Bumi, satu-satunya rumah bagi manusia untuk bernaung dan berkehidupan ini memainkan peran yang amat penting dalam menyediakan segala kebutuhan untuk bertahan hidup. Alam dan lingkungan, menjadi pondasi yang menyokong struktur pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan manusia bahkan tanpa mengenal ras, suku, agama, atau batas-batas negara. Tanpa presensi ekosistem yang berfungsi secara baik, mustahil manusia dapat terus tumbuh dan membangun peradaban yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Namun kini, manusia dipaksa untuk menyembunyikan diri dari lingkungan luar dan membenamkan dirinya di dalam petak-petak segiempat. Manusia, yang terkenal dengan tangan-tangan perusak alam sekarang justru berusaha menjaga langkah kakinya keluar dari rumah akibat pandemi. Meski mencekam dan telah memakan banyak korban, pandemi Covid-19 ternyata justru membawa angin segar bagi alam dan lingkungan. Jalanan yang lengang akibat karantina wilayah dan mobilisasi aktivitas manusia yang menurun membuat polusi mereda.
Di Indonesia sendiri misalnya, mengutip pernyataan peneliti dari Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ajeng Arum Sari kepada Kompas (24/04/2020), pandemi Corona rupanya mengurangi kadar nitrogen dioksida di udara. Partikulat polusi lingkungan di tahun 2020 menurutnya juga jelas menunjukan penurunan dibandingkan awal tahun 2019. Konteks Covid-19 dan lingkungan hidup ini menjadi signifikan, khususnya karena virus ini disinyalir bersumber dari aktivitas perburuan dan konsumsi hewan liar yang masif. Sementara itu, manusia yang pada akhirnya diminta untuk berdiam di dalam petak rumahnya, telah membantu memberikan kesempatan pada alam untuk bernafas dan memulihkan keseimbangan.
Di tengah masa pandemi, tepatnya hari ini (7 Mei 2020), bertepatan dengan perayaan hari besar bagi umat Buddha, yaitu Waisak. Sebuah hari yang memperingati tiga peristiwa besar, kelahiran – penerangan – kematian. Biasanya, Waisak diperingati dengan gelaran besar yang diadakan di beberapa candi. Bahkan tahun lalu, Waisak juga sempat diperingati melalui gelaran Tribuana Manggala Bhakti yang dipusatkan di Ekowisata Taman Sungai Mundal di Desa Jatimulyo, Kecamatan Grimulyo. Tribuana Manggala Bhakti memiliki esensi bakti terhadap tiga matra ekosistem alam, yaitu matra bumi yang diwakili dengan penanaman pohon, matra udara diwakili dengan pelepasan satwa burung, dan matra air yang diwakili dengan pelepasan satwa ikan.
Sejatinya, ajaran Buddha memang memiliki nilai-nilai yang saling selaras dengan environmentalisme atau upaya pelestarian lingkungan hidup. Keduanya secara khusus berangkat dari kesamaan perspektif bahwa seluruh makhluk hidup berharga serta patut untuk dihargai. Dalam literatur Buddhis, Buddha menjelaskan tentang metta atau wujud cinta kasih yang melingkupi manusia serta makhluk hidup lainnya termasuk binatang, tumbuhan, bahkan juga situs-situs alam seperti gunung dan sungai.
Sepanjang sejarah, manusia telah begitu banyak menorehkan dukkha atau derita pada alam dan lingkungan. Namun begitu pula manusia, akhirnya berkelindan dalam derita akibat degradasi lingkungan dan kerusakan alam. Dampak dari perubahan iklim, polusi dari produk inovasi teknologi ditambah gaya hidup konsumerisme manusia dan perkembangan industri tidak hanya muncul secara fisik atau mengganggu kesehatan manusia, namun juga mempengaruhi mental dan spiritual. Sementara itu, seperti mengutip dari YM Bhante Kuppiyawatte Bodhananda Thero (2019), masyarakat saat ini malahan justru mencari maslahat dalam kefanaan daripada kebajikan.
Salah satu ajaran inti Buddha ialah untuk melepaskan diri dari dukkha yang muncul atas kelekatan kita dengan kehidupan fana melalui sifat keserakahan dan ketidakpedulian. Banyak Bhikkhu (Bhikkhuni) yang menginterpretasikannya termasuk pula dukkha manusia atas krisis lingkungan. Padahal, Buddha juga mengajarkan untuk melepaskan diri dari kefanaan agar bisa menyatu, atau menjadi satu (dengan alam semesta), yang juga disebut dengan Nirvana atau Nibbana atau penerangan. Dalam hal inilah, Prof. Daniel H. Henning lantas bahkan menganggap Buddhism dan ilmu ekologi mendalam sebetulnya berada di bawah satu payung ilmu, sebab keduanya memiliki konsep dasar keilmuan yang identik terkait ‘menyatu dengan semesta.’
Melalui siaran online Puja Bakti dan Pesan Waisak 2564 BE/2020 Wihara Ekayana Arama, YM Dharmavimala Mahathera menyampaikan betapa Nirvana sebetulnya amat lekat dengan kehidupan dan dapat diraih selama hidup. Hanya saja, manusia seringkali kehilangan mawas diri dan mawas akan keharmonisan kehidupan. Di samping itu, justru lebih banyak lagi yang salah menganggap bahwa Nirvana ialah yang dicapai setelah kematian. Kealfaan akan mawas diri dan terhadap keharmonisan hidup ini yang padahal justru membelenggu manusia dalam dukkha di kehidupan. Padahal, di kehidupan kadang ada duka dan derita, namun ada kalanya juga Nirvana.
YM Bhante lanjut menyampaikan bahwa kesadaran akan diri serta akan toleransi dan keharmonisan kehidupan mampu membantu kita mencapai Nirvana dalam kehidupan. Hal ini lah yang mencerahkan kita bahwa untuk mencapai Nirvana, manusia perlu saling menjaga, saling peduli, dan melakukan sesuatu untuk mencipta atau mengubah kehidupan dunia ke arah yang lebih baik. Bila pun sulit, paling tidak kita bisa berusaha mengubah diri sendiri, misalnya dengan mengubah pola hidup yang tidak baik dan menjaga alam serta lingkungan.
Sebagai ajaran yang cukup dihormati, Buddhism memiliki potensi yang sangat baik untuk bisa menggalang kesadaran serta mentransformasi perilaku dan pandangan masyarakat menuju keseimbangan lingkungan yang berkelanjutan. Hanya saja, potensi ajaran Buddha dalam konteks ekoteologi dan gerakan sosial masih belum tersadarkan maupun dikembangkan dengan baik, terutama di Indonesia. Meski begitu, tidak sedikit pula Buddhis yang mulai mendalami, melibatkan diri, bahkan mengembangkan beberapa program atau gerakan kesadaran lingkungan.