Mungkin masih terbawa emosi dari kampanye hitam yang melahirkan kata-kata sakti kampret, sinting, dan goblok, sekarang ini kata-kata lebih sakti muncul di media massa. Â Kali ini juga bukan anak-anak muda yang kurang kerjaan seperti Florence dan akun @KemalSept yang secara kasar menghina Jogja dan Bandung. Â Tapi dua orang kesohor di blantika perpolitikan Indonesia terkini, Ahok dan Faisal Basri.
Ahok lagi-lagi menggunakan istilah Bajingan dalam menggambarkan pejabat-pejabat DKI yang notabene anak buahnya dalam berperilaku:
"Saya sudah betul-betul muak dengan kemunafikan. Pejabat-pejabat DKI ini luar biasa santun sekali kalau ngomong sama saya, tetapi ternyata mereka bajingan semua," kata Basuki kesal, saat menyampaikan sambutannya di Rusunawa Marunda, Jakarta Utara, Kamis (4/9/2014). (Sumber)
Kosa kata yang sangat keras yang kali ini tidak sekedar ditujukan kepada anak-anak yang bolos. Ahok memang temperamental, tapi Ahok juga media darling yang sekarang ini tidak kalah populernya dengan Jokowi sendiri. Kegelisahan seorang Ahok akan orang-orang munafik di sekelilingnya yang memuncak membuat kata bajingan dianggap tepat untuk menggambarkannya. Â Benarkah demikian?
Di peristiwa lain, pengamat ekonom kesohor yang akhirnya support Jokowi dengan cukup frontal di pilpres yang baru lalu menggunakan kata Bangsat untuk menggambarkan usaha terstruktur, masih, dan sistematif koalisi merah putih mengembalikan kembali Pilkada tak langsung lewat DPRD.
"Diubah undang-udang Pilkada jadi tidak langsung dan dipilih DPRD. Ini menodai reformasi," kata Faisal di Hotel Ibis, Jakarta, Minggu (7/9/2014).
Pengamat Ekonomi UI itu menuturkan hal itu dimunculkan karena adanya prosentase koalisi Merah-Putih sebanyak 63 persen sedangkan Jokowi-JK sebanyak 37 persen di parlemen.
"Kalau 63 persen di seluruh provinsi, lalu Pilkada lewat DPRD ya menang semua, jadi engga perlu ada pemilu. Itu namanya bangsat," tegas Faisal. (Sumber)
Lagi-lagi luapan emosi yang spontan dari seorang negarawan sekaligus cendekiawan yang patut dicermati kita bersama. Â Haruskah demikian?
***
Supaya fair, kita mengerti bawah kampret, goblok, dan sinting selama pilpres 2014 terbukti sebuah blunder yang memperlihatkan betapa rendahnya kampanye hitam. Rakyat sudah memilih, kata sintinglah yang justru menjadi salah satu momentum memenangkan Jokowi. Sementara itu, Florence dan @KemalSept dengan kata-kata sakti senada juga tersandung-sandung dengan hukum pidana. Lalu bagaimana dengan Ahok dan Basri?
Ini anehnya. Ahok dan Basri biarpun menggunakan kata-kata yang jauh lebih kasar dan menyakitkan, tapi rupa-rupanya rakyat berpihak dengan bangunan narasi yang Ahok dan Basri sebutkan di media.
Arti mudahnya, rakyat merasakan spirit "kebajingan" dan "kebangsatan" dalam cerita-cerita yang tak sedap baik di lingkungan birokasi DKI, maupun di koalisi merah putih DPR.
***
Untuk mengunakan kata-kata itu saya pribadi kalau di publik mungkin tidak akan sefrontal Ahok dan Basri, tetapi 100% saya merasakan kegeraman yang sama yang mereka hadapi. Â Terutama adalah penggunaan kata "bangsat" oleh Basri terasa pas sekali dalam konteks usaha mengembalikan Pilkada tidak langsung lewat DPRD.
Tidak ada niat baik sama sekali dari elite koalisi merah putih untuk membangun Indonesaia Bangkit seperti yang mereka janjikan. Â Spirit ABJ (Asal Bukan Jokowi) membuat mereka menjadi buta dan tak berperi-"kerakyataan". Parpol-parpol yang sudah jatuh kelevel etika politik yang kasar dan menjijikkan.
Melihat ini semua, saya melihat bahwa memang peperangan melawan preman-preman politik ini akan sangat dahsyat. Â Bharatayudha yang disebut-sebut dalam pilpres 2014 memang betul adanya. Bagaimanakah Jokowi dan kabinet yang baru menghadapi para "bajingan" dan/atau "bangsat" yang disinyalir Ahok dan Basri? Â Mari kita kawal bersama.
Pendekar Solo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H