Mohon tunggu...
Hanna Chandra
Hanna Chandra Mohon Tunggu... lainnya -

Bernafaslah selagi gratis, tersenyumlah selagi tiada larangan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara SBY, BBM dan Jero Wacik

5 September 2014   00:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:36 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang masa akhir pemerintahannya, prahara seolah tak pernah berhenti melanda dan mengarah satu demi satu orang-orang kepercayaan pak Beye. Mulai dari menterinya yang sangat loyal - Andi Malarangeng, disusul Surya Dharma Ali (SDA) menteri dari kabinet koalisi dan sekarang Jero Wacik (JW) menteri ESDM (urusannya sama perminyakan, seperti komentar saya pada beberapa tulisan kompasianer berkaitan dengan BBM – bahwa KPK in action atas menteri perminyakan, hanya tinggal menghitung hari). Mendadak ingat lagu mbak KD (wkwkwk)

Lalu, adakah hubungan SBY, BBM dan menteri perminyakannya? Tentu saja ada. Kita ketahui bersama keengganan SBY menaikkan harga BBM bersubsidi, bahkan sampai membuat tayangan yutub, seolah-olah membela kepentingan rakyat banyak agar tidak terjadi gejolak kenaikan harga hanyalah sesuatu yang semu. Mengapa?

Dalam tulisan sebelumnya, saya sudah menyinggung bahwa kenaikan BBM bersubsidi tidak bisa ditunda lagi, justru dengan melakukan pembatasan di setiap SPBU hanya akan menambah masalah, bukan solusi konkret.

Kenaikan BBM bersubsidi mau tidak mau harus dilaksanakan segera, mengingat anggaran untuk subsidi yang sudah mencapai garis warning (bahaya). Dengan melakukan pembatasan BBM bersubsidi, hanyalah upaya sesaat yang justru akan memicu gejolak baru, baik inflasi karena ketidak pastian harga dan efek domino – antrean bbm yang mengular di banyak tempat, pemakaian BBM jadi boros karena lama antri, biaya ekspedisi jadi mahal karena kelangkaan bensin dan  harga barang cenderung akan naik.

Meskipun sekarang antrian menurun karena pembatasan BBM bersubsidi dilepas, bukanlah solusi. Jika pembatasan BBM bersubsidi dilepas, maka kuota subsidi (46 juta kiloliter per Agustus 2014) pasti terlampaui (jebol), di masa berikutnya akan menjadi pe er yang lumayan kompleks bagi pemerintahan baru.

Memang dengan kenaikan BBM bersubsidi akan terjadi kenaikan harga barang (sembako), dsbnya, tetapi kenaikan yang terjadi hanya sekali, dan bila dapat diredam, baik dengan mensubsidi harga pasar, keuntungan yang didapat diberikan kembali pada pegawai – dengan menaikkan gaji, dengan siklus demikian maka diharapkan pola keseimbangan masih terjaga. Ketimbang dengan membiarkan berlarut-larut, harga sudah naik lebih dulu karena ketidak pastian, harga yang sudah naik biasanya sulit turun, dan ketika BBM bersubsidi dinaikkan, akan terjadi kenaikan kembali, jadi yang dialami masyarakat bertubi-tubi, inilah yang semakin mempersulit keadaan ekonomi masyarakat.

Sudah bukan rahasia lagi bahwa dalam badan perminyakan di negeri ini, banyak bancakan yang terjadi, bisa jadi milik pribadi atau pun kelompok dan mata rantainya sudah berakar dan amat panjang. Inilah yang membuat mafia minyak sulit teratasi, bukan perkara mudah untuk membongkar satu demi satu borok yang ada didalamnya. Sementara menghadapi keadaan yang sudah kompleks, menaikkan BBM bersubsidi juga memiliki masalah politis tersendiri.

Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi belum tentu bisa didukung parlemen, termasuk rakyat tentunya. Tetapi itulah kenyataan yang mau tidak mau harus ditempuh, lebih baik berterus terang dan mengajak rakyat memahami lewat komunikasi yang cerdas daripada menimbun masalah, tentunya harus disertai juga keinginan memberantas mafia minyak. Bukankah pak Beye sendiri pernah mengatakan, "saya akan berada di garis terdepan sebagai panglima dalam memberantas korupsi?"

Dengan sikap mencla-mencle yang sering terjadi dalam pemerintahan pak Beye, akhirnya rakyat mulai belajar cerdas mencari jawaban, tidak mengherankan sebenarnya kenaikan BBM bersubsidi itu bukanlah momok bagi sebagian besar orang, ketimbang membombastis rakyat dengan pencitraan lagi, pencitraan lagi, mungkin perlu mendapat piala citra (wkwkwk).

Sikap SBY yang enggan menaikkan BBM bersubsidi akhirnya berbuah dengan kado pahit di masa akhir pemerintahannya. Kurang seumur jagung lagi, beliau akan soft landing, tapi dengan apa yang terjadi pada jajaran menteri kabinetnya yang mungkin tidak kebetulan dibidik KPK (JW sebagai TSK bukan masalah gratifikasi tapi pemerasan), tetapi kebetulan mengurus perminyakan, apakah tidak menjadi tamparan tersendiri bagi pak Beye? Belum lagi, pengunduran diri bu Karen Agustiawan, yang notabene cemerlang memimpin pelat merah Pertamina, lagi-lagi urusan perminyakan. Licin euy...

Menutup tulisan saya, memang situasi yang dihadapi sekarang tidak mudah, masyarakat harus bekerja lebih keras dan berhemat agar dapat mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Disisi lain, kita memiliki harapan besar akan adanya pemulihan bagi keadaan yang tidak nyaman dengan terpilihnya Jokowi-JK sebagai presiden dan wakil presiden RI berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun