Mohon tunggu...
Hanna Chandra
Hanna Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

Bernafaslah selagi gratis, tersenyumlah selagi tiada larangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenang Sisi Humanis Sosok Lee Kuan Yew

25 Maret 2015   11:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:03 1227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1427256220649045559

Berpulangnya Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura sekaligus sosok pemimpin kaliber dunia bertangan dingin, membuat kehilangan yang sangat besar bagi warga Singapura sendiri dan juga membangkitkan empati yang sangat besar dari para pemimpin dunia. Tak kurang Sekjen PBB, Ban Ki Moon mengatakan tentang mendiang Lee Kuan Yew, “Sosok legendaris di Asia, yang dihormati secara luas atas kepemimpinannya dan kenegarawannya yang kuat. Selama tiga dekade berkuasa, dia telah mengantarkan Singapura menuju transisi dari sebuah negara berkembangmenjadi salah satu negara paling maju di dunia, serta mengubahnya menjadi simpul bisnis internasional yang berhasil". Presiden Jokowi pun sudah menyampaikan rasa duka cita mendalam dan akan menghadiri upacara pemakaman kenegaraan pada hari Minggu (29/3) siang nanti sebelum upacara kremasi secara privat. Dalam tulisan kali ini saya akan coba mengulas sisi humanis dari sosok Mr. Lee yang ternyata memiliki perhatian dan penghargaan yang sangat tinggi terhadap orang tua (lansia).

[caption id="attachment_405206" align="alignnone" width="600" caption="Lee Kuan Yew (sumber antaranews.com)"][/caption]

Dikisahkan ada seorang pengusaha yang sukses dan sangat kaya raya di sana. Ia menjadi sosok yang dikenal di masyarakat karena kedermawanannya. Satu ketika istrinya meninggal dunia, karena merasa sudah menikmati hidup berkecukupan, maka ia mewariskan seluruh harta kekayaannya kepada putra semata wayangnya agar melanjutkan usaha bisnisnya. Dan si bapak tua tsb mengundurkan diri dari bisnisnya untuk menikmati sisa masa tuanya bersama anak menantu dan cucu tercinta. Namun, apa hendak dikata, tidak berapa lama si anak yang merasa sudah mapan dan berkuasa justru mengusir bapaknya dari kediaman mereka. Karena tidak tahu harus berbuat apa, jadilah pak tua tersebut mengemis di emperan jalan memohon belas kasihan orang yang lalu lalang.

Singkat cerita, tanpa sengaja seorang mantan rekan bisnisnya melintas dan memberikan sedekah. Tertegun sang teman, dengan mata tak berkedip ia memandang si pengemis tsb dan menanyakan apakah ia adalah rekan bisnis yang dikenalnya dahulu. Dengan wajah tertunduk menahan malu dan sedih, si pengemis menggelengkan kepalanya dan menjawab “Bukan, mungkin bapak salah orang”, demikian sahutnya. Tetapi naluri rekan bisnis pak tua tsb mengatakan ada ketidakwajaran dalam nada dan ucapan si pengemis, dengan rasa penasaran dan curiga, ia mengabarkan kepada teman-teman lainnya yang merasa kehilangan setelah lama tidak mendengar kabar tentang pengusaha sukses tsb. Mereka akhirnya beramai-ramai mendatangi pengemis tua itu dan setelah berjumpa, mereka meyakini bahwa itu adalah rekan bisnis mereka yang lama menghilang. Akhirnya dengan tersedu sedan si pengemis menceritakan kisah sedih yang dialaminya. Ini menimbulkan kegemparan yang sangat besar dan kegeraman serta kemarahan dari para sahabat bisnis si pengusaha tsb.

Akhirnya berita tsb sampai ke telinga perdana menteri waktu itu Lee Kuan Yew. Dengan sangat marah PM Lee memerintahkan agar anak mantan pengusaha tsb dipanggil dan di maki habis-habisan. “Sungguh sangat memalukan di Singapura ada anak durhaka demikian”. Lalu sang PM memerintahkan agar notaris membatalkan surat warisan dan mengembalikan hak waris pada ayah anak tsb. Dan agar kejadian serupa tidak terulang kembali, PM Lee mengeluarkan kebijakan berupa larangan kepada orang tua untuk menghibahkan harta bendanya kepada siapa pun sebelum mereka meninggal.

Kemudian, bagi para lansia sendiri, agar mereka tetap dihargai dan dihormati, PM Lee membuat kebijakan kedua agar para lansia dipekerjakan di semua perusahaan swasta dan negara. Dengan harapan para lansia ini tidak sekadar bergantung kepada anak dan menantu semata, karena mereka memiliki penghasilan sendiri dari hasil keringat mereka, disamping bisa bersosialisasi dan tetap sehat karena bergerak/bekerja. Tidak heran jika kita menjumpai pemandangan di food court maupun toilet-toilet sebagian besar pusat perbelanjaan di Singapura banyak dilayani oleh para lansia. Dengan berkarya di usia lanjut, para lansia merasa dihargai. Mereka memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dan mandiri, tidak merasa tersisihkan sebagai orang tua yang sudah tidak berguna.

Sekalipun demikian, pekerjaan tsb bukan merupakan pekerjaan hina, karena PM Lee memberikan pendidikan sosial bagi anak dan remaja di sana untuk menghargai apapun pekerjaan yang mampu dilakukan warga lansia sebagaimana kemampuan mereka dan anak-anak diajar untuk menghargai orang yang lebih tua, siapa pun mereka dan apa pun profesinya. Ini bukan saja menimbulkan rasa berharga bagi para lansia yang masih dapat bekerja, tetapi juga memberi dampak bagi kesehatan mereka di usia lanjut. Terbukti berdasarkan indeks angka harapan hidup menurut CIA World Factbook (perkiraan 2011) penduduk Singapura menempati peringkat ke 6 dari negara-negara dengan penduduk paling panjang umur di dunia setelah Monako, Macau, San Marino, Andorra dan Jepang dibanding Indonesia yang menempati peringkat ke 137. Bekerja bukan hanya menghilangkan kejenuhan, gejala kepikunan dan merosotnya organ tubuh seiring bertambahnya usia, tapi juga meningkatkan kepercayaan diri para lansia tsb.

PM Lee sendiri dikaruniai umur yang panjang sebelum akhirnya sakit pneumonia akut dan akhirnya wafat pada 23 Maret 2015 dalam usia 91 tahun. Bagi warga Singapura, Lee merupakan bapak bangsa yang berperan besar pada pembangunan dan kemajuan Singapura. Dia memimpin Singapura selama 31 tahun, dari tahun 1959 hingga tahun 1990.

Penduduk Singapura yang mayoritas sibuk dan kejar waktu dalam rutinas setiap hari yang mereka jalani -- tidaklah mengherankan sebagaimana semboyan hidup mereka 'kiasu' (dalam bahasa Hokkian berarti 'takut kalah', sedari kecil anak-anak dididik harus jadi nomor 1) -- tetap memberikan perhatian yang sangat besar saat pemimpin besar mereka wafat. Inilah contoh yang seharusnya diteladani bagaimana seorang pemimpin bukan hanya diakui ketika memimpin bahkan ketika wafat sekali pun tetap menjadi kenangan dan kecintaan yang sangat besar dari warganya. Semoga menginspirasi!

Selamat siang Indonesia

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun