Mohon tunggu...
Hannoeng MNoer
Hannoeng MNoer Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis lepas dan sutradara

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Star War dan Tiji Tibeh

15 Oktober 2022   02:23 Diperbarui: 15 Oktober 2022   02:26 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini ada berita yang sangat mengejutkan berkaitan dengan institusi Polri, yaitu ditangkapnya Irjen Pol. Teddy Minahasa oleh Div Propam Polri dalam dugaan kasus narkoba. Berita itu menjadi lebih besar lagi karena penangkapan dilakukan beberapa jam sebelum Irjen Teddy Minahasa berangkat ke Istana, memenuhi panggilan Presiden bersama dengan para Kapolda dan Kapolres seluruh Indonesia. 

Jadwal sore tadi memang Presiden memberikan briefing kepada seluruh Kapolda dan Kapolres.

Penangkapan Irjen Teddy Minahasa mau tak mau bisa dipandang sebagai persoalan yang berdiri sendiri, ada sebuah rangkaian yang dapat dianggap saling berkaitan. 

Kita ingat kejadian di Duren 3, lalu tragedi Stadion Kanjuruhan. Kasus Duren 3 menyeret Irjen FS, lalu Kanjuruhan menyebabkan dicopotnya Kapolda Jatim Irjen Nico Afinta. Posisi Nico kemudian ditempati oleh Teddy Minahasa. 

Dari rangkaian kejadian tersebut wajarlah jika publik berasumsi sedang tetrjadi "perang" di dalam tubuh Polri, yang bisa dikatakan sebagai star war atau perang bintang, karena melibatkan pangkat-pangkat berbintang. Namun terlepas dari benar atau tidaknya ada "perang" yang sedang berlangsung di tubuh Polri, tetaplah ada satu kesan kuat tentang adanya konflik internal.

Sungguh tak terbayangkan apa yang sedang terjadi di dalam tubuh Polri saat ini; beriak konflik internal telah berkembang menjadi gelombang besar yang mampu mengguncangkan kapal. Kapal pun oleng, bahkan berpotensi akan tenggelam jika tidak segera ditemukan cara yang paling ampuh untuk menghadapi gelombang tersebut.

Lalu dari mana gelombang itu mulai datang? Angin apa yang mengubah air tenang menjadi gelombang besar?

Sejak lama sebahagian publik melihat ada sesuatu yang "kurang beres" di dalam tubuh Polri. Dugaan adanya konsorsium yang memegang kendali atas Polri, dugaan adanya oknum yang berada di belakang judi online, juga pertambangan dan narkoba. 

Diduga ada oknum-oknum kuat di kepolisian yang melindungi semua aktivitas itu. Setidaknya, telah menyalah gunakan pangkat dan kedudukannya untuk ikut bermain di wilayah pelanggaran hukum. 

Kasus terakhir dimana Irjen Teddy Minahasa terjerat, yaitu dugaan penjualan barang bukti narkoba sebanyak 5 kg, adalah salah satu hal yang menguatkan keyakinan publik bahwa memang ada tindak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh petinggi Polri.

Jika simpul-simpul konflik itu diurai, maka akan muncul sebuah persepsi bahwa telah ada pembelahan di dalam tubuh Polri, berdasar pada kepentingan masing-masing. Ada kelompok A, B, mungkin juga C dan seterusnya. Kelompok-kelompok itu bertempur satu sama lain, saling unjuk kekuatan. 

Tersangkutnya Irjen FS pada kasus Duren 3, yang menyebabkan ia diberhentikan dari Polri dan akan menghadapi tuntutan pidana atas kasus pembunuhan, dianggap menjadi awal kemarahan kelompoknya. Lalu dicopotnya Nico sebagai Kapolda Jatim juga menjadi trigger munculnya kemarahan lebih besar, maka kasus hilangnya 10 kg barang bukti narkoba di Sumatera Barat pun diangkat, maka jatuhlah Teddy Minahasa.

Teori-teori diatas tentu saja hanyalah berdasar pada pengaitan simpul-simpul yang ada, yang seperti disebut diatas tidaklah berdiri sendiri-sendiri. Benar atau tidaknya bukanlah menjadi sesuatu yang amat penting, karena yang jauh lebih penting adalah eksistensi Polri sebagai sebuah institusi yang makin tergerus dari dalam akibat ulah para oknum. 

Harus ditegaskan lagi bahwa para oknum itu tidaklah lebih berarti dibandingkan 400.000 orang anggota Polri secara keseluruhan. Mereka harus disikat habis, bahkan secara teori Kapolri "potong kepalanya" atau "dua tingkat diatasnya harus bertanggung jawab".

Konflik yang ada harus segera dihentikan. Hal ini senada dengan apa yang dilakukan oleh Presiden dengan mengumpulkan para Kapolda dan Kapolres seluruh Indonesia di Istana. 

Presiden pastilah memiliki kesan kuat bahwa di dalam tubuh Polri sedang berlangsung konflik internal yang hebat, itu sebabnya Presiden merasa perlu menjadi "orang ketiga" untuk menengahi konflik. Pada perspektif yang berbeda, hal ini menunjukkan kegagalan Kapolri menengahi konflik yang ada.

Dalam istilah Jawa ada yang disebut sebagai "tiji tibeh" (mati siji, mati kabeh), artinya jika satu harus mati maka yang lain pun harus mati. Dalam konteks melawan musuh dari luar, semangat "tiji tibeh" memang memiliki nuansa heroik yang penuh kehebatan dan keberanian. 

Namun jika "tiji tibeh" itu berlangsung secara internal di tubuh Polri sungguh amat menyedihkan. Tak sepatutnya kepentingan dan ambisi pribadi atau kelompok memecah belah Polri. 

Kalau pun istilah "tiji tibeh" akan pula digunakan, maka itu sepenuhnya digunakan kepada mereka. Matikan satu, lalu matikan semua para perusak institusi Polri! Ya, para perusak institusi Polri memang sudah waktunya "di-tiji tibehkan"....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun