Dimulai pada saat berakhirnya perang dingin, diplomasi koersif yang merupakan suatu “bujukan” kuat untuk mendapatkan target baik berupa actor negara maupun non negara untuk mendapatkan hatinya melalui penggunaan ancaman militer telah digunakan setidaknya lebih dari 8 kasus. Jenis diplomasi ini biasanya digunakan untuk mencapai tujuan politik yang sedang coba diraih oleh suatu negara. Diplomasi koersif sejatinya adalah salah satu strategi diplomasi yang lebih mengandalkan ancaman penggunaan kekuatan daripada penggunaan kekuatan itu sendiri.
Jika kekuatan biasanya digunakan untuk memperluas upaya diplomatik, berbeda dengan tindakan persuasive ini yang berusaha untuk mencapai resolusi dengan meningkatkan ke tahap penggunaan militer jika diperlukan. Taktik ini justru tidak ingin dilewatkan oleh Amerika Serikat, negara adidaya dengan salah satu militer yang terkuat di dunia. Seiring dengan terus meningkatnya frekuensi, para pemimpin Amerika Serikat mulai menggunakan diplomasi yang dibarengi dengan kekuatan militer untuk mencapai kepentingan luar negerinya. Meskipun sejak tahun 1950 diplomasi koersif sudah dianggap sebagai alat yang efektif bagi para pemimpin AS, nyatanya penggunaan cara tersebut masih sering diperdebatkan.
Di masa lalu, Amerika Serikat lebih sering menggunakan ancaman untuk mempengaruhi lawan. Pada masa pemerintahan Trump, ia banyak menormalisasikan tindakan diplomasi koersif dengan car amemberikan ancama kepada negara-negara yang dianggap sebagai ancaman dan juga musuh. Berbeda dengan Trump, Biden lebih menahan untuk tidak menggunakan strategi diplomasi koersif karena takut merusakan tatanan internasional negaranya. Meskipun joe biden sedang berusaha untuk mempertahankan hegemoni AS, ia sebenarnya tidak akan berpikir panjang untuk menggunakan tindakan koersif terhadap musuh.
Pemaksaan yang dilakukan oleh AS diperuntukkan untuk mencegah kebangkitan musuhnya serta untuk memberikan efek manipulative kepada sekutunya untuk memenuhi tuntutan ancamannya. Sayangnya, tidak semua ancaman memberikan hasil seperti apa yang diharapkan. Contohnya adalah George Washington yang malah merusak hubugannya sengan negara lain dengan cara melanggar aturan sehingga kurangnya kepercayaan musuh serta mengurangi soft power nya. Kita hidup di dunia yang di mana semunya serba ketergantungan. Saling pengertian, menghormati, serta kerjasama merupakan segala yang kita butuhkan agar orang lain mau memberikan respect kepada diri kita
Dalam penggunaannya sendiri, strategi diplomasi koersif melibatkan empat variable utama, yaitu cara yang digunakan, permintaanm ancaman hukuman untuk pembangkangan serta kemungkinan untuk penggunaan militer. Perbedaan dai variable-variabel tersebut menghasilkan lima tipe utama dari diplomasi koersif, yaitu ultimatum, ultimatum secara diam-diam, pendekatan “coba-coba”, “pemutaran sekrup secara bertahan”, serta pendekatan “wortel dan tongkat”. Ultimatum menggunakan ancaman untuk meningkatkan kepatuhan dan rasa urgensi musuh atas peringatan yang telah diberikan.
Jika musuh enggan untuk mengubah tingkah lakunya, maka perlu dilakukan peningkatan koersif. Sepanjang sejarahnya, Amerika Serikat tercatat telah beberapa kali menggunakan diplomasi sebagai alat dalam mempengaruhi perilaku musuh. Namun hasil yang didapatkan dalam penggunaan strategi ini masih sangat beragam, tidak selalu seperti apa yang telah diperkirakan. Salah satunya adalah kegagalan AS dalam meminta Iran untuk menghentikan agresi militernya di Timur tengah. Pada saat itu Amerika Serokat mengirimkan serangan pesawat tanpa awak pada januari 2020 yang mengakibatkan tewasnya Jendal Iran yaitu Qassim Soleimani. Contoh tersebut jelas menegaskan pentingnya untuk memahami motif serta cara pandang musuh yang dapat mengurangi tingkat keefektivan strategi diplomasi koersif. (Norton, 2004)
Seorang dosen Hubungan Internasional di Universitas Brandeis yang juga menjadi salah satu anggota MIT center for Internastional Studies, Robert Art mengatakan bahwa penggunaan diplomasi koersif lebih banyak membawa kegagalan daripada kemenangan kepada AS, bahkan dari beberapa cara yang ada, diplomasi koersif hanya menyumbang setidaknya 20 persen dari efektivitasnya. Art juga berpendapat bahwa diplomasi koersif akan sulit untuk menentukan suatu kebijakan yang jelas mengingat tujuan politik suatu negara akan dengan sangat mudah untuk berubah. Ia menjelaskan apa yang telah dikatakannya sangat akurat karena berdasarkan apa yang telah ditemuinya di lapangan. (Levy, 2008) Selain itu, biaya yang dikeluarkan dalam melakukan diplomasi koersif juga jauh lebih besar daripada manfaat yang didapatkannya sendiri.
Hal tersebut menjadikannya alat yang sangat berisiko tinggi bagi siapapun yang membuat kebiajakn dengan cara tersebut. Dalam satu tulisannya, art menegaskan bahwa “diplomasi koersif tidak seharusnya digunakan kecuali jika anda siap untuk gagal dalam berperang.” Melihat pernyataannya tersebut, dapat disimpulkan memang penggunaan diplomasi koersif akan menimbulkan dampak yang sangat besar, baik positif, maupun negative.
Kebijakan yan dipusatnya pada penggunaan kekuatan militer namun dirancang sebagai alternative perang habis-habisan akan menjadi sangat tricky. Meskipun kebijakan ini akan sangat menggoda serta membuat goyah bagi siapapun yang ditargetkan, namun kenyataannya hanya kurang dar 20% lawan yang mau merubah perilakunya demi mewujudkan diplomasi koersif yang ditawarkan oleh negara lain. (Raza, 2020)
Seorang mantan wakil menteri negara untuk urusan politik Amerika Serikat, Arnold Kanter menyarankan bahwa dalam mengurangi risiko politik maupun lainnya, dalam penggunaan diplomasi koersif para pemimpin kebijakan AS harus melakukan evaluasi terlebih dahulu apakah diplomasi koersif sudah tepat untuk dijadikan alat sebagai pengelola kebiajakan luar negeri, serta dalam penerapannya di kemudian hari. Kanter menegaskan bahwa sebelum mengambil jalur diploasi koersif, seluruh pemimpin yang membuat kebijakan harus mempertimbangkan kekuatas apa yang dapat mencegah terjadinya pertempuran skala penuh. Ia juga mengatakan bahwa memilih untuk menggunakan diplomasi koersif berarti kita membutuhkan informasi yang sangat akurat tidak hanya pada kelemahan lawan tetapi juga menyangkut analisis politik dan ekonomi serta reaksi-reaksi yang mungkin ditimbulkan dari diplomasi koersif yang telah dijalankan. (Jakobsen, 2020)
Dalam menggunakan strategi diplomasi koersif, tindakan persuasi harus diseimbangin dengan ancaman kredibel ketika musuh tidak patuh. Negara lawan dengan kekuatan militer yang lebih lemah akan dengan sangat mudah terpengaruh oleh apa yang sedang dipertaruhkan dan bersikeras meolak untuk mundur. Contohnya adalah ancaman yang diberikan oleh mantan Presiden Amerika Serikat yaitu Barack Obama yang memilih penggunaan senjata kimia kepada warga sipil Suriah jika mereka menentang rezim yang telah diberikan. Namun hal tersebut gagal dilakukan karena Suriah terus “melewati garis batas” tanpa menghiraukan ancaman yang telah diberikan oleh Barack Obama. Hal tersebut jelas merusak kredibilitas suatu negara karena dianggap tidak mampu untu memenuhi janji militer yang telah dibuat olehnya.
Salah satu risiko lainnya dari strategi diplomasi koersif adalah sulitnya utuk memperkirakan kemungkinan respon yang akan diberikan oleh musuh. Robert Art mengatakan bahwa “kesalahan akan dengan sangat mudah dihasilkan jika dibuat dalam situasi yang tidak dapat diperkirakan…. Seseorang yang melakukan pemaksaan cenderung untuk menganggap remeh targetnya sehingga tanpa terduga harus mengerahkan kekuatan lebih besar yang jauh dari perkiraan, hingga sampai memasuki ranah perang.” Oleh karena itu, pemilihan strategi diplomasi koersif tidak dapat mencegah situasi yang dapat menjadi lebih buruk. (Yingqin, 2021)
Sebelum memilih penggunaan diplomasi koersif, sangat penting untuk menghitung kemungkinan respons yang akan diberikan oleh musuh. Karena jika melenceng dari perkiraan, akan timbul perang penuh yang justru dapat memperburuk keadaan, tidak hanya bagi kedua negara yang sedang berperang, namun dalam eskalasi yang lebih besar. Dengan demikian, para pemimpin yang memegang peran penting dalam keamanan nasional harus dapat memahami dua hal penting, yaitu peran dan persaingan. Persyaratan perang sudah seharusnya dipaham dengan baik seiring dengan makin canggihnya teknologi yang ada. Negara seperti Amerika Serikat harus mengetahui bagaimana memanfaatkan asset militer yang ada dengan sebaik-baiknya untuk dapat membuat musuh tunduk. Namun demi menjaga kepentingan nasionalnya, AS perlu untuk menyelesaikan tantangan yang ada tanpa harus menggunakan kekerasan yang jelas akan sangat memberikan dampak yang signifikan. (War, 2020)
Sebuah negara yang ingin sukses dalam menaklukan musuhnya harus mengimplementasikan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh dunia internasional agar dapat sejalan dengan kepentingan nasionalnya. Dengan demikian, menjadi seorang pemimpin dan menjalankan kepemimpinan secara internasional merupakan suatu pekerjaan yang perlu untuk sepenuhnya dipertaruhkan. Karena dalam menjalankan tugasnya, seorang oemimpin harus mampu menetapkan aturan yang benar-benar matang untuk negaranya, meyakinkan actor-aktor untuk mengikuti kebijakannya, serta mendorong tingkat kepatuhan kepada aturan yang ada.
