Mohon tunggu...
Hanna Chandra
Hanna Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

Bernafaslah selagi gratis, tersenyumlah selagi tiada larangan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bahasa Politik dan Kebebasan Pers: Mencerahkan atau Memanipulasi?

20 Juli 2015   00:06 Diperbarui: 20 Juli 2015   00:06 1267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa adalah alat penting yang bermanfaat di segala bidang. Manfaat bahasa banyak sekali, antara lain sebagai alat berkomunikasi dan alat mendidik. Akan tetapi, bahasa juga bisa dipakai untuk maksud busuk, misalnya untuk memanipulasi atau menyesatkan. Politik juga bisa baik dan bermanfaat bila politisinya baik dan jujur, tetapi amat berbahaya dan merugikan bila politisinya busuk dan hanya mencari keuntungan sendiri.

Bahasa politik adalah bahasa dalam bidang politik atau bahasa untuk tujuan politik. Bahasa politik bisa bersifat mencerahkan, tetapi juga bisa—bahkan sering—bersifat manipulatif (menipu). Bahasa politik bersifat mencerahkan bila dilandasi kejujuran, tetapi bersifat manipulatif bila dilandasi opini yang subjektif serta keinginan memaksakan pendapat. Bahasa politik yang bersifat manipulatif ini membuat yang benar nampak salah dan yang salah nampak benar.

Sayangnya, media massa seringkali senang mengakomodasi (menampung) bahasa politik yang bersifat manipulatif. Tidak mengherankan bila Ibu Megawati—Ketua Umum PDI Perjuangan—mengatakan bahwa media massa sering memlesetkan kata-katanya. Maksudnya, media massa seringkali mengutip dan mengemas sebagian kata-katanya dalam konteks berbeda sehingga menghasilkan pemahaman yang salah, bahkan yang bertentangan dengan maksud sebenarnya.

Kebebasan Pers yang dimulai sejak masa reformasi membuat masyarakat mendapat banjir informasi. Sebagian informasi bersifat positif, dan sebagian informasi bersifat negatif. Sebagian informasi merupakan pemaparan fakta, tetapi sebagian informasi adalah pembelokan atau pemalsuan fakta, bahkan fitnah. Sebagian informasi berupa penafsiran fakta yang dilakukan secara hati-hati, teliti, dan bertanggung jawab, tetapi banyak pula penafsiran fakta yang dilakukan secara sembarangan untuk mencari popularitas atau untuk memaksakan keinginan.

Salah satu penyebab banjir informasi adalah hadirnya media sosial dan jurnalisme warga. Di satu sisi, media sosial dan jurnalisme warga bisa bersifat positif karena menolong masyarakat untuk belajar menulis tanpa takut mendapat sanksi bila melakukan kesalahan. Ada banyak ide positif (membangun) di media sosial dan jurnalisme warga. Di sisi lain, media sosial dan jurnalisme warga bisa bersifat negatif karena banyak orang menulis tanpa peduli dengan kaidah-kaidah jurnalisme. Tulisan di media sosial dan jurnalisme warga yang mempesona massa sering tidak mengikuti aturan berbahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga bisa menjadi arena pendidikan yang buruk.

Faktor apa yang membuat sebuah tulisan menjadi bermanfaat atau menjadi sumber masalah?

Faktor Pertama adalah kejujuran. Banyak orang yang menulis dengan tidak jujur. Dia tidak tahu, tetapi merasa seolah-olah tahu. Dia menyampaikan tafsiran tetapi seolah-olah menyampaikan fakta. Dia menyampaikan keyakinan yang tidak didasari fakta, tetapi dugaan. Sebagai contoh, selama lebih dari sebulan, publik bergejolak terhadap isu mengenai KPK versus Polri. Saya heran melihat banyak orang memiliki keyakinan yang amat kuat (sampai rela berdemo dan begadang) sebelum memahami fakta secara jelas. Saat ada yang melontarkan fakta (misalnya soal rumah kaca), respons yang muncul bukanlah menguji apakah fakta itu benar, melainkan menimpa fakta itu dengan opini publik. Ketidakpedulian terhadap fakta semacam itu saya anggap sebagai ketidakjujuran.

Faktor Kedua adalah motivasi. Banyak tulisan sensasional (menarik, disukai publik) yang tidak dilandasi fakta yang benar. Terkadang saya bertanya-tanya tentang motivasi penulis? Benarkah penulis ingin menyampaikan kebenaran kepada publik? Atau sebaliknya, jangan-jangan penulis ingin mengacau pikiran publik, bisa karena iseng atau karena ada maksud lain yang tersembunyi. Apakah ada penulis yang ingin mengacau pikiran publik? Jelas ada! Ingat masalah tabloid Obor Rakyat yang jelas-jelas berisi fitnah dan tetap dibiarkan beredar oleh .... Sekarang sudah tidak ada Obor Rakyat, tetapi para penyebar fakta menyesatkan itu masih ada ... dan dilupakan!

