Persidangan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa tunggal Jessica Kumala Wongso (Jess) semakin hari semakin menarik. Kasus ini menjadi "seru" karena munculnya pro-kontra yang beraneka ragam di tengah masyarakat. Apakah benar Jessica yang membunuh Mirna? Kalau tidak ada saksi yang melihat secara langsung, apakah suatu kasus tidak bisa dibuktikan? Bila CCTV tidak secara langsung merekam penuangan bubuk sianida ke dalam cangkir kopi Mirna, apakah berarti bahwa CCTV tidak bisa memberikan petunjuk apa pun? Mungkinkah ada penyebab lain selain kopi sianida yang membuat Mirna meninggal sedemikian cepat? Apakah CCTV yang ditayangkan direkayasa, dan sebagainya.
Saya yang mengikuti cukup intens lewat tayangan langsung (live) yang disiarkan Kompas TV juga tertarik untuk membuktikan apakah tulisan yang pernah saya muat “Benarkah Alat Bukti dalam Mentersangkakan Jessica Lemah?” pada akhirnya terbukti kebenarannya, meski saya tidak berlatar belakang hukum. Saya bersyukur beberapa kali tulisan yang saya posting tentang kasus pembunuhan dan kaitannya secara hukum terbukti kebenarannya, misalnya tentang Engeline, Deudeuh, dan pelakunya telah dijatuhi hukuman yang setimpal.
Kali ini setelah absen nulis beberapa bulan, saya ingin coba mengulas kelanjutan kasus Jessica, sehubungan banyaknya keraguan di masyarakat, benarkah Jessica pelaku tunggal pembunuhan atas Mirna? Jangan sampai terjadi, seperti adagium dalam hukum pidana yang sangat terkenal dan sering kita dengar, “lebih baik membebaskan 1000 orang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah”. Apalagi Jessica dijerat dengan pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana yang ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati. Salah satu kendala terbesar keraguan sebagian besar orang karena kasus ini bolak-balik 5 kali antar kejaksaan dan polisi sebelum akhirnya diterima pihak kejaksaan.
Terus terang bagi saya sidang kasus pembunuhan Mirna Salihin merupakan tontonan yang menarik, sekaligus membosankan. Sidang tersebut menarik bukan hanya karena kisah pembunuhan itu seperti cerita sinetron, tetapi juga karena sidang tersebut memperkaya pengetahuan pemirsa melalui berbagai analisa yang disampaikan oleh para saksi ahli secara scientific evidence. Akan tetapi, sidang tersebut membosankan karena cara Otto Hasibuan (pengacara Jessica) melakukan pembelaan secara bertele-tele (misalnya semua saksi karyawan kafe Olivier sebanyak 17 orang ditanya satu per satu apakah mereka melihat sendiri peristiwa terdakwa Jessica memasukkan sesuatu ke gelas kopi Mirna), tidak berbobot (misalnya dia menanyakan pertanyaan bodoh, “Flash disk itu apa?”), dan menjebak (misalnya dia menanyakan, “Apakah flash disk yang dipakai itu asli?”).
Terus terang, saya tidak sesabar para pegawai kafe yang tetap menjawab pertanyaan yang menyebalkan dengan cara yang sopan. Saya juga tidak sesabar saksi ahli yang bersedia menjawab pertanyaan bodoh dan menjebak dengan cara yang sopan. Bila saya yang ditanya, mungkin saya akan menjawab, “Flash disk adalah barang biasa yang dikenal oleh hampir semua orang, termasuk anak-anak SD yang sudah mulai belajar komputer. Sekalipun pertanyaan itu mengherankan, saya akan memberi jawaban seperti yang diberikan saksi ahli IT AKBP M. Nuh.
Terhadap pertanyaan yang menjebak, sebenarnya saya juga ingin marah, tetapi nenek saya telah mengajar saya untuk bersikap sabar terhadap pertanyaan jebakan sehingga saya akan menjawab, “Karena pertanyaan Bapak Pengacara adalah pertanyaan jebakan, saya tidak bisa menjawab dengan metode “ya” dan “tidak”. Bila yang dimaksud oleh Bapak Pengacara dengan istilah “asli” adalah “bukan rekayasa, bukan tipuan, persis sama dengan yang sebenarnya,” maka jawaban saya adalah, “Flash disk ini asli, tidak ada rekayasa di dalamnya.” Akan tetapi bila yang dimaksud dengan “asli” adalah yang dipakai untuk merekam di peralatan CCTV, jawabannya adalah, “Keahlian kami menuntut kami tidak menggunakan bukti asli secara langsung, melainkan kami harus memakai duplikat yang persis sama dengan flash disk yang asli, agar flash disk yang asli terjaga keasliannya dan bisa dipastikan tidak mengalami editing.”
Dengan demikian, bila di pengadilan ada pihak yang tidak mengerti IT dan tidak mau tahu bahwa pemakaian duplikat adalah sah di dunia peradilan internasional, maka flash disk yang asli bisa dioperasikan langsung dalam sidang pengadilan demi memuaskan pihak yang menentang secara membuta, seperti yang diminta pengacara Otto dalam persidangan Jessica hari Rabu, 10 Agustus 2016 yang lalu.
Saat menyaksikan Otto Hasibuan berargumentasi, baik di ruang pengadilan maupun saat berhadapan dengan wartawan, saya merasa kesal melihat dia bernalar dengan metode yang saya sebut “Pin-Bo” (Pintar-Bodoh) atau “Bo-Pin” (Bodoh-Pintar). Misalnya, Otto mengarahkan pemirsa untuk menganggap flash disk duplikat sebagai flash disk palsu yang sudah direkayasa (oleh polisi?). Dia tidak mau tahu bahwa flash disk yang dipakai oleh saksi ahli adalah duplikat flash disk asli dalam pengertian bahwa isi flash disk tersebut persis sama (identik) dengan flash disk asli tanpa perubahan sedikit pun. Otto (dengan metode Bo-Pin) tidak mau tahu bahwa saksi ahli adalah saksi yang bisa menganalisis dan tahu apakah flash disk itu sudah direkayasa atau masih asli (persis sama dengan yang asli).
Dengan metode “Pin-Bo”, Otto mengatakan bahwa mungkin saja flash disk itu sudah direkayasa (misalnya wajah seseorang ditempelkan untuk menggantikan rekaman yang merupakan rekayasa atau tangan Jessica dipercepat sehingga terkesan menggaruk). Metode Otto ini saya sebut “Pin-Bo” karena saksi ahli tidak mungkin bisa “dikibuli” oleh permainan rekayasa IT murahan! Ahli IT akan dengan mudah bisa melihat bila rekaman CCTV di flash disk yang diserahkan kepada mereka merupakan rekayasa atau asli, karena rekayasa gambar selalu meninggalkan bekas (diskontinuitas).
Seandainya jaksa membaca tulisan saya ini, saya ingin berpesan agar Bapak/Ibu Jaksa sabar menghadapi Otto serta hati-hati agar tidak bisa disesatkan oleh metode penalaran “Pin-Bo” atau “Bo-Pin”.
Menurut teman-teman sekalian, selain metode “Pin-Bo” dan “Bo-Pin”, metode apa lagi yang merupakan metode favorit Otto. Dengan metode “Bo-Pin” yang digunakan Otto, dia mengesampingkan penjelasan para saksi ahli dan berlagak tidak mau tahu, selanjutnya memengaruhi masyarakat dengan cara berlogikanya.
Saya berharap bahwa persidangan hari Senin nanti pada 15 Agustus 2016, tidak ada lagi saksi yang mudah terjebak oleh pertanyaan “Pin-Bo” dan “Bo-Pin” ala Otto, kuncinya yaitu:
- Saksi bersikap tenang dan waspada terhadap jebakan Otto
- Jangan terjebak dengan pertanyaan yang meminta jawaban ‘Ya’ atau ‘Tidak’ karena kadang-kadang pengertian ‘Ya/Tidak’ bisa diartikan lain untuk memutar balik jawaban / dibelokkan (misalnya kata ‘asli’ yang ditekankan berulang-ulang pada saksi ahli IT M. Nuh)
- Tidak mengikuti alur logika sesat yang dibangun pengacara Otto guna mematahkan fakta dalam persidangan
Semoga bermanfaat, salam :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H