Setelah disahkannya Perpres TKA mendekati May Day, kini pemerintah membuat keputusan yang tidak kurang spektakuler dibanding sebelumnya, ya, Perpres No. 42 tahun 2018 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya bagi Pimpinan, Pejabat, dan Pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendekati hari peringatan lahirnya Pancasila. Perpres yang cukup singkat ini – terdiri dari 8 pasal – saya pikir cukup sederhana dan dapat dipahami oleh umum. Alhasil, sejak peresmian kebijakan ini, terjadi keributan di masyarakat yang merasa BPIP, yakni badan yang diresmikan dari adanya Perpres ini, tidak terlalu urgen untuk dibentuk, terlebih dengan kompenen hak keuangan atau take home pay pejabatnya yang fantastis, dan tentunya karena susunan pejabat badan tersebut yang penuh dengan pihak koalisi pemerintahan.
Urgensi
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai urgensi BPIP, mari kita lihat tugas dari BPIP berdasarkan Pasal 3 Perpres No. 7 tahun 2018:
BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Adalah sebuah kewajiban dan pengetahuan umum jika kebijakan atau regulasi dalam/yang dikeluarkan oleh kementrian/lembaga negara hingga di lingkup sosial terkecil masyarakat harus selaras dengan Pancasila. Jadi, apakah sebuah lembaga semacam BPIP perlu dibentuk?
Jika setingkat kementrian/lembaga tidak dapat mampu mengimplentasikan Pancasila dengan sendirinya, maka tidak aneh jika di Pancasila juga tidak diimplementasikan di tingkat masyarakat yang artinya kegagalan pemerintah itu sendiri. Ketika seorang negarawan yang bertindak sebagai pemimpin rakyat namun tidak memahami esensi dasar dari ideologi negara, bagaimana kita dapat mengharapkan masyarakat untuk (ingin) memahaminya? JIkalau masyarakat memiliki pemahaman ideologi negara yang lebih baik dibanding pemerintahnya, maka umur pemerintahan tersebut tinggal menghitung waktu. Setidaknya pemerintah harus memiliki pemahaman ideologi Pancasila yang setara dengan masyarakat, namun pemerintah adalah pihak yang mengayomi dan memimpin masyarakat, sehingga ketika kemampuannya diekspektasikan lebih baik dibanding masyarakat umum karena jika tidak, maka mereka akan segera kehilangan legitimasinya untuk memimpin. Singa disebut sebagai raja rimba bukan tanpa alasan, bukan? Dari sini, dapat dilihat jika pemahaman dan cara pengimplementasian ideologi Pancasila dalam bernegara adalahsebuah kualifikasi dasar seorang negarawan itu sendiri. Jadi, harus saya katakan jika keputusan pembentukan BPIP adalah penghamburan uang rakyat yang tidak perlu. Untuk apa anak yang sudah dapat bersepeda dengan dua roda masih diberikan roda tambahan?
Setelah membaca peraturan terkait BPIP, yakni Perpres No. 54 tahun 2017, Perpres No. 7 tahun 2018, dan Perpres No. 42 tahun 2018, saya juga belum dapat menemukan output yang ingin dihasilkan oleh BPIP dan apa manfaatnya bagi masyarakat. Baiklah, BPIP dibentuk untuk memastikan pengimplementasian Pancasila di segala sendi kehidupan bernegara, tapi bagimana masyarakat menilai pencapaian kinerja badan ini? Dalam evaluasi perusahaan maupun kinerja karyawan, kita mengggunakan KPI (Key Performance Indicator) untuk menilai apakah objektif pihak terkait sudah dicapai. Lalu, kira-kira KPI BPIP ini akan seperti apa? Jika pemerintah bersikeras untuk tetap membentuk BPIP, bijaknya mereka dapat men-disclose KPI-nya untuk menunjukkan urgensi pembentukkan badan ini. Perlu diperhatikan, penilaian kualitatif memang baik, tapi penilaian kuantitatif lebih bisa dipertanggungjawabkan dibandingkan penilaian kualitatif. Jadi, saya harap pemerintah dapat memberikan indikator-indikator kualitatif didukung dengan indikator-indikator kualitatif yang dapat meyakinkan masyarakat jika badan ini layak dibentuk.
Hak Keuangan Fantastis
Salah satu faktor yang membuat publik tidak bersimpati atas pembentukkan BPIP adalah hak keuangan pejabat badan yang dinilai berlebihan jika dibandingkan dengan berat pekerjaannya. Menurut klarifikasi Mentri Keuangan, SMI, hak keuangan yang didapat terdiri dari gaji pokok sebesar Rp 5 juta, tunjangan jabatan sebesar Rp 13 juta, asuransi jiwa sebesar Rp 5 juta, asuransi kesehatan Rp 5 juta, tunjangan transportasi ke kantor, dan tujangan lainnya, sehingga mencapai jumlah final. Mahfud MD beserta SMI juga menyatakan jika kompenen terbesar hak keuangan adalah untuk kegiatan operasional. Jadi, pada dasarnya besaran gaji pejabat BPIP bahkan lebih rendah dibandingkan dengan gaji pejabat negara lainnya. Baiklah, mari kita menerima penjelasan ini. Tapi bagaimana pemerintah atau Kemenkeu dapat menjelaskan isi Pasal 1 Perpres No. 54 tahun 2018 berikut?
Ketua dan Anggota Dewan Pengarah, Kepala, Wakil Kepala, Deputi, Staf Khusus Dewan Pengarah, Anggota Dewan Pakar, Anggota Kelompok Ahli, Anggota Satuan Tugas Khusus, dan pegawai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila diberikan hak keuangan dan fasilitas lainnya setiap bulan.
Pemahaman saya dari kutipan pasal di atas adalah hak keuangan dan fasilitas merupakan dua kompenen hak yang berbeda yang dimiliki oleh pejabat BPIP. SMI memang mengatakan jika fasilitas perjalanan dinas ke luar kota dan luar negeri tidak termasuk dalam hak keuangan yang didapatkan oleh pejabat BPIP. Hal ini memang terlampir dalam Pasal 4 ayat 1 Perpres No. 42 tahun 2018 berikut: