Mohon tunggu...
Haniva Saydina
Haniva Saydina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Sarjana Prodi Teknik Geofisika di Institut Teknologi Bandung.

Saya antusias untuk berbagi ilmu dan pengalaman yang saya dapat selama di bangku perkuliahan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Dari Sinyal ke Prediksi: Penggunaan Machine Learning pada Gunung Api

10 Januari 2025   03:45 Diperbarui: 10 Januari 2025   03:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cincin Api Pasifik (Sumber: Wikipedia)

Indonesia merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik.Posisi geografis Indonesia yang unik karena berada di pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki aktivitas seismik dan vulkanik yang tinggi.Tercatat bahwa Indonesia memiliki 129 gunung api aktif yang menandakan masyrakat Indonesia harus selalu siap menghadapi erupsi gunung api di masa mendatang.Erupsi gunung api tidak hanya menimbulkan korban jiwa yang tinggi namun berdampak besar pada kerusakan infrastrfuktur serta perubahan tatanan sosial dan ekonomi yang cukup panjang.

Cincin Api Pasifik (Sumber: Wikipedia)
Cincin Api Pasifik (Sumber: Wikipedia)

Gunung api di Indonesia umumnya bertipe stratovulkan.Tipe stratovulkan terbentuk dari hasil subduksi kerak bumi di zona subduksi.Letusan yang dihasilkan dari gunung bertipe seperti ini biasanya bersifat eksplosif dalam periode yang panjang.Namun ada gunung api di Indonesia yang bertipe stratovulkan memiliki letusan yang berbeda.Gunung Merapi yang mengalami perubahan siklus erupsi dimana pada pertengahan abad 19 mengalami  penurunan indeks erupsi dan sejak saat itu interval periodik erupsi cenderung lebih pendek dengan indeks eksplosivitas tetap konstan pada periode erupsi.Gunung Semeru memiliki tipe erupsi strombolian dengan erupsi rata-rata antara 1 hingga 3 tahun.Gunung Sinabung yang bertipe stratrovulkan menunjukkan aktivitas vulkanik setelah periode istirahat selama 400 tahun sehingga erupsi menjadi sulit diprediksi.Gunung Kelud yang menunjukkan aktivitas vulkanik berupa erupsi bertipe pelean pada tahun 2014 setelah masa istirahat dan waktu erupsi yang semakin pendek setelahnya.Gunung Tangkuban Perahu yang memiliki erupsi bertipe efusif yang mana tanda-tanda kemunculannya tidak terlalu jelas,hanya gempa tremor.Kasus-kasus berikut menunjukkan bahwa gunung api Indonesia memiliki periode erupsi dan periode letusan yang berbeda-beda bahkan sulit diprediksi kapan dan bagaimana letusan akan terjadi.

Pemantauan gunung api perlu dilakukan untuk memprediksi kapan dan bagaimana letusan akan terjadi.Dengan begitu dampak yang diberikan kepada masyarakat bisa dicegah dan diminimalisir.Data real-time digunakan dalam memprediksi hal tersebut seperti contoh data seismik.Data seismik sering dipakai dalam pemantauan real-time karena sensitif terhadap gangguan eksternal seperti pergerakan tanah akibat aktivitas manusia atau aktivitas tektonik regional.

Umumnya,data seismik yang ada pada gunung api adalah sinyal vulkano-tektonik (VT) yang mengindikasikan pergerakan magma,sinyal long period (LP) yang bisa mengindikasikan aktivitas yang akan menyebabkan letusan,sinyal very long period (VLP) bisa mengindikasikan adanya letusan yang mengeluarkan magma,abu,dan gas, serta tremor.Namun sinyal tremor bisa diinterpretasikan oleh banyak hal seperti pelepasan gas atau bisa disebabkan karena sensor perekaman data seismik yang kurang sensitif.Tidak hanya sinyal-sinyal tersebut yang dapat terekam oleh sensor namun gempa akibat tektonik regional,aktivitas manusia seperti industri dan mobilisasi di sekitar gunung api juga terekam oleh sensor.Hal ini menjadi tantangan dalam melakukan pengamatan.Banyaknya sinyal yang terekam membuat para pengamat sulit membedakan sinyal yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik dan sinyal yang diakibatkan oleh faktor eksternal diluar aktivitas vulkanik.Selain itu jumlah data real-time yang sangat banyak tidak efisien untuk diproses dan diinterpretasi oleh manusia.

