Kembali ke konvensi sebagai suatu sistem pencarian capres, bagi rakyat yang terpenting adalah calon terbaik yang diajukan. Â Ketika rakyat tidak diberikan pilihan-pilihan yang terbaik, demokrasi menjadi terasa tidak membawa berkat. Â Memilih yang terbaik dari yang baik-baik, lebih baik daripada memilih yang baik dari yang jelek-jelek.
Kondisi parpol di Indonesia sudah demikian pragmatisnya. Â Bahkan semua partai agama dalam kampanye tidak ada yang mengatakan partai agama. Â Semua mengatakan partai terbuka. Â Kalau boleh fair, satu-satunya yang masih memegang idealisme yang jelas hanyalah PDI-P. Â Walaupun bukan partai tanpa masalah, tapi paling tidak memiliki sesuatu yang diperjuangkan. Â Sukarnoisme.
Melihat kondisi tersebut, konvensi adalah sistem yang patut di pertahankan. Â Tetapi, melihat betapa rumitnya permasalahan birokrasi di Indonesia, parpol seharusnya mampu menjadi tempat belajar berpolitik para calon-calon pemimpin. Sehingga, menurut penulis, konvensi ala Demokrat sebaiknya di adakan hanya internal parpol tersebut. Misalnya PDI-P mengadakan konvensi dengan peserta Jokowi, Pranada, Puan, Budiman Sudjatmiko dsb. Â Itu akan jauh lebih demokratis lagi.
Bagaimana dengan orang-orang di luar parpol? Â Sistem independen seharusnya dibuka lagi dengan kriteria yang diperjelas dan fair. Â Kita bukan lagi negara yang baru merdeka, yang siapa saja bisa jadi presiden. Â Sudah ada birokrasi dan sistem yang berjalan. Â Bermain dalam sistem tidak semudah bermain di luar sistem.
Opini Terkait:
Ramai Dikicaukan, Mempertanyakan Partai Terbuka vs Partai Agama
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H