Mohon tunggu...
Hani H. Sumarno
Hani H. Sumarno Mohon Tunggu... lainnya -

Praktisi komunikasi TalentAsia Inc., public-talent management, corporate communication & public affairs. Bantu-bantu Bandung Cleanaction dikit-dikit:-)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bandung-Jakarta: Catatan Putih Ramadhan (2)

5 September 2010   09:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:26 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekerjaan membawa salah satu tim terbaik saya, Renny, ke ruang kerja saya.Ada communication tools yang perlu didiskusikan.Sambil menunggu kami mempersiapkan materi masing-masing, saya bertanya, “Tadi langsung dari Bandung, De?” Ade – nama panggilan sayang dari saya untuknya.

Renny sepertinya menjawab pertanyaan saya sekenanya.“Ya masih, lah.” Saya penasaran.Renny sehari-hari ceria, tapi untuk hal terkait keluarga dan dibalik bolak-baliknya ia Bandung-Jakarta, ia cukup tertutup.Banyak rekan yang meminta saya untuk mewakili mencarikan jawaban dari rasa penasaran, mengapa Renny ‘aneh’, menjalani rutinitas sebagai komuter.“Mbok ya pindah saja ke Jakarta,” usul saya.

Sambil mengutak-atik laptop, Renny bicara datar. “Kondisi idealnya memang begitu, Mbak.Berkumpul sekeluarga,” ujarnya.Anak-anaknya tiga.Ibu manapun butuh dekat dengan mereka. Begitupun mereka butuh dekat dengan ibunya. Renny single-parent.Tidak ada figur ayah bagi anak-anaknya, meskipun ex-suaminya ada di sekitar Bandung-Jakarta juga.Maka, peran Renny selain sebagai ibu, juga mengisi kekosongan peran ayah untuk anak-anak.“Saya bisa saja gagal melakoninya, Mbak. Tapi saya bertaruh nyawa untuk menghindari kegagalan anak-anak,” ucap Renny tegas, dan segera memulai pembicaraan pekerjaan.

Sambil melihat Renny mempresentasikan ide-idenya, saya berpikir keras.Dari luar, setiap orang berhak memberikan usulan.Melihat Renny bolak-balik Bandung-Jakarta, capek juga.Kerap saya cemas karena tugasnya banyak.  Ia andalan saya.Kalau Renny sakit atau ada masalah di perjalanan, agenda bisa berantakan.Saya juga empati terhadap tumbuh-kembang anak-anaknya.Belum lagi bila pekerjaan sedang menuntut energi lebih; baiknya energi dan waktu dialokasikan pada hal-hal yang lebih strategis, ketimbang digunakan untuk bolak-balik Bandung-Jakarta.

Namun, begitulah kondisi Renny.Berbolak-balik ria.

Suatu hari, Renny pernah bercerita panjang pada saya.Katanya, enam tahun yang lalu, keadaannya sudah mapan secara ekonomi.Sangat cukup, bahkan lebih. Setiap bulan ia mengantongi 30 jutaan dari suaminya.Tentu, karena ia nyonya dari seorang eksekutif perusahaan telekomunikasi terkemuka. Renny bisa leluasa berekspresi sekolah S2 di beberapa bidang, bekerja sosial, aktif sebagai konsultan komunikasi di sana-sini, menuangkan gagasan kreatif di berbagai medium. Ia punya tambahan penghasilan sendiri yang tak kalah besarnya.Rumahnya berjarak tempuh 30 menit ke Pondok Indah.

Beberapa bulan setelah anak ketiga lahir, kepala keluarga berpindah lokasi tugas ke Bandung.Sebagai bagian dari budaya keluarga, kemanapun dinas menugaskan, Renny sekeluarga pindah.Kata Renny, jangankan cuma ke Bandung, di awal pernikahan, ia menjalaninya di Ambon, lalu Yogyakarta, lalu Semarang, lalu Tangerang.Mereka mau bersama-sama terus.

Tapi, hidup adalah dinamika.Entah kepindahan tugas ke Bandung itu juga bagian dari akibat, atau konsekuensi, atau punishment, Renny tidak jelas tahu. Ia bercerita, sebelum keputusan dipindahkan, Renny – sebagai istri waktu itu – diminta audiensi dengan pihak kantor tempat suaminya kala itu bekerja.Renny begitu yakin tidak ada pernikahan kedua terkait suaminya.Ia bela, tidak ada pelanggaran.Bila keyakinannya keliru, bagaimanapun ia akan jalani agar tidak menjadi pelanggaran suaminya atas ketentuan formal.Apa yang diperlukan dari Renny, siap ia sediakan.