Sinyal Gunung Api (Sumber:Museum Gunungapi Merapi-Kabupaten Sleman)
Sinyal Gunung Api (Sumber:Museum Gunungapi Merapi-Kabupaten Sleman)

Machine Learning dapat menjadi solusi untuk mengatasi permasalahan ini.Machine Learning dapat dilihat sebagai proses pemecahan masalah dengan membangun dan menggunakan model statistik berdasarkan kumpulan data yang ada (Burkov,2019).Machine Learning biasanya dicirikan oleh serangkaian langkah yaitu reduksi data, pelatihan model, evaluasi model, penyebaran akhir model untuk klasifikasi data baru yang tidak diketahui (Carniel dan Guzman,2021).Pada pemecahan masalah vulkanologi,pelatihan data dapat dilakukan secara supervised dan unsupervised.

Pelatihan supervised menggunakan dataset yang didalamnya terdapat pasangan vektor fitur (data kaya informasi) dan label untuk menurunkan sebuah model.Misalkan data vulkano-seismik berisi informasi tentang amplitudo dan frekuensi.Informasi tersebut disebut dengan vektor fitur.Lalu sinyal yang dihasilkan memiliki amplitudo yang relatif kecil serta frekuensi yang rendah dan sinyal tersebut diberi label LP.LP merupakan label yang diberi dengan informasi tertentu yang terkandung dalam vektor fitur.

Pelatihan unsupervised menggunakan dataset yang didalamnya hanya vektor fitur.Dalam hal ini komputer harus mengelompokkan data-data dengan vektor fitur yang sesuai.Pelatihan ini dapat menghasilkan identifikasi data yang dapat diidentifikasi sebagai anomali dari suatu dataset.

Diagram Machine Learning
Diagram Machine Learning
Machine Learning memiliki beberapa teknik dalam penyelesaian masalah.Salah satu teknik yang digunakan pada kasus vulkanologi adalah K-Means Clustering. K-Means Clustering merupakan algoritma pelatihan unsupervised yang digunakan untuk menganalisis berbagai aspek dari dataset. K-Means Clustering akan mengelompokkan gempa bumi akibat aktivitas vulkanik secara otomatis untuk mengidentifikasi jenis gempa. Dalam penelitian ini, kami menerapkan pengelompokan gempa bumi vulkanik secara otomatis pada aktivitas vulkanik Anak Krakatau selama Juni hingga Juli 2014 karena terdapat beberapa jenis gempa bumi vulkanik yang diamati (Hasib dkk.,2023).

Data yang digunakan pada penelitian tersebut adalah data real-time yang direkam dari tanggal 1 Juni hingga 30 Juli 2014. Penelitian ini menggunakan rasio rata-rata waktu pendek terhadap rata-rata waktu panjang (STA/LTA) untuk mendeteksi gempa bumi vulkanik di Anak Krakatau selama Juni hingga Juli 2014. endela waktu 30 detik digunakan untuk analisis bentuk gelombang, dengan fokus pada bentuk gelombang berkualitas tinggi dengan signal to noise ratio (S/N) yang tinggi dan terdeteksi 120 peristiwa gempa bumi vulkanik berkualitas tinggi terdeteksi selama periode penelitian.Parameter seperti rata-rata, amplitudo maksimum, rate of attack,rate of decay, dan frekuensi dominan digunakan untuk analisis K-Means Clustering.