Faktor Ketiga adalah tujuan. Menetapkan tujuan dalam menulis adalah langkah pertama untuk bisa menulis secara benar dan konsisten. Bagi saya, tujuan saya menulis adalah agar saya bisa memberi faedah bagi orang lain. Dari sisi diri saya sebagai warga negara, tujuan saya menulis di Kompasiana adalah agar Indonesia menjadi negara yang stabil dan terus maju. Terus terang, saat mengikuti tulisan orang yang sama di Kompasiana, saya sering terheran-heran saat melihat perubahan pandangan dan/atau perubahan sikap dari penulis yang sama. Saya bertanya-tanya apakah si penulis memikirkan akibat tulisannya (selain diharapkan membuat dirinya terkenal). Saat muncul pikiran negatif, saya sering menuduh penulis ini dan penulis itu tidak pernah mempertimbangkan apakah tulisannya membuat negara menjadi lebih baik atau lebih kacau!

Salah satu jenis tulisan yang perlu dipertimbangkan kembali sebelum di-publish adalah kritik. Saya mengamati, banyak kritik yang didasarkan pada gosip atau opini, bukan fakta. Penulis yang baik akan berpikir berulang kali sebelum melontarkan kritik. Kritik yang baik adalah kritik yang dilandasi fakta dan disertai usulan solusi. Kritik yang busuk adalah kritik yang bersifat manipulatif dan dilandasi motif memaksakan kehendak. Ingatlah bahwa apa yang kita inginkan belum tentu benar dan baik, serta yang benar dan baik belum tentu menyenangkan.

Salah satu contoh manipulasi adalah penggunaan kata “rakyat” atau “rakyat kecil” secara tidak jujur. Saat seorang politisi atau tokoh masyarakat mengatakan bahwa dia menyuarakan suara “rakyat” atau “suara rakyat kecil”, saya (dan mungkin banyak orang lain) tidak merasa diwakili oleh kata-katanya. Kadang-kadang, kata “mewakili rakyat” itu berarti mewakili sebagian rakyat, dan ada kalanya kata “mewakili rakyat” itu hanya omong kosong. Sebagai contoh saat seorang politisi berkata, “Presiden Jokowi telah mengecewakan rakyat yang memilihnya!”. Perkataan semacam itu adalah perkataan yang terlalu dibesar-besarkan dan manipulatif karena hanya mewakili pendapat beberapa orang saja.

Manipulasi lain yang sering terdengar adalah penggunaan kata “berani”. Presiden Jokowi sering disebut sebagai presiden yang tidak berani mengambil keputusan sendiri. Benarkah demikian? Benarkah bahwa Presiden Jokowi “tidak berani” menentang keinginan PDIP atau keinginan Ibu Megawati? Sebenarnya tidak ada seorang pun yang tahu! Tidak ada seorang pun yang bisa membuktikan bahwa Presiden Jokowi meminta petunjuk atau meminta restu kepada PDIP atau kepada Ibu Megawati sebelum mengambil keputusan. Yang jelas adalah bahwa PDIP atau Ibu Megawati tidak senang terhadap beberapa keputusan yang diambil Presiden Jokowi!

Jadi, apa yang mendasari tuduhan bahwa Presiden Jokowi “tidak berani” mengambil sikap yang bertentangan dengan keinginan PDIP atau Ibu Megawati? Dasarnya adalah pemaksaan opini! Sebagian politisi dan tokoh masyarakat ingin memaksakan agar keinginan atau pendapat mereka diikuti Presiden Jokowi. Sayangnya, cara yang digunakan sering bersifat manipulatif, bukan mencerahkan! Opini yang bertujuan memojokkan Presiden Jokowi dibungkus rapi sehingga rakyat yang kurang cermat berpikir akan memandang opini itu sebagai fakta! Apakah Presiden Jokowi adalah seorang presiden yang “tidak berani” mengambil keputusan?

Bagi saya, fakta yang nampak terang benderang bertentangan dengan opini. Presiden Jokowi berani bertentangan dengan pendapat partai atau pendapat Ibu Megawati (seandainya benar bahwa PDIP atau Ibu Megawati secara diam-diam mendikte Presiden Jokowi) dan Presiden Jokowi juga berani bertentangan dengan para pengamat serta tokoh masyarakat yang mengatasnamakan suara rakyat!

Sekalipun opini yang berusaha mengatur Presiden Jokowi itu saya yakin tidak akan berhasil, namun opini itu terasa sebagai gangguan, bahkan sebenarnya opini itu seringkali bisa disebut sebagai fitnah atau pencemaran nama baik. Terhadap para pengamat dan penulis yang senang mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak berani mengambil keputusan, saya ingin mengatakan, “Stop mendikte Presiden Jokowi! Jangan memanipulasi dengan mengatasnamakan suara rakyat!”

 

 

 

 

Selamat malam Indonesia

** Sumber gambar atas, bawah

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun