Mohon tunggu...
Hannaput
Hannaput Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Batas Ambang Suara, antara Niat Tulus dan yang Tidak

16 Juni 2018   14:18 Diperbarui: 16 Juni 2018   14:53 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Organisasi merupakan tempat yang didalamnya terdapat orang-orang guna melakukan berbagai kegiatan sesuai dengan tujuan dari organisasi tersebut. Dalam menentukan tujuan suatu organisaisi mempunyai target, dimana target yang ditentukan biasanya sangat tinggi.

Tujuan target yang tinggi ini diharapkan memacu a orang-orang yang berada diorganisasi harus solid dan bekerja keras dalam mencapai tujuan. Apabila target tersebut kurang dicapai maka organisasi tersebut harus mengintropeksi diri, memperbaiki kinerja, meningkatkan sdm dan lain-lain serta bukannya menyalahkan sistem, orang lain, peraturan.

Begitu juga dengan Parpol apabila targetnya tidak tercapai maka harus berbenah diri dan bukan mencari kambing hitam dengan mencari pembenaran terlebih lagi menjelang pemilu. Seharusnya sebagai parpol membenahi diri, mempersiapkan strategi, sdm, konsep-konsep yang jitu sehingga mempunyai nilai jual dimata masyarakat, bukannya meminta-meminta atau mengemis peraturan tentang Pilpres agar lebih mudah dengan menggugat di Mahkamah Konstitusi.  Hal ini merupakan suatu preseden yang buruk dalam perpolitikan di Indonesia dan dianggap cengeng di mata masyarakat.

Salah satu cara yang dilakukan Parpol yaitu menggandeng para ahli hukum yang dikatakan kredibel dan memiliki integritas yang tinggi menggugat suatu peraturan yang sudah diputuskan secara bersama tentang batas ambang Pilpres yaitu 20 %. Masalah ngunggat dan menggungat peraturan Pilpres ini sudah terjadi berulang-ulang dan menghabiskan energi dan tenaga dengan hasil tetap sama yaitu 20 %.

Hal ini dikarenakan memilih Presiden bukan seperti memilih ketua RT yang tanpa batas ambang dan semua orang bisa mendaftar seenak udel. Jadi suatu hal yang naif jika Pilpres disamakan dengan pemilihan RT. Untuk memilih Presiden merupakan suatu hal yang esensial dalam berdemokrasi dalam suatu negara.  Artinya jika bicara negara berarti ada aturan yang disepakati secara bersama dan dipatuhi, apalagi aturan tersebut sudah berbentuk undang-undang.

Undang-Undang yang dibuat bukan muncul secara tiba-tiba dari langit tetapi melalui proses yang panjang, meguras waktu dan tenaga serta sudah disosialikan kepada seluruh masyarakat dengan meminta saran dan masukan para ahli. 

Sebelum Hari Idul Fitri kita dikejutkan dengan munculnya kelompok yang dipelopori oleh Indrayana Center dengan anggota 12 orang pemohon menolak syarat ambang batas Presiden dengan mengatas namakan rakyat. Yang menjadi pertanyaan rakyat yang mana? perlu diketahui bahwa rakyat Indonesia berjumlah 240 juta orang mulai dari bayi hingga manula, dari orang waras sampai orang gila.

Untuk itu jika melakukan ngunggat menggugat sebaiknya jangan mengatas namakan rakyat, karena rakyat tidak pernah mengeluh, melapor atau keberatan dengan sistem batas ambang kepada kelompok tersebut. Lebih elegan dan beretika lagi kelompok tersebut harus berani mendeklerkan diri dengan jelas, mengatas namakan parpol mana yang menginginkan batas ambang 0%, siapa yang berambisi ingin jadi capres atau ada penumpang gelap sehingga masyarakat tahu maksud dan tujuannya serta jangan dibuat sumir.

Jika kelompok tersebut ingin batas 0 % untuk apa diadakan Pilpres yang mengabiskan biaya, waktu dan tenaga cukup buat iklan dimedia cetak dan elektronika dengan bentuk pengumuman "SIAPA YANG YANG BERMINAT MENJADI PRESIDEN SEGERA DAFTAR DIRI ANDA YANG PENTING MODAL NEKAD DAN NYALI".

Pemberlakuan persyaratan ambang batas pencalonan presiden 20%-25% sudah diberlakukan 2 kali pemilu pada 2009 dan 2014 dan salah satunya yang menyetujuinya yaitu Prof Deny indrayana.

Dan dalam sidang di MK sebagai penggungatnya Prof Yusril Dalam sidang pengujian undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Yang menjadi tanda tanya kenapa Prof Deny Indrayana mempelopori menolak ambang batas padahal beliau pada saat itu setuju, dan buah dari keberhasilannya beliau diganjar menjadi Wamenkumhan. Jadi sanggat ironi apa yang dilakukan Prof Dany saat ini dan sudah barang tentu membuat Prof Yusril ketawa karena pada waktu itu beliau menyetujui kok sekarang tidak menyetujui.

Yang lebih ironi lagi yaitu orang-orang dalam tim Prof Dany yang merupakan orang-orang intelek dan terpandang yang terdiri mantan menteri, akademis, tokoh ormas kepemudaan, pengusaha yang turut serta menggungat dibawah koordinator Prof Dany Indrayana yang jelas-jelas dulu mendukung threshold tersebut. Sehingga apa yang diperjuangkan orang terhormat (dalam kelompok) saat ini bagi masyarakat ada motif tujuan tertentu untuk mengolkan calon atau dukungan seseorang dan secara tidak langsung pandangan terhadap beliau membuat masyarakat tidak respek atau antipati.

Jadi kalau para ahli tersebut mengajukan ngungatan ke Mahkamah Kontitusi salah alamat harusnya ngungatan tersebut diajukan kepada Prof Deny Indrayana yang saat ini jadi tim dari pemerintah yang berkuasa. So jangan jadikan lelucon yang membuat masyarakat tertawa terbahak bahak....heheeh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun