Mohon tunggu...
Hanry Harlen
Hanry Harlen Mohon Tunggu... Petani - Agnostik

Hanya orang biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TERHUBUNG DAN SALING MENGHIDUPI, KONTRIBUSI EKO-REVISIONIS PARADIGMA AGAMA LELUHUR

5 Oktober 2018   14:51 Diperbarui: 6 Oktober 2018   01:32 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Beberapa saat lalu, saat saya sedang bosan menghadapi tugas kuliah yang sedang menumpuk, aplikasi Instagram yang ada di android-ku menjadi tempat ku melepaskan penat dan bosan. Ahh, lumayan.. bisa melihat beberapa selebgram yang sedang viral baik karena hal unik, aneh, bahkan hal bodoh. Hahaha... lucu emang, kadang hal-hal bodoh akan selalu menarik perhatian publik yang makin latah ini. Sudahlah.. aku tak mau membahas itu, biarkan saja mereka menikmati masa mudanya.

Waktu berlalu, aku masih tetap berselancar ria di dunia Instagram. Tiba tiba mataku tertuju pada sebuah gambar yang menunjukkan beberapa orang sedang melakukan aktifitas yang (katanya) bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan hidup. Di foto tersebut, beberapa orang anak muda sedang berfoto dengan memamerkan baju "save earth" sambil memegang beberapa anakan tanaman mangrove yang akan ditanam. 

Yang menarik disini ialah (selain foto beberapa anak muda milenial yang satu diantaranya memang sangat cantik, hehe) caption yang dipamerkan bersamaan dengan foto tersebut. Caption yang bertuliskan "selamatkan bumi agar anak cucu kita bisa menikmati bumi seperti kita menikmatinya sekarang". Caption ini bagi sebagian besar orang mungkin sangat memotivasi, menggugah perasaan, bahkan menginspirasi. Tetapi berbeda dengan yang lain, caption ini sebenarnya cukup mengganggu diriku. 

"Selamatkan bumi, agar anak cucu kita bisa menikmati bumi." entahlah, tetapi apa yang tertulis disini menurutku sama saja dengan membunuh bumi secara perlahan, atau, menunda "kematian" bumi. Alasannya sederhana, karena menjaga bumi dengan tujuan "hanya" agar bisa dinikmati oleh anak cucu manusia di masa akan datang, tidak ada bedanya dengan memberikan peluang kepada bumi untuk terus hidup, tetapi juga agar bumi masih tetap bisa dieksploitasi terus menerus. Sederhananya, menjaga bumi sekarang untuk kepentingan anak cucu manusia seakan memberikan ruang di masa depan agar manusia tetap bisa meluapkan hasrat eksploitatif mereka, karena jika bumi "mati" hasrat eksploitatif manusia akan semakin sulit untuk diaplikasikan.

Melindungi bumi, untuk apa?

Harus diakui, perdebatan Panjang soal "untuk apa menusia melindungi, menjaga atau memelihara bumi?" masih tetap, dan mungkin akan terus belangsung. Kaum rohaniawan environmentalis misalnya, selalu saja mengkampanyekan upaya proteksi terhadap bumi dengan dalildail tekstual, yang jika ditelusuri lebih jauh, masih saja menganggap bahwa alam, bumi dan segala hal yang bukan manusia harus tetap dijaga agar "mereka" tetap bisa "dipergunakan" manusia untuk menyembah Tuhan (mengenai masalah ini bisa dilihat di Moltmann, reconciliation with nature, 1991). 

Di sisi lain, beberapa pendekatan oleh kaum environmentalis radikal mengarahkan opini bahwa "manusia ialah penyebab kerusakan bumi, sehingga tugas manusia saat ini ialah membiarkan alam hidup tanpa diganggu oleh manusia" (pendekatan ini dapat dilihat di Cronon, The Trouble with Wilderness, 1996). Entahlah, aku belum mau berkesimpulan, apa makna dan tujuan mereka yang mengklaim diri berjuang untuk bumi, tapi apa yang aku rasa saat ini adalah bahwa manusia (umumnya) masih egois, bahkan untuk melindungi bumi saja, kepentingan manusia dan eksistensinya adalah tujuan terakhir dari perjuangan tersebut. Sederhananya, melindungi bumi hanya menjadi instrument belaka untuk manusia menunjukkan superioritas eksistensinya di tengah bumi, bahkan semesta.

Interkoneksi menurut agama leluhur: paradigma baru pendekatan sosio-ekologis.

Menyelami perdebatan dan bias paradigma ini, aku teringat kembali oleh beberapa kelas "indigenous religion" yang telah aku lewati beberapa bulan lalu. Dosenku pernah berkata "agama leluhur (umumnya) ialah agama yang sangat terikat dengan bumi dimana mereka berpijak". Ia melanjutkan, "manusia, hutan, gunung, dan segala hal dalam konsep agama suku ialah sebuah jejaring sistem yang saling mempengaruhi, sehingga terhubung dan saling menghubungkan ialah esensi dasar agama leluhur", sangat menarik.

Iya, keterhubungan, ikatan, relasi dll. Bagiku, itulah yang hilang dari paradigma masa kini tentang bagaimana seharusnya bumi diperlakukan. Mungkin bisa aku umpamakan demikian, "seorang ibu dan seorang baby sitter sama-sama bisa menjaga dan merawat seorang bayi, mungkin baby sitter memiliki kemampuan lebih untuk hal itu, tetapi apa yang membedakan ialah tujuan dari merawat bayi itu. 

Sang ibu merawat bayi karena ia memiliki hubungan darah, perasaan bahkan hubungan spiritual dengan sang bayi, tetapi tujuan babi sitter menjaga bayi ialah untuk dirinya sendiri, yaitu untuk upah". Disinilah puzzle yang hilang menurutku, bahwa meski manusia menjaga bumi, jika tak ada perasaan yang mengikat kedua pihak, tak ada hubungan, maka yang ada ialah sebuah egoisme yang berorientasi pada eksistensi pribadi, bukan esistensi dari ikatan tersebut, dan ikatan yang seperti apa? Ikatan interdependensi, yaitu ikatan intersubektif bahwa menjaga bumi ialah untuk keberlangsungan bumi sebagaimana adanya, bukan malah menjadikan bumi sebagai tools untuk menunjukan superioritas manusia.

Oh iya, telah banyak yang membahas hal ini secara akademis sebelumnya. Maarif (dosenku yang aku sebut tadi) (Maarif, 2014) memakai istilah intersubjektif, yang dipinjam dari bahyak ahli sebelumnya seperti Bird david, Harvey dan Hollowell. Beberapa istilah lain juga dipakai, seperti interconnectedness (Hollowell, 1960), intersubjectivity (Harvey, 2000) dan personhood (bird David, 1999). 

Ahh,  semua ini semakin menarik diriku masih ke dalam ruang yang aku sebut "dimensi jaring laba-laba" bahwa keterikatan antar subjek dalam kosmos dimana kita hidup, "mengharuskan" kita melihat bumi sebagai bumi itu sendiri, sebagai subjek lain dihadapan kita, bukan malah mengobjektifikasi bumi sebagai sesuatu yang "mati". 

Tidak, bumi ini hidup, dan karena bumi hidup, maka kitajuga hidup. Ikatan inilah yang menjadikan manusia bertanggung jawab secara moral untuk menjaga bumi, karena bumi hidup, manusia hidup, pohon dan hewan hidup, sehingga yang dijaga bukanlah bumi, hewan atau pohonnya, melainkan kehidupan itulah yang dijaga, karena kitaberbagi ruang dan kehidupan yang sama. Kehidupan yang saling menghubungkan, bukan saling mematikan dengan superioritas satu pihak.

Terhubung dan saling menghidupi, alternatif baru secara filosofis.

Aku akhirnya mampu menjawab pergumulan pikiranku sendiri. Sepertinya, paradigma ekologi populer saat ini, harus direvisi. Mengapa? Karena bagiku, alternative yang diberikan oleh paradigma agama leluhur akan sangat berkontribusi, bukan hanya pada bagaimana cara bertindak menjaga bumi, tetapi bagaimana membangun pikiran, atau bahkan menjawab pertanyaan mengapa manusia harus menjaga bumi. 

Aku telah menemukan jawabannya. Menjaga bumi hanyalah satu aspek dari menjaga kehidupan, sebab jika orientasi manusia ialah merawat hidup untuk saling terhubung dan menghidupi, maka tidak aka nada lagi egosime berbasis tindakan moral. Jagalah bumi karena bumi hidup, bumi juga akan menjaga kita karena manusia juga hidup. Terhubunglah, dan jagalah keterhubungan agar semua saling menghidupi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun