Saya gembira hari ini akhirnya Jokowi-JK dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 2014-2019. Bukan tanpa alasan, sejatinya merekalah kandidat presiden dan wapres pilihan saya. Sepanjang hari seluruh media televisi menyiarkan euforia dari pelantikan hingga penghantaran Jokowi-JK ke istana. Bahkan, kehadiran pak Prabowo memutarbalikkan banyak prediksi bahwa beliau tidak akan menghadiri pelantikan Jokowi-JK. Demikian juga sambutan yang hangat dari (mantan) presiden SBY hingga upacara sederhana serah terima berjalan penuh hikmat dan keharuan. Pak Jokowi sudah membuktikan diri sebagai pemimpin yang mampu meredakan polemik (ketegangan) dengan pendekatan yang dilakukan beliau terhadap mantan rivalnya, pak Prabowo S.
Akhir-akhir ini, saya menemukan beberapa ketegangan di dunia Kompasiana. Rupanya bukan cuaca saja yang lagi panas poll, bukan ketegangan seperti yang terjadi di Gaza, roket berbalas roket dan rudal peluru sehingga rakyat jelata jadi korban. Untunglah ketegangan di dunia K sebatas artikel berbalas artikel, puisi berbalas puisi, fiksi dibalas fiksi, dstnya. Entah kalo ada permainan politik sekelas Pilpres kemarin, mudah-mudahan jangan deh, yang repot kan kompasianers yang kesulitan mengakses K, alhasil admin pontang-panting membenahi IT dan menampung omelan k'ers (wkwkwkwk).
Pertama, artikel yang cukup heboh tentang mas W yang sempat diulas oleh mas Gatot S (Gasa) dua kali dan mas Alan Budiman. Apa yang dilakukan mas W—selama tidak ada pihak yang dirugikan secara moril, material maupun immaterial dalam jumlah besar—alangkah baik jika tidak diperpanjang. Jika mas W berkeinginan mengklarifikasi, mungkin keadaan menjadi jelas. Jika ada pihak yang merasa dirugikan dan mengalami hal yang tidak nyaman karena mas W, saran saya hubungi langsung ybs agar dapat menyelesaikan secara baik-baik daripada bergantian mengekspos tanpa pernah usai. Jikalau penyelesaian masih tidak tuntas juga, laporkanlah ke admin atau jika perlu pada pihak berwajib. Sebaliknya jikalau benar adanya seperti ulasan mas Gasa, sampaikan saja permintaan maaf dan selesaikanlah masalah dengan baik.
Apa yang ditulis mas Gasa saya pandang juga sah karena sejatinya beliau ahli dalam menggali logika berpikir ala dunia perpolitikan, bukan sekadar masalah pekaes (betul yah mas gasa?). Memang alasan yang dikemukakan mas Gasa membumi bahwa kita kepo karena tidak ingin terus-menerus mengonsumsi kebohongan. Dan sejujurnya, saya suka dengan penggalian logika berpikir dalam tulisan mas Gasa, tapi salah duanya saya juga tidak ingin menambah beban bagi TSK yang dibicarakan dengan ikut nimbrung dalam kolom komentar.
Ingatlah, setiap tulisan menyangkut seseorang pasti memberi ketidaknyamanan. Kompasiana dapat menjadi sarana yang baik dalam menuangkan ide melalui tulisan sekaligus sebagai pisau yang tajam seperti tertuang dalam artikel mas Rifki F “Kompasiana adalah Pisau yang Tajam“. Memang saya pernah menulis artikel tentang seseorang tapi itu sebatas klarifikasi atas beberapa artikel yang tertuju kepada pribadi saya. Tentu saya berharap bahwa hal itu sudah clear, semoga!
Hal kedua menyangkut pro kontra penjurian admin terhadap nominasi Kompasianer Favorit. Adalah hak admin menentukan siapa-siapa saja kompasianer yang terpilih dalam kategori dan kelak berhak menerima Kompasiana Awards 2014. Saya menemukan ada artikel yang mempertanyakan netralitas admin dalam menentukan terpilihnya seseorang dalam nominasi, mengapa bukan si anu, mengapa bukan sahabatku, mengapa bukan saya (barangkali ada yang berpikir demikian, hehehe). Tanpa bermaksud membela admin, saya ingin mengajak kita berpikir positif dan menerima pencalonan dan seleksi yang telah dilakukan admin (jika belum paham, cobalah baca lagi ketentuan yang tertera).
Admin mungkin saja belum sempurna, tetapi sebagai sosok yang dipercayakan membidangi urusan administrasi marilah kita belajar menghargai semua hasil dan kerja yang mereka lakukan. Menjadi bagian kita jika belum terpilih, lakukanlah yang terbaik, agar terpilih di masa mendatang.
Salah satu yang menjadi sumber berita dan pembahasan ramai di kompasiana adalah guru ternarsis saya, Pakde Kartono. Artikel yang ditulis salah satu muridnya mbak Dewi Pagi mau gak mau membuat mbak Maria M memposting artikel balasan. Saya berharap tidak terus menerus terjadi artikel berbalas artikel. Bisa-bisa admin pusing dan membatalkan kompasiana award (hehehe).
Kepada mbak Maria, saya sebagai salah satu murid Pakde Kartono dan juga mewakili saudara seperguruan saya, mbak Dewi Pagi, ijinkan saya menyampaikan permohonan maaf bila tulisan maupun komentar dalam artikel mbak Dewi telah melukai dan membuat ketidaknyamanan bagi mbak Maria. Percayalah mbak, tidak ada maksud semua murid maupun Pakde Kartono sendiri memusuhi mbak Maria. Saya menyampaikan salam hangat penuh persahabatan buat mbak...
Memang tulisan Pakde Kartono sering sekali membahas masalah seksologi dan pernik-pernik disekitarnya. Saya kira tidak ada yang salah (walaupun tidak mudah diterima oleh yang belum menikah) dan pembahasan tersebut pun selalu mendapatkan tempat tersendiri di kalangan penggemarnya. Tidak mengherankan bahwa (hampir) semua tulisannya mencapai out of box. Jika admin memilih Pakde Kartono pasti ada pertimbangan tersendiri dari admin setelah melalui seleksi ketat dan tidak mudah. Jika ada yang kurang setuju dengan nominasi calon oleh admin, dengan simpel saya berpikir mengapa tidak memilih saja siapa yang k'ers sukai dan merasa layak, bukankah ada 5 calon dari masing-masing kategori yang ditetapkan admin?
Dalam menulis, terjadinya pro kontra adalah hal yang wajar dan manusiawi. Dalam Pilpres kemarin, saya termasuk yang tidak mau menanggapi semua tulisan tentang rival pak Jokowi karena saya berkeyakinan kuat bahwa pak Jokowi akan terpilih sebagai presiden RI ke-7. Oleh karenanya, demi menghindari perselisihan, saya tidak masuk dan membaca tulisan yang berbeda dengan keyakinan saya, daripada saya mengkritisi pandangan kompasianers lain yang memiliki prinsip dan keyakinan tersendiri yang berbeda dengan saya.
Sama halnya dengan yang menyangkut tulisan Pakde Kartono, sudah pasti ada yang menolak, tetapi tidak bisa ditutupi kenyataan bahwa ada juga yang menerima. Mari kita belajar menyikapi perbedaan dengan berpikir positif dan tidak mempermasalahkan perbedaan. Tentu menjadi repot, misalnya, jika kita ke pasar membeli barang keperluan bersama berdasarkan selera kita tanpa mau tahu dengan selera orang lain. Keberagaman seharusnya makin memperkaya cara kita memaknai hidup dan berinteraksi didalamnya dengan sikap saling menghargai.
Saya berharap bahwa dengan tulisan ini, semua polemik dapat diakhiri dan dunia K menjadi nyaman kembali. Tentunya saya juga berharap dengan berkurangnya protes dan komplain, admin dapat segera mengingat permohonan saya agar memverifikasi akun saya. Jika stok verifikasi yang hijau habis, yang biru juga tidak akan saya tolak. wkwkwkwk
Terakhir, “tidak ada gading yang tak retak,” demikian kata pepatah, begitu juga “tidak ada Gading Marten tanpa Roy Marten” (hihihihi)
Selamat malam Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H