ende tentu akan kesulitan membantu siswanya memahami soal teorema phytagoras seperti menghitung tinggi menara atau tiang listrik jika di daerah tersebut tidak ada menara dan listrik saja belum masuk. Belum lagi soal ketersediaan sarana seperti perpustakaan dengan koleksi buku yang memadai dan laboratorium.

Selain sejarah Orde Baru, boleh jadi komposisi pendidikan saat ini disusun berdasarkan kelas yang berkuasa. Alih-alih mempromosikan kearifan lokal, penyelenggara pendidikan terjebak dalam pengkultusan budayanya sendiri. Di situlah, saya terkenang akan Flores, sebuah pulau yang menyerupai alat musik gambus itu. Entah seperti apa masa depan masyarakatnya ketika Jawasentris terlanjur menyematkan label "Indonesia Timur" yang secara konotatif dekat dengan kemiskinan dan yang terbelakang.

Sampai di situ, saya menyadari: inilah perjalanan pertama dan terjauh yang pernah saya lakukan seumur hidup saya: ke Jawa; tepatnya di DI Yogyakarta. Sumpah demi mantan, ketika kembali ke Flores, akan ada begitu banyak pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Bukankah Larantuka terbuat dari rindu, pulang, dan jagung titi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun