Apakah visi besar Jokowi untuk terjadinya "revolusi mental" adalah hal yang utopis alias terlalu mustahil untuk dilakukan? Hal ini adalah pertanyaan yang di ungkapkan untuk mengkritik gagasan yang meskipun orisinil tapi sebenarnya bukan satu-satunya gagasan yang senafas.
Ahok dengan ide Bersih, Transparan, Profesional (BTP) dan Anies Baswedan dengan gagaasan Turun Tangan pada dasarnya adalah bagian puzzle-puzle dari dari apa yang disebut Revolusi Mental. Â Istilah revolusi mental memayungi semua ide-ide yang berpusat kepada "merevolusi orangnya" sebagai prioritas, tidak hanya sekedar programnya.
Tulisan-tulisan yang mempersoalkan secara normatif arti dari Revolusi Mental adalah sah-sah saja, bahkan menurut penulis harus terus dikaji untuk mengawal ide besar ini. Â Tapi sebenarya, apabila mau jujur, seluruh elemen bangsa Indonesia ini 100% Â pasti setuju dengan gagasan ini. Â Mentalitas bangsa Indonesia adalah akar dari semua permasalahan semua strategi dan program pemerintah tidak terlaksana dengan baik.
Jakarta Baru sebagai contoh kasus memperlihatkan betapa sulitnya Jokowi-Ahok untuk bergerak ke lapangan karena tantangan dari BIROKRASI dan bukan tantangan lapangan. Â Baik dari DPRD DKI sendiri, bahkan dari anak buah sendiri yang tidak pro perubahan.
Harus di ingat menjadi pemimpin baru tidak serta merta bisa MENGGANTI SEMUA anak buah dan sistem kerja. Â Bagi yang mengerti dan paham benar manajemen bisa setuju membentuk "the winning team" bukanlah hal yang mudah. Â Nilai-nilai dan kepentingan yang berbeda membuat susah untuk bergerak.
Revolusi Mental adalah suatu esensi keharusan bagi bangsa ini. Â Siapapun presiden bangsa ini nantinya, tanpa revolusi mental ini, semua strategi dan program akan mentah di birokrasi lagi.
Studi Kasus Demo Mahasiswa ITB:
Adik-adik mahasiswa KM ITB tidak perlu sampai turun ke jalan apabila memiliki "Mentalitas Dialog dibanding Demo". Â Dalam alam keterbukaan seperti ini, Demo menjadi satu alat berdemokrasi yang tidak lazim, apalagi di lakukan di lingkungan akademik. Â Selama dialog masih bisa di usahakan, demo tidak perlu dilakukan.
Untuk kasus ini, Â sebgai misal, dari sisi masyarakat yang bergerak, kita bisa mulai menyebarkan virus "Demo NO, Dialog YES" keseluruh kampus-kampus di Indonesia.
Bahkan pameo "Demo NO, Dialog YES" dapat menjadi satu ide dan gagasan yang viral yang bisa menular di sektor-sektor lain yang rawan demo-demo anarkis, SARA misalnya. Â Dialog agama, dialog kesukukan, dialog upah buruh, dialog kebangsaan, dsb.
[caption id="attachment_304601" align="aligncenter" width="484" caption="doc.pri"][/caption]
Sebuah revolusi, seperti revolusi kemerdekaan tidak terjadi tiba-tiba. Â Mulai dari Boedi Oetomo 20 Mei 1908 ketika rasa nasionalisme itu menjadi satu, akhirnya 28 Oktober 1928 ada kebangkitan pemuda yang adalah pasukan revolusi kemerdekaan, baru 17 Agustus 1945 kita melihat buah manis dari sebuah mimpi. Â Itupun sampai hari ini kita masih berjuang untuk melunasi janji-janji Kemerdekaan itu.
Revolusi Mental harus menjadi gagasan bersama, dikerjakan bersama, dan diperjuangkan bersama. Â Suatu perjalanan panjang bagi para pejuang revolusi. Â Tantangan dan halangan kita hadapi bersama untuk mewujudkan Indonesia Baru.
Salam Indonesia Baru,
*** Hidup Benar Lebih Baik Daripada Hidup Sukses ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H