Jawaban atas pertanyaan tersebut sederhana namun berdampak luas: karena politisasi pendidikan. Di mata orang yang ada di Indonesia bagian Timur, pendidikan di Pulau Jawa jauh lebih "berkelas" dan punya nilai jual. Tamatan S1 Sastra Inggris Sanata Dharma tentu jauh lebih diminati pangsa kerja ketimbang lulusan dari universitas X di NTT. Jangan terlalu naif dan menilai bahwa hal yang diutamakan itu kualitas dan bukannya popularitas. Publik sudah terlanjur mengidolakan universitas tertentu dibandingan yang lainnya dengan pertanyaan semacam,"Tamatan Sadar ya? Dari UNY kan?" Nama besar universitas, itulah yang terpenting. Dengan demikian, di mana posisi Indonesia Timur jika dalam kancah pendidikan saja, kebanyakan mahasiswanya menempuh pendidikan di luar daerah?Â
Tidak masalah jika kemudian ada yang menilai bahwa toh dengan menempuh pendidikan di Pulau Jawa, setelah tamat, para sarjana muda itu akan kembali mengabdi di daerah asalnya. Namun pertanyaannya, sudah sejauh mana sistem pendidikan yang diterapkan di Pulau Jawa memahami karakteristik Indonesia Timur? Lebih luas lagi, sudah sejauh mana sistim pendidikan Indonesia menjangkau seluruh pelosok negara ini? Seorang guru SD di pelosok Kabupaten Ende tentu akan kesulitan membantu siswanya memahami soal teorema phytagoras seperti menghitung tinggi menara atau tiang listrik jika di daerah tersebut tidak ada menara dan listrik saja belum masuk. Belum lagi soal ketersediaan sarana seperti perpustakaan dengan koleksi buku yang memadai dan laboratorium.
Selain sejarah Orde Baru, boleh jadi komposisi pendidikan saat ini disusun berdasarkan kelas yang berkuasa. Alih-alih mempromosikan kearifan lokal, penyelenggara pendidikan terjebak dalam pengkultusan budayanya sendiri. Di situlah, saya terkenang akan Flores, sebuah pulau yang menyerupai alat musik gambus itu. Entah seperti apa masa depan masyarakatnya ketika Jawasentris terlanjur menyematkan label "Indonesia Timur" yang secara konotatif dekat dengan kemiskinan dan yang terbelakang.
Sampai di situ, saya menyadari: inilah perjalanan pertama dan terjauh yang pernah saya lakukan seumur hidup saya: ke Jawa; tepatnya di DI Yogyakarta. Sumpah demi mantan, ketika kembali ke Flores, akan ada begitu banyak pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Bukankah Larantuka terbuat dari rindu, pulang, dan jagung titi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H