Metode K-Means Clustering mengidentifikasi tiga klaster gempa bumi vulkanik yang berbeda di Anak Krakatau berdasarkan karakteristik bentuk gelombang dan frekuensi.Karakteristik klaster tersebut adalah:

  • Klaster 1: Peningkatan amplitudo yang cepat, kemudian penurunan bertahap; rentang frekuensi dominan 4-4,7 Hz.
  • Klaster 2: Peningkatan amplitudo bertahap, kemudian penurunan bertahap; rentang frekuensi dominan 6-6,5 Hz.
  • Klaster 3: Peningkatan amplitudo bertahap dengan durasi lebih lama, kemudian penurunan bertahap; rentang frekuensi dominan 7-7,5 Hz.

Klaster tersebut masing-masing mengandung 66, 25, dan 9 kejadian, menunjukkan penerapan K-Means Clustering dalam analisis gempa bumi vulkanik.

Berdasarkan hasil yang didapat maka dapat diinterpretasi karakteristik bentuk gelombang sebagai berikut.

  • Klaster 1: Peningkatan amplitudo yang cepat,kemudian penurunan bertahap,dengan frekuensi dominan sekitar 4,6 Hz.; kemungkinan sesuai dengan peristiwa Ledakan Vulkanik.
  • Klaster 2: Peningkatan amplitudo bertahap, kemudian penurunan bertahap, dengan frekuensi dominan sekitar 6,06 Hz.; kemungkinan sesuai dengan peristiwa Vulkanik-Tektonik kedalaman dangkal (VT-B).
  • Klaster 3: Peningkatan amplitudo bertahap dengan durasi lebih lama, kemudian penurunan bertahap, dengan frekuensi dominan sekitar 7,3 Hz; kemungkinan sesuai dengan peristiwa Hibrida.

Selama Juni-Juli 2014, dilaporkan terjadi 50-60 ledakan vulkanik per bulan, bersamaan dengan berbagai gempa bumi vulkanik.Skor siluet yang tinggi (0,84) menunjukkan klaster yang terpisah dengan baik dengan karakteristik yang serupa dalam setiap klaster.Klasifikasi otomatis peristiwa vulkanik menggunakan pembelajaran mesin meningkatkan efisiensi dan akurasi dalam pemantauan gunung berapi, membantu dalam pengurangan risiko dan kesiapsiagaan.

Studi ini menganalisis data seismik dari Gunung Anak Krakatau (1 Juni - 30 Juli 2014) menggunakan pengelompokan K-means untuk mengklasifikasikan gempa bumi vulkanik. Tiga kluster teridentifikasi dengan karakteristik bentuk gelombang dan frekuensi yang berbeda:

  • Klaster 1: Peningkatan cepat pada 1-1,5 Hz, frekuensi dominan 4-4,7 Hz.
  • Klaster 2: Peningkatan bertahap pada 1-2 Hz, frekuensi dominan 6-6,5 Hz.
  • Klaster 3: Peningkatan bertahap pada 2-2,5 Hz, durasi lebih lama, frekuensi dominan 7-7,5 Hz.

Klaster kemungkinan sesuai dengan peristiwa vulkanik yang berbeda: Ledakan Vulkanik, peristiwa VT-B, dan peristiwa Hibrida. Studi ini membantu dalam klasifikasi otomatis peristiwa vulkanik, meningkatkan pemahaman dan mitigasi bahaya. Analisis lebih lanjut selama durasi yang lebih lama diperlukan untuk pengelompokan peristiwa yang lebih akurat.

Dari hasil studi ini machine learning dapat membantu upaya mitigasi bencana di Indonesia khususnya dalam bidang vulkanologi dengan mempermudah pekerjaan dalam jumlah data yang banyak.

Referensi

Hariyono, E., & S, L. (2018). The Characteristics of Volcanic Eruption in Indonesia. InTech. doi: 10.5772/intechopen.71449

Carniel, R., & Raquel Guzmn, S. (2021). Machine Learning in Volcanology: A Review. IntechOpen. doi: 10.5772/intechopen.94217

Hasib, M., Nur, B.A.A., Baith, H.M.A., Muflih, A.M., Suhendi, C., Ghifari, B.F., et al. (2023). Event classification of volcanic earthquakes based on K-Means clustering: Application on Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science.1314 (2024) 012045. doi:10.1088/1755-1315/1314/1/012045

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun