Kebutuhan energi tidak dapat dipungkiri tiap tahun terus meningkat. Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi listrik, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan UU No 30 tahun 2009 untuk mendukung pembangunan kelistrikan yang berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil.
Rasanya mudah jika lokasi yang ingin dibangun memiliki demand listrik yang tinggi, bangun dimanapun tentu akan diserap oleh konsumen. Permasalahan yang terjadi di Indonesia ada beberapa macam, wilayah yang tersebar, infrastruktur yang kurang memadai, kebutuhan energi listrik yang tidak ekonomis untuk dikembangkan dan sejuta alas an lainnya yang menghambat.
Potensi Lokal
Setiap daerah tentu memiliki sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Dalam hemat saya, yang paling mungkin adalah tanaman (biomassa), tenaga matahari, angin/bayu, serta mikrohidro. Selama pengalaman saya bekerja, pembangkit listrik dari biomassa (PLTBm) merupakan solusi cukup feasibleuntuk dikembangkan secara serius di seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali.
Ada beberapa tanaman alternatif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku PLTBm seperti akasia, kaliandra merah, lamtoro gung, dan lainnya. Nilai kalori yang dimiliki oleh tanaman tersebut dalam keadaan kering dapat mencapai 4.500 kcal/kg. Di tempat saya bekerja, kami telah melakukan ujicoba terhadap tanaman kaliandra merah. Hasilnya cukup positif, dengan jarak tanam 1 x 1 meter dengan waktu tanam sekitar 1,5 tahun, diperoleh hasil kayu sekitar 40 ton / ha untuk panen pertama.Â
Keunggulan tanaman kaliandra merah ini antara lain dapat menambat nitrogen langsung dari udara, dimana nitrogen merupakan salah satu unsur dari pupuk NPK, memiliki bunga merah yang dapat dimanfaatkan untuk peternakan lebah, serta life cycle panen yang relatif pendek (6 bulan sekali dapat dipanen) dengan perolehan 30 ton /ha/tahun. Tanaman kaliandra merah merupakan tanaman short rotation coppice (SRC) yang relatif mudah untuk tumbuh pada tanah dalam kondisi yang ekstrim.
TEKNOLOGI
Teknologi gasifikasi untuk PLTBm saya rasa sudah cukup efektif dan mature untuk digunakan di daerah terpencil. Teknologi gasifikasi biomassa rata-rata memiliki skala yang relatif kecil dan luas (20 kW s.d. 3 MW). Untuk dikembangkan di wilayah terpencil tersebut tentu diperlukan studi lebih lanjut mengenai kapasitas serta interkoneksi dari pembangkit menuju rumah masyarakat.
Teknologi gasifikasi secara dasar merupakan proses pembakaran tidak sempurna dari biomassa. Temperatur proses gasifikasi memiliki rentang yang sangat bergantung pada bahan baku, selama pengalaman saya adalah 650-800oC. Gasifikasi memanfaatkan bahan baku biomassa sebagai bahan bakar sendiri serta menghasilkan gas volatil yang selanjutnya dimanfaatkan oleh gas engine untuk memutar generator dan menghasilkan energi listrik. Tantangan utama dari proses gasifikasi adalah proses pembersihan gas volatil sebelum memasuki gas engine karena masih mengandung tar (polyaromatic hydrocarbon) yang memiliki sifat lengket/sticky yang menghambat kerja piston, debu partikulat, abu, serta temperatur gas keluaran dari gasifikasi yang relatif panas dan perlu diolah untuk memenuhi kebutuhan dari gas engine.
Teknologi gasifikasi memiliki beberapa produk samping yang sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menambah keekonomian dari masyarakat lokal. Sisa panas dari proses gasifikasi dapat dimanfaatkan lebih lanjut untuk membuat pabrik es batu / cold storage skala kecil yang sangat cocok untuk wilayah kepulauan. Dengan menggunakan teknologi absorption chiller, sisa panas yang dihasilkan dimanfaatkan untuk menghasilkan pendingin.
Tentu es batu serta cold storage akan sangat membantu para nelayan Indonesia untuk menjaga kesegaran ikan untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik. Selain itu, proses gasifikasi menghasilkan arang yang dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar yang ramah lingkungan. Arang dapat dimanfaatkan untuk briket yang dapat digunakan untuk kebutuhan memasak rumah tangga. Adapun sisa abu pembakaran atau sisa gasifikasi dapat dimanfaatkan sebagai unsur hara bagi tanaman kaliandra ataupun kelapa yang ditanam secara lokal.
Untuk membangkitkan energi listrik sebanyak 1MW per jam, diperlukan kurang lebih 1 -- 2 ton bahan baku kayu, maka diperlukan 400 -- 500 ha lahan untuk ditanami tanaman kaliandra merah. Tanaman kaliandra merah memiliki umur sekitar 15-20 tahun, dan setelahnya dapat ditanam kembali dari awal.
EFEK DOMINO BAGI MASYARAKAT
Dengan diperolehnya energi listrik dari tanaman, saya yakin taraf hidup masyarakat wilayah kepulauan terisolir dapat berkembang. Tercipta lapangan kerja baik untuk kegiatan penanaman, pemeliharaan, serta pemanenan tanaman, serta di pembangkit listrik. Dengan adanya energi listrik, kegiatan industri dari daerah tersebut dapat berkembang, seperti industri pengolahan kelapa, penyimpanan ikan serta pengolahan ikan menjadi surimi, serta dapat dikembangkan infrastruktur vital bagi masyarakat seperti puskesmas serta sekolah.
Dengan adanya konsep pengembangan tanaman serta pembangkit listrik secara lokal ini, secara langsung ekonomi masyarakat berkembang secara lokal, kekayaan lokal selama ini mungkin digunakan untuk membeli bahan pokok dari luar pulau, saya rasa dapat menjadi diputar secara lokal. Masyarakat yang menanam serta memanen tentu memperoleh penghasilan dari penjualan kayu, penghasilannya dapat digunakan untuk membeli listrik serta kebutuhan sehari-hari. Kemudian bagi pengembang listrik di wilayah ini tentu dapat memperoleh pendapatan dari penjualan listrik kepada masyarakat.
Ada sebuah industri lain yang dapat dimanfaatkan untuk masyarakat lokal, adalah membuat pellet kayu. Pellet kayu jangan diekspor keluar negeri ya! Pellet kayu memiliki kandungan energi yang lebih tinggi karena kering, memiliki bentuk yang uniform yang menghemat biaya pengangkutan dan transportasi. Pellet kayu dapat ditransportasikan ke wilayah lain yang kekurangan tanah subur ataupun sudah ditanami tanaman produktif untuk kebutuhan pangan. Diharapkan dengan adanya program tol laut dari Pak Joko Widodo, penggunaan bahan baku untuk PLTBm dapat direalisasikan.
Tanaman kaliandra merah telah diinisiasi di beberapa wilayah di Indonesia, Pulau Kundur, Pulau Sumba, Pulau Lingga, serta di Bangkalan, Madura. Sedangkan Pembangkit Listrik Gasifikasi Biomassa sepengetahuan saya sudah ada 3 unit di Indonesia, 1 di Pulau Kundur, 1 di Papua, serta 1 di Pulau Sumba
Kondisi di atas merupakan kondisi ideal yang relatif sulit untuk dikembangkan di Indonesia, tantangan infrastruktur, pembiayaan, geografis, serta kondisi wilayah terisolir sangatlah nyata. Mari membangun Indonesia!
 Hanjaya Ekaputra - budak korporat Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H