Dan pindah tugas itu terjadi. Tidak ada lagi jabatan.Posisi eksekutif dicopot.Sementara tidak ada rumah, Renny sekeluarga menumpang di rumah Ibunya.Anak-anaknya pindah sekolah ke Bandung.Rumah kesayangannya di pinggiran Jakarta tetap menjadi rumah sesungguhnya.Kalau week-end, mereka pulang.

Begitulah kesementaraan dijalani, sampai akhirnya hidup harus ditentukan dengan pilihan.Bila bicara kesalahan, menurut Renny, sudah pasti dalam pernikahan ada kesalahan kedua pihak; Renny juga merasa, pihak suami pastinya juga.Kalaupun mau menimbang kesalahan mana yang lebih berat, biar saja Tuhan Yang Maha Adil yang menjadi hakim terbaik.

Yang jelas, melihat sebab musabab Renny, ada akar yang rapuh.Saya melihatnya sebagai berkehidupan namun tidak berhasil menjadi bangunan cinta.Terlebih dalam Islam, seorang suami tidak diharamkan untuk menikahi dua, tiga, maksimal empat.Agama menjadi legitimasi, atas nama sunnah Rasul.Subhanallah, Renny menjalaninya.Perubahan demi perubahan.Pemahaman tentang “Islam yang benar” menurut golongan, kepercayaan total kepada ustadz, larangan-larangan yang masif, entah apa lagi, sampai pada titik Renny tidak sanggup mengikuti perubahan itu. Perlahan, anak-anaknya dipastikan tidak menjadi bingung.Jangan sampai mereka menjadi korban, meskipun sekecil apapun pasti kesedihan menjadi luka bagi mereka.Keputusannya, Renny dan suaminya sepakat berpisah. Anak-anak memilih bersama Renny, di Bandung.

Suatu hari lagi, setelah shalat Dhuhur, Renny berkisah, banyak tanda-tanda dari Tuhan yang menandai betapa berat pilihan berpisah itu diambil.Tetapi, disampingnya selalu ada jalan keluar yang Tuhan tawarkan.Ia lalu berbagi dengan saya tentang ayat dalam Al Quran Surat Al Insyiroh 6-8, “Bersama kesulitan ada kemudahan.Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”

Kata Renny, dalam istikharah melebihi setahun, ada saja jalan penanda.Dari Surabaya, Jakarta, Padang, bahkan dari Malaysia.Sayangnya tidak satupun dari Bandung.Sampai akhirnya ia pilih yang paling dekat dengan anak-anak.Kota Jakarta.Maka dimulailah episode Bandung-Jakarta.

Tidak ada kejadian tanpa skenario Tuhan.Renny menjadi tangan kanan saya.Buat Renny, perusahaan tempat kami bekerja ini adalah jalan dari Tuhan.Menjadi pengganti sumber nafkah, karena aturan dalam hukum Islam tentang ‘sedekah kepada bekas istri’, cuma tinggal aturan.Sehebat apapun hukum, semua berpulang kepada manusianya.Saya tahu persis keteguhan Renny.Ia bukan bangsa peminta. Ia lebih memilih fokus bekerja dan mencari penghasilan sendiri. Bagaimana rasanya “gaji turun drastis” setelah biasa menikmati puluhan juta perbulan? Renny tahu persis jawabannya.

Jadi, rupanya bolak-balik Bandung-Jakarta bukanlah kemauan.Tapi pilihan.Rumah kesayangannya sampai kini tetap menjadi rumah impian pulang bagi Renny dan anak-anaknya.Tetapi ia tidak bisa pulang ke sana.Ada bekas suaminya di sana. Mungkin juga sesekali membawa istri-istrinya atau tidak, Renny tidak tahu.

Saya pernah mencoba membantu menawarkan bantuan agar Renny bisa memprosesnya secara hukum karena bekas suaminya belum berkehendak keluar juga dari rumah itu, sekalipun secara hukum Renny sangat berhak karena ada namanya pada surat kepemilikan. Renny ingin haknya diambil dan bukan untuk ia gunakan. “Saya ingin langsung pindahnamakan secara hukum menjadi hak untuk anak-anak.Anak sulung saya sudah 18 tahun, Mbak.Ia bisa memimpin,” ucapnya.

Jadi, apakah Renny akan pindah ke Jakarta? Sambil membereskan laptop, Renny bilang, cukup sulit membeli rumah dengan penghasilan sekarang ini.Jalani saja yang ada dengan ringan: Bandung-Jakarta.

Jumat kemarin, itulah presentasi terakhir Renny.Sekarang, saya baru pulang dari pemakaman Renny.Ia wafat di perjalanan km 59 Bandung-Jakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun