Mohon tunggu...
Hanin Septina
Hanin Septina Mohon Tunggu... lainnya -

i'm a dreamer..creating my future..fight!!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dangdut: Antara Moral dan Budaya

26 September 2012   16:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dangdut Indonesia.

Membahas dangdut di Indonesia tak ubahnya membicarakan sinetron Indonesia. Merakyat tapi perlu di kaji ulang dalam segi manfaatnya.
Semua yang berbau dangdut (seringkali) berhubungan dengan “keerotisan”. Yah, bagaimana tidak? Dalam setiap tontonannya, penonton disuguhi, gadis seksi berpakaian ketat, belahannya dimana-mana dan bergoyang heboh. Penonton (terutama kaum adam ) bagaikan terhipnotis dengan tontonan yang disuguhkan didepan. Bahkan (tak jarang) anak-anak dibawah umur juga ikut menonton tontonan tersebut.

Dangdut bisa dibilang musik merakyat. Karena disetiap pelosok desa  pasti mengenal musik dangdut. Dari mulai organ tunggal. Bahkan, setiap saya pulang ke daerah dari Ibukota , tontonan di bus apalagi kalau bukan dangdut. Mana cewek berpakaian mini di zoom, nyanyi entah suaranya bagus apa nggak, yang penting dia mau pake baju mini, goyang2 didepan.

Pasti masih hangat dalam ingatan, konser Lady Gaga yang dilarang di Indonesia dengan alasan “pornografi, agama, dll”. Perlu di kaji ulang tayangan dangdut ini juga menyentuh “pornografi”, apalagi banyak anak2 yang ikut menyaksikan tontonan tersebut.

Sedangkan dangdut sendiri adalah turunan dari musik Malaysia, Arab dan Hindu. Pada perkembangannya dangdut banyak diminati kaum bawah.

Tidak ada yang salah dengan dangdut. Hanya saja, jika dipandang dari segi moral dan pembangunan karakter, saya rasa denga sajian dangdut yang sekaran, dangdut menjadi sesuatu yang (harusnya) di larang. Bayangkan anak-anak SD yang masih sekecil itu, disuguhi tante-tante berpakaian seksi dan meliuk-liuk. Di usia yang sekecil itu, yang (harusnya) mereka diberi INPUT yang positif, malah diberi INPUT yang seperti “itu.


Kalau ingin menyalahkan pemerintah (nggak ada gunanya). Alangkah baiknya, dimulai dari dirinya sendiri. Prevent dari orangtua masing2. Hal-hal “sepele” seperti ini, apabila dibiarkan, seperti bom waktu yang menunggu untuk meledak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun