Begitu pucat wajah malam dalam jeratan hitam
aku terjaring di lebah sengat penuh kesunyian
laba laba merah pun tak membakarkan apinya
lewati panas bisanya.
Aku sendiri membusa dalam bisunya kelam
yang langit langit kamar mengintaiku
lintasi imaji terkatung katung
dalam khayal ketidakpastian.
Jangan, jangan pernah kau sentuh angin kebencian
yang menghembuskan dingin dalam dendam kekakuan
aku beku dalam kekosongan.
Bulan pun meratapi terangnya pada purnama
yang terkendala di pucuk mutiara
langit pun bermata air penuh kantung tangis luapan
abu menjadi lukisan warna seketsa wajahmu.
Pernah ku panggil awan pada hujan
namun yang datang hanyalah teriknya surya
yang menghujami bara dalam patahan arang
yang mewarna darah.
Aku di sini mengungkung harapan hambar
dalam hidup yang tak menawar
suka duka jalani tanpa rasa
hanya membelai getah getah sepah yang tawar.
Denting jam mengusik peraduan sepiku
ada malaikat rindu yang membelenggu borgol hatiku
namun jiwa membantah lepaskan simpul dengan kunci resahku
aku takut tak bisa memutik pintu hasratku.
Seiring detakan denyut nadi
seirama debaran degup jantung, aku hidup, aku tak mati!..
tetapi mengapa rasa ini begitu beku, dalam aliran darah segarku
aku seperti bisu.
Pernahkah merasakan itu?..
Dalam temaram nya jejak lentera kisahku
aku tersungkur di hutan gelap hidupku
tersangkut di akar akar belukar hariku, aku jatuh.
Tugu ...
Nisan batu, mungkin itulah namaku
seseorang dalam dua musim hati berpadu
aku membahu dua sifat yang tak menyatu
pada perbedaan yang tak di mengerti.
Dengan malam yang berpintu dini hari
aku membagi sedikit risihku akan kalbu
yang tak pernah ku tau, seperti apa sebenar diriku,(?)