Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menimbang Konvensi ala Demokrat

18 Mei 2014   07:01 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:24 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14003459211547685455

[caption id="attachment_307470" align="aligncenter" width="434" caption="Hasil Konvensi - PolMarkIndonesia"][/caption]

Konvensi Demokrat sudah selesai. Dahlan Iskan keluar sebagai pemenang. Tapi kontroversinya masih tersisa, bahkan rasa pahitnya masih terasa. Berita terakhir SBY merestui Ical-Pramono Edhie untuk di majukan menjadi capres-cawapres Golkar-Demokrat menjadi sesuatu yang sangat aneh. Yang kalah justru yang dipilih.

****

Dahlan Iskan sendiri mengatakan sudah legowo dan melupakan semuanya. Gita dan Ditto mengatakan tidak kecewa mundur dari jabantanya. Anies memberikan semangat tim #turuntangan untuk #memilihoptimis. Semuanya itu membuat trenyuh dan miris. SBY dimana hati nuranimu?

Urusan hati nurani SBY, biarlah menjadi urusan dia dan Tuhan SBY. Fenomena konvensi ini harus menjadi pembelajaran bagi kita semua. Perserta konvensi satu-satunya yang tidak memiliki "hubungan" secara langsung dengan SBY, Anies Baswedan mendapat kritik yang luar biasa ketika menerima pinangan Demokrat untuk mengikuti konvensi. Salah satu alasannya adalah cara konvensi adalah cara yang tepat untuk dilakukan setiap partai dalam memilih calon presiden.

Alasan Anies seperti biasa logis dan terukur. Tapi realitas Konvensi berkata lain.  Lalu sekedar teori utopiskah konvensi? Ataukah konvensi ala Demokrat perlu dikembangkan sistemnya dan menjadi kewajiban parpol-parpol di kemudian hari? Dengan kata lain, sistemnya ok, SBY-nya yang tidak beretika.

****

Alasan konvensi diadakan yang paling utama adalah menjaring orang-orang yang TEPAT secara lebih demokratis. Suatu sistem yang sangat menjanjikan ketika kader-kader partai ternyata tidak cukup mumpuni.  Calon-calon pemimpin yang di luar partai akan memiliki kesempatan untuk ikut berkompetisi.   Ada fair game yang coba dikembangkan melalui sistem konvensi.  Niat yang perlu di apresiasi.

Sistem konvensi ini menjadi pilihan logis apabila parpol GAGAL untuk kaderisasi dan TIDAK MEMILIKI ideologi untuk di usung.  Sebagai contoh, Anies menolak untuk jadi jurkam Demokrat.  Apabila dia menang dan akhirnya jadi capres Demokrat, maka Anies akan menjalankan agenda politik idealnya yaitu #Indonesia1945 dan #turuntangan. Tidak mungkin atau relatif sulit bagi Anies berkompromi dengan agenda partai.

Jadi secara ideal, seharusnya setiap parpol harus lebih jelas agenda politiknya dan memperjuangkannya secara demokratis.  Tapi yang terjadi sekarang adalah, parpol seperti klub sepakbola. Mencari capres bak mencari striker yang mumpuni.  Negosiasi bayaran antara striker dan klub pun dilakukan.  Kontrak-kontrak politik justru menjadi tontonan umum.  Ketika seorang Jokowi menawarkan "no kontrak politik", justru dicibir dan dicurigai pencitraan. Realitas yang memilukan.

****

Kembali ke konvensi sebagai suatu sistem pencarian capres, bagi rakyat yang terpenting adalah calon terbaik yang diajukan.  Ketika rakyat tidak diberikan pilihan-pilihan yang terbaik, demokrasi menjadi terasa tidak membawa berkat.  Memilih yang terbaik dari yang baik-baik, lebih baik daripada memilih yang baik dari yang jelek-jelek.

Kondisi parpol di Indonesia sudah demikian pragmatisnya.  Bahkan semua partai agama dalam kampanye tidak ada yang mengatakan partai agama.  Semua mengatakan partai terbuka.  Kalau boleh fair, satu-satunya yang masih memegang idealisme yang jelas hanyalah PDI-P.  Walaupun bukan partai tanpa masalah, tapi paling tidak memiliki sesuatu yang diperjuangkan.  Sukarnoisme.

Melihat kondisi tersebut, konvensi adalah sistem yang patut di pertahankan.  Tetapi, melihat betapa rumitnya permasalahan birokrasi di Indonesia, parpol seharusnya mampu menjadi tempat belajar berpolitik para calon-calon pemimpin. Sehingga, menurut penulis, konvensi ala Demokrat sebaiknya di adakan hanya internal parpol tersebut. Misalnya PDI-P mengadakan konvensi dengan peserta Jokowi, Pranada, Puan, Budiman Sudjatmiko dsb.  Itu akan jauh lebih demokratis lagi.

Bagaimana dengan orang-orang di luar parpol?  Sistem independen seharusnya dibuka lagi dengan kriteria yang diperjelas dan fair.  Kita bukan lagi negara yang baru merdeka, yang siapa saja bisa jadi presiden.  Sudah ada birokrasi dan sistem yang berjalan.  Bermain dalam sistem tidak semudah bermain di luar sistem.

Pendekar Solo

Opini Terkait:

Ramai Dikicaukan, Mempertanyakan Partai Terbuka vs Partai Agama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun