Beberapa kelompok bahkan menolak pengungsi karena prasangka agama dan rasial, banyak yang membenci pengungsi karena mereka adalah Muslim yang diasosiasikan dengan teroris (ledakan bom di Paris misalnya, sering diasosiasikan dengan banyaknya imgran dan pengungsi yang kini tinggal di Prancis) beberapa kelompok juga membenci pengungsi karena mereka adalahh ras berkulit hitam yang dianggap lebih rendah dibanding ras kaukasoid.
Kebencian-kebencian itu membuat pengungsi rentan mendapat diskriminasi di negara yang mereka tuju. Kini bayangkan, mereka pergi dari negara asal karena takut akan persekusi dan untuk menyelamatkan nyawa mereka, terlunta-lunta di negara transit selama bertahun-tahun dan ketika telah sampai ke negara tujuan, mendapat diskriminasi karena agama yang mereka peluk dan ras.
Dengan peristiwa di Afghanistan, tentu akan banyak warga Afghanistan yang memutuskan untuk meninggalkan negaranya akan mengalami hal-hal di atas, bahkan lebih parah. Beberapa hari lalu Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyatakan bahwa Turki tidak lagi sanggup menerima pengungsi Afghanistan, Yunani bahkan telah selesai membangun tembok di wilayah perbatasan untuk mencegah warga Afghanistan memasuki Yunani. Mereka yang tidak ingin tinggal di bawah rezim Taliban karena takut kini bahkan ditolak oleh beberapa negara.Â
Tanpa mencoba menghakimi apakah meninggalkan Afghanistan merupakan keputusan yang tepat atau tidak, penulis meyakini bahwa peristiwa di Afghanistan akan turut 'menyumbang' pengungsi dan tentu saja memperkeruh masalah yang dihadapi oleh para pengungsi dan asylum seeker saat ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H