Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Apakah Semua Anak Bisa Menjadi Joey Alexander? Sebuah Batas Antara Bakat dan Usaha Keras

16 Februari 2016   17:04 Diperbarui: 16 Februari 2016   20:08 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Heboh Joey Alexander (12 tahun) yang mendapatkan 2 kandidat grammy 2016 telah berhasil membangkitkan semangat para musisi, pegiat, pendidik, sampai penyuka musik jazz.  Kursus-kursus musik yang yang fokus di aliran musik ini mendapat berkah tersendiri dari melejitnya Joey. 

Sebelum Joey Alexander muncul, seorang pemuda lulusan Berklee College of Music, Nial Djuliarso kelahiran 1981 sempat digadang-gadang sebagai icon jazz Indonesia setelah Indra Lesmana.  

Berbeda dari Joey, Nial benar-benar mengenyam pendidikan formal dari dua sekolah musik terbaik dunia, Berklee (Boston) dan Julliard (New York).  

Jangan lupa Indonesia memiliki Indra Lesmana putra jazzer legendaris Jack Lesmana yang dimasanya disebut pula anak ajaib.  Belum lagi alamarhum Bubi Chen yang sempat dinobatkan menjadi 10 pianis terbaik dunia, dan mampu melahirkan pianis-pianis jazz Indonesia seperti Andi Wiriantono yang sekarang fokus menjadi pendidik jazz terkemuka Indonesia.

Intinya, ibu Pertiwi dari masa kemasa selalu melahirkan putra-putri terbaik di bidang musik yang bernafaskan improvisasi ini. Yang menjadi pertanyaan, apakah kita harus menunggu kelahiran-kelahiran bayi-bayi ajaib ini dari generasi ke generasi?  Tidak bisakah kita menciptakan "rahim musisi jazz" dan mulai mendidik anak-anak Indonesia musik jazz dengan benar dan melahirkan lebih banyak dan lebih cepat Joey, Nial, Indra, Bubi, Andi, yang lain?

***

Pendidikan musik di Indonesia masih sangat bergantung dengan kursus-kursus di luar sekolah. Sekolah formal masih belum begitu memperhatikan musik sebagai bagian penting dari pendidikan anak secara holistik. Jadi bisa dibayangkan, pendidikan musik jazz semakin jauh dibelakang lagi prioritasnya. 

Tapi menariknya, kursus-kursus musik yang didonominasi oleh aliran musik klasik yang notabene secara kurikulum lebih jelas karena musik klasik sangat bergantung dengan musik yang tertulis, bukan oral, mulai melirik musik jazz sebagai alternatif untuk di tawarkan sebagai jurusan.

Hampir sama dengan musik klasik, repertoire musik jazz sudah sangat pakem.  Dalam jazz biasanya dikenal Real Book yang berisi lagu-lagu standard jazz.  Karena reportoire yang relatif tidak berubah-ubah, maka pedagogi klasik dan jazz bisa dikembangkan secara lebih sistematis.

Gampangnya, Minuet in G di Indonesia dan di Amerika akan selalu sama dengan di negara lain diseluruh dunia.  Demikian juga, Giant Steps di seluruh dunia juga tidak berubah.  Tapi, kasusnya akan lain ketika kita membandingkan lagu pop "Sakitnya Tuh Disini", dengan lagu pop "The Greatest Love of All", dan lagu-lagu pop di negara-negara lain. Artinya, pedagogi musik populer menjadi berbeda pendekatan dari musik klasik dan jazz.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun