Hari ini, 19 Juni 2016, sejarah baru ditulis di Indonesia. Teman Ahok telah berhasil mengumpulkan 1 juta KTP untuk Ahok maju Pilkada DKI 2017 lewat jalur independen. Bukan hanya itu, movepolitik Teman Ahok ini juga mampu mendorong Nasdem, Hanura, dan Golkar untuk memberikan dukungan politik ke Ahok. Pencapaian yang luar biasa untuk sekumpulan anak-anak muda ini.
Usaha Ahok mengumpulkan KTP independen sebenarnya bukan baru kali ini. Di Pilkada sebelumnya, Ahok sudah berusaha tapi tidak berhasil dan "seret" dukungan. Apa yang membedakan, mengapa kali ini Ahok berhasil dan melambung demikan tinggi? PDIP dan Megawati sendiri mungkin tidak menyangka Ahok bisa mencapai tahap ini.
Faktor utama Ahok melambung karena sejak 2012, Jokowi menjadi bagian dari branding Ahok. Co-branding Jokowi-Ahok ini bagaikan iklan fenomenal di Amerika “Eat popcorn, drink Coca-Cola”. Artinya, kalau makan popcorn, minumgnya ya harus Coca-Cola. Iklan yang ditiru merk lokal Indonesia, teh Sosro. Apapun makanannya, teh Sosro minumannya. Right on the spot!
Faktor kedua, Ahok fokus mengerjakan DKI ketika Jokowi mengerjakan Indonesia. Hampir tidak pernah ada pemberitaan positif ataupun negatif, soal Ahok intervensi kebijakan-kebijakan dalam scope nasional. Tentunya dengan perkecualian isu-isu nasional yang berhubungan langsung dengan DKI.
Akibatnya, Ahok identik dengan DKI, bukan hanya dengan Jokowi. Sebagai analogi, biarpun minumnya adalah Pepsi Cola, ataupun X-Cola, orang akan mengatakan minum Coca-Cola. Ahok itu DKI, DKI itu Ahok, Kira-kira itu brand image yang melekat pada Ahok saat ini. Right on the money!
Faktor ketiga, dan yang menjadi faktor X keberhasilan Ahok adalah terjadinya efek balik black campaign (kampanye hitam) yang terjadi. Gempuran-gempuran secara politik, hukum, dan etika ternyata sampai satu titik membuat Ahok imun. Ahok imun terhadap virus haters.
Yusril, Lulung, Ahmad Dhani, Fadli Zonk, Junimart Girsang, Ratna Surampaet, Taufik, sampai Sanusi yang ditangkap tangan KPK bersama para “relawan haters” di sosial maya, dan nyata justru telah menjadi vaksinasi yang menguatkan Ahok.
Gejala anomali ini disebut reverse psychology (psikologi terbalik). Istilah yang dilahirkan oleh Adorno dan Horkheimer tahun 1970-an. Pada dasarnya Psikologi terbalik adalah sebuah metode untuk mengarahkan perilaku seseorang dengan cara yang berlawanan. Contoh klasik berikut ini bisa memperlihatkan arti psikologi terbalik:
Polisi : Selamat siang pak, Bapak sudah melanggar UU Lalu Lintas
Bapak : Kamu siapa? Sudah tilang saja.
Polisi : Mengapa Bapak harus tanya siapa saya?
Bapak : Saya cuma tanya, Kamu ini siapa. Kalau mau tilang, ya tilang saja. Tapi saya mau tahu Kamu itu siapa?
Polisi : Maaf pak, Bapak kenal siapa emangnya?
Bapak : Pak jadi tilang ga? Segera saja ditilang, dan tolong Bapak sebutkan namanya, dan nomer telpon yang bisa saya hubungi
Polisi : Begini saja Pak, Bapak lain kali hati-hati. Kali ini saya hanya mengingatkan. Selamat siang pak.
Ketika grup-grup “Asal Bukan Ahok” bermunculan, dan menekan masyarakat untuk tidak memilih Ahok, secara psikologis hal itu justrur seperti memberikan anak kecil perintah “jangan disentuh!”. Feedback dari masyarakat justru sebaliknya. Berbondong-bondonglah mereka mendukung Ahok, sehingga 1 juta KTP pun dengan cepat terkumpul. All Right!
***
Inilah yang selalu saya sebutkan “keharusan sejarah”. Jangan pernah merekayasa sejarah. Cepat atau lambat akan di hantam Tuhan sang penulis sejarah. Sejarah ditulis penguasa, katanya. Tapi itu hanya sementara. Pada akhirnya kebenaran yang akan menang. Sejarah ditulis Tuhan. Percayalah.
Meskipun usaha untuk menekan Ahok masih terus akan berlangsung sampai Pilkada DKI 2017 usai, Ahok dan Teman Ahok telah mampu membuka mata parpol, birokrat, bangsa Indonesia, bahkan mata dunia bahwa Indonesia masih memiliki stok orang-orang waras.
Selamat untuk Jakarta, dan selamat Indonesia. Kita telah melihat sejarah baru.
Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar.
(Nabi Yusuf)
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H