Secara singkat, pemilihan penggunaan strategi diplomasi koersif yang dilakukan oleh AS dirasa memberikan hasil yang bertentangan dengan apa yang ditujukan. Misalnya, serangan rudal di Suriah pada tahun 2018 yang diperuntukan agar Suriah berhenti untuk menggunakan senjata Kimia menjadi jawaban bahwa tidak semua negara yang dianggap “lebih lemah” hanya akan menuruti serangan dari musuh. (George, n.d.) Karena mereka yakin kredibilitas yang dimilikinya juga layak untuk dipertaruhkan.
Selain itu, penggunaan diplomasi koersif terhadap Korea Utara juga merupakan jawaban akan sulitnya untuk mengubah perilaku musuh ketika “asset” mereka yang dianggap paling penting sedang dipertaruhkan. Penggunaan strategi diplomasi koersif juga akan berhasil jika ancaman yang diberikan dianggap kredibel dan negara yang mekuncurkan strtegi tersebut dianggap siap untuk berperang.
Terakhir, diplomasi jenis ini dianggap sangat berisiko karena bergantung pada motivasi yang sedang dijalankan oleh musuh, jika salah perhitungan maka akan berujung pada situasi yang lebih buruk yaitu perang penuh seperti yang terjadi pada invasi Irak tahun 2003. Oleh karena itu, kekuatan militer, ekonomi, serta social-politik merupakan alat terpenting dalam menghadapi persaingan-persaingan yang ada. Kekuatan social-politik telah dianggap sebagai alat di mana kepemimpinan seseorang dalam dunia internasional suatu negara dapat membawanya ke dua arah yang berbeda, entah kemakmuran atau kesengsaraan.
Keberhasilan dari suatu strategi akan bergantung pada komuniksi yang efektif antara pihak-pihak yang terlibat. Diplomasi koersif akan berhasil jika terjadi koordinasi antara kata-kata dan tindakan yang dilakukan. Ancaman yang diberikan harus kredibel dan sesuai dengan kapasitas masing-masing negara karena ancaman memainkan peran utama khususnya dalam strategi diplomasi koersif.
Kuatnya ancaman atau bujukan yang diberikan tergantung pada apa yang sedang diperjuangkannya serta seberapa kuat musuh dalam menjalani kepatuhan. Selain itu, keberhasilan atau kegagalan dari diplomasi ini seringkali bergantung pada keseimbangan motivasi yang dimiliki oleh para pihak. Apakah ancaman yang dilakukan menyangkut motivasi untuk pencapaian tuntutannya? Umumnya, semakin besar ancaman maka akan semakin besar juga perlindungan lawan.
Daftar Pustaka
George, A. (n.d.). The General Theory and Logic of Coercive Diplomacy. Retrieved from beyonditractability: https://www.beyondintractability.org/artsum/george-thegeneral
Jakobsen, P. V. (2020, Februari 28). Coercive Diplomacy as Crisis Management. Retrieved from Oxfor Research Ensyclopedias: https://oxfordre.com/politics/oso/viewentry/10.1093$002facrefore$002f9780190228637.001.0001$002facrefore-9780190228637-e-1624
Levy, J. S. (2008). Deterrence and Coercive Diplomacy. 8-11.
Norton, R. (2004). The United States and Coercive Diplomacy. Retrieved from Proquest: https://www.proquest.com/docview/205935561
Raza, A. (2020, Maret 9). Assessing U.S. Use of Coercive Diplomacy. Retrieved from real clear defense: https://www.realcleardefense.com/articles/2020/03/09/assessing_us_use_of_coercive_diplomacy_115108.html
War, M. C. (2020, Juni 15). Barry Blechman. Retrieved from Stimson: https://www.stimson.org/2020/military-coercion-and-us-foreign-policy-the-use-of-force-short-of-war-2/
Yingqin, Z. (2021, September 26). Why Joe Biden’s America Must Give Up Coercive Diplomacy. Retrieved from shanghai institutes for international studies: http://www.siis.org.cn/Research/EnInfo/5508
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H