Sungguh tak terbayangkan jika ada anak muda yang menganggap nasionalisme sebagai sesuatu yang ketinggalan zaman. Nasionalisme yang merupakan sebuah semangat atas nama kebangsaan, seharusnya terbebas dari unsur suka atau tidak suka, juga unsur trending. Selayaknya nasionalisme terbebas dari hal-hal yang bersifat subyektif seperti itu. Nilai-nilai nasionalisme haruslah bersifat obyektif bagi siapa pun yang masih mempercayai dan mencintai ideologi bangsa negaranya. Sebab nasionalisme bukanlah soal selera, tapi adalah soal spirit dan ghirah kebangsaan.
Lalu apakah benar muncul stigma “ketinggalan zaman” di soal nasionalisme ini? Nasionalisme yang menurut Khalid Manzoor, dalam Nation, Nation-state, and Nationalism: Evaluating Janus Face of Nationalism, adalah “rasa keterikatan individu sebagai bagian dari suatu bangsa”, apakah konsep ini masih menjadi relevan dalam konteks kekinian?
Dalam sebuah survey yang dilakukan Western Union yang melibatkan sampling sebanyak 10 ribu lebih milenial (kelahiran 1980-1995) dari 15 negara, termasuk Amerika, India, dan Rusia, menunjukkan delapan dari sepuluh milenial memandang bahwa nasionalisme sebagai konsep yang ketinggalan zaman. Padahal, rasa nasionalisme ini merupakan pondasi yang penting bagi sebuah Negara untuk menghadapi ideologi yang bertentangan dengan ideologi Negara, termasuk sikap intoleran dan ideologi radikal. Fenomena hasil survey itu tentu saja menggelisahkan kaum nasionalis sejati. Ada kekhawatiran luar biasa bahwa bisa saja kalangan muda akan kehilangan semangat nasionalisme atas bangsa dan negaranya.
Banyaknya anak muda yang apatis terhadap nilai-nilai nasionalisme saat ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi dan globalisasi yang berkembang sangat pesat. Budaya Indonesia, baik seperti lagu, tarian, bahkan bahasa daerah telah kalah bersaing dengan budaya asing. Bersaing dalam hal ini adalah menyangkut soal modernitas dan kekinian. Anak muda dianggap milenial jika ia berkubang di dalam hal-hal yang berbau modern, sementara mereka yang sibuk dengan budaya lokal akan disebut konvensional, bahkan kolonial.
Tetapi coba kita lihat dari sisi yang lain. Semangat anak muda untuk mengejar kemajuan dan mengikuti trend bukan sepenuhnya adalah kesalahan. Tetap ada nilai positif di dalamnya, sepanjang melihatnya dari sudut pandang yang lebih fleksibel, lebih berusaha memahami apa yang ada di dalam jiwa anak muda.
Idiom “ketinggalan zaman” yang disematkan di pakaian nasionalisme, bisa saja berarti perwujudan anak muda untuk mencari formula atau penafsiran baru terhadap nasionalisme (sebagai sebuah aksi). Ada suasana kejenuhan terhadap pengertian dan bentuk nasionalisme, sehingga dianggap tidak mengikuti perkembangan zaman. Zaman telah jauh berlari sementara nasionalisme stagnan. Sebagai generasi yang cenderung menolak kemapanan, maka tentu para anak muda mencari hal baru atau memoles nasionalisme dengan warna dan gaya yang berbeda.
Jika itu yang terjadi, maka haruslah dianggap wajar. Sebab toh nasionalisme bukanlah agama yang sifatnya dogmatis, meski ada beberapa bagian dari agama juga digeser ke arah yang lebih modern, tanpa kehilangan roh agama itu sendiri. Pencarian warna dan bentuk baru nasionalisme mesti dianggap sebagai bagian dari “kreativitas kebangsaan” para anak muda itu. Local content yang ada di dalam nasionalisme – yang terwakili dari sisi budaya – diberi penafsiran dan bentuk yang baru sehingga terhindar dari potensi menjadi sesuatu yang membosankan dan norak. Ketika Guruh Soekarno bersama group band Gipsy melahirkan album “Indonesia Maharddhika” di tahun 1977, bisa dianggap sebagai penafsiran baru terhadap bentuk nasionalisme. Album fenomenal itu berisi komposisi yang musiknya merupakan gabungan nada pentatonis dan diatonis. Demikian halnya yang dilakukan oleh Harry Roesli saat membuat album “Titik Api” yang menggabungkan gamelan Sunda dengan musik progressive rock.
Apa yang dilakukan oleh Guruh-Gipsy dan Harry Roesli tetap terasa unsur nasionalismenya, meski bagi sebagian nasionalis puritan mereka dianggap mengacak-acak budaya Indonesia – dalam hal ini adalah musik tradisional. Progesifitas para anak muda itu (Guruh dan Harry saat itu masih berusia di bawah 30 tahun) pada akhirnya harus kita anggap sebagai bentuk dan warna baru dari nasionalisme.
Jadi rasanya biarkan saja para anak muda mencari warna dan bentuk baru dalam mewujudkan nasionalisme. Agar mereka merasa terus update dengan nilai nasionalisme. Jika mereka terus dihantui oleh bentuk dan warna nasionalisme yang stagnan, bukan tidak mungkin mereka akan menanggalkan baju nasionalisme dari tubuh dan jiwa mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H