Mohon tunggu...
Hanifati Alifa
Hanifati Alifa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Gemar menulis | mengutarakan isi hati dan pikiran mengenai isu kekinian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tingginya Biaya Pendidikan dan UKT, Kita Bisa Apa?

11 Februari 2024   21:33 Diperbarui: 11 Februari 2024   21:41 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Biaya kuliah atau UKT yang menjadi tema hangat lantaran dibayar dengan sistem pinjaman membawa saya pada memori di masa perkuliahan. Sudah cukup lama, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Kala itu, saya adalah anggota lembaga pers mahasiswa. Namun sudah ada kegiatan untuk meliput mengenai seminar-diskusi tentang UKT di kampus kami, sebuah PTN di Kota Malang. 

Ada hal menarik saat itu, saat mendengarkan cerita yang disampaikan oleh si pemateri di akhir sesi seminar. Ia mengatakan ada sebuah penelitian terkait pendidikan di Amerika (kalau tidak salah). Penelitian ini dilakukan di sebuah sekolah yang paling baik (fasilitas lengkap) dan sekolah yang paling buruk (fasilitas tidak lengkap). Dari sini, manakah siswa-(dari kedua sekolah tadi) yang  memiliki motivasi lebih tinggi untuk prestasi? Jawabannya adalah tidak pengaruh. Prestasi tergantung pada motivasi, tidak ada hubungannya dengan fasilitas. 

Mari kita coba berpikir. Kita membayar mahal di kampus tempat kita menimba ilmu, mengenyam pendidikan tinggi untuk meraih gelar sarjana, berharap memperoleh pekerjaan dan atau bahkan mungkin diharapkan dapat menciptakan pekerjaan. Sang pemateri berupaya mengajak peserta diskusi dan merenungi keadaan saat itu. Mencoba mempertanyakan apakah dari biaya yang telah kita investasikan atau kita ibaratkan uang yang telah kita tanamkan untuk menuai buah kesuksesan atas studi kita.

Pada saat itu ada sekilas ulasan biaya UKT di salah satu fakultas.

Pada 2013 uang SPP FIB paling mahal adalah:  Rp 4.680.000 X 8  semester = Rp 38.880.000

Pada 2010 uang SPP FIB paling mahal adalah Rp 3.338.750 X 8 semester = Rp 26.710.000

Beda 12 juta 170 ribu.  Dengan demikian melalui sistem UKT (juga ada golongannya), kita tidak akan lagi membayar biaya-biaya untuk ujian, KKN, wisuda, yudisium dsb yang terkait akademik dan operasional. Setiap jurusan memang berbiaya sama di Indonesia, bahkan ada peraturan menterinya, hanya saja di beberapa bagian dikelola oleh universitas dengan pertimbangan yang diambil seperti indeks kewilayahan dan kondisi-kondisi lain. Seringnya kasus kesalahpahaman adalah masih saja ketidaksesuaian fakta dan data terhadap penerima biaya. Ada yang merasa kemahalan, atau malah sebaliknya. Kesalahan bisa saja terjadi pada mahasiswa yang tidak mencantumkan data keuangan sesuai fakta. Sulitnya membedakan penghasilan.

PTN kami saat itu memperoleh peringkat di Web rank  di posisi 7, Webometrics di posisi 6 dan Dikti di posisi 5. Tentu dalam pemeringkatan ini ada indikator penilaian yang harus ditaati. Seperti misalnya, ada paten varietas, publikasi ilmiah, model pembelajaran, penelitian, pengembangan fisik dan non fisik dsb. Tentunya kehebatan ini juga tidak boleh lepas dari cita-cita Tri Dharma Perguruan tinggi; Pengajaran, Penelitian,Pengabdian.

Satu hal yang terpenting juga dalam pembelajaran adalah rasio jumlah mahasiswa dengan jumlah dosen yang seharusnya setara.  
Setiap tahun, jumlah mahasiswa semakin besar, ibarat kapal keruk dia mengeruk harta karun begitu banyak, yaitu maba (mahasiswa baru). Kurang lebih seperti ini:

Dari 2007-2011 ada 15 ribu mahasiswa namun 12 ribu yang mendaftar ulang.

2008-2009 naik 4.000 per tahun

2009-2010 naik 20.000 per tahun

2010-2011 naik 50.000 per tahun

Saya pada saat itu tergolong mahasiswa angkatan 2011, yakni masa dimana kampus saya membuka berbagai prodi baru. Kenyataan di lapangan, rasionya  menjadi 1 dosen : 45 mahasiswa. Disini saya memperoleh info tentang honor dosen FIB yang 1 sks satuannya digaji Rp 35.000 (kala itu). Jadi, antara mahasiswa dan dosen, semua membutuhkan apa yang dinamakan kesejahteraan dan keadilan. Memang, untuk menjadi international dan atas nama "pembangunan" pasti membutuhkan modal dan uang. Dengan demikian, semua menjadi pilihan kita sebagai mahasiswa.

Membayar mahal dan mendapat kualitas pendidikan yang baik atau sudah bayar mahal tapi merasa tidak sebanding dengan kenyataan yang ada? Hal ini tergantung dan relatif kepada mahasiswa yang akan menjawabnya. Apakah jerih payah ortu sebanding dengan ilmu yang diterima...? Kebijakan UKT sendiri belum saya rasakan pada saat saya memulai kuliah di tahun 2011. Meski begitu, saya mengakui jika biaya pendidikan di perguruan tinggi memang mahal. Sistem biaya kuliah saya waktu itu menggunakan SPP golongan berdasarkan pekerjaan orang tua. Seperti halnya ada proses memasukkan data penghasilan dsb sebelum ditentukan mendapatkan golongan berapa. Saya termasuk mendapatkan golongan yang tinggi, hal ini lantaran orang tua saya (hanya Ayah yang bekerja) sebagai pegawai negeri. Saya tetap merasa bersyukur dapat membayar kuliah karena jerih payah serta niat tulus orang tua. Untuk itulah ha terbaik yang saya berikan adalah berupaya menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu. 

Jika saya boleh sedikit berbagi pengalaman apa solusi jika biaya kuliah mahal. Maka kurang lebih seperti inilah solusinya berdasarkan apa yang pernah saya alami. Tidak hanya biaya kuliah yang dibayarkan di awal saja, setidaknya semasa proses belajar pun kita masih akan mengeluarkan biaya lain misalnya untuk bahan kuliah (membeli buku literatur), kegiatan penelitian, penggandaan dokumen, biaya pulsa internet hingga tugas akhir dsb. Untuk itu, jika kita bisa melakukan hal-hal di bawah ini, setidaknya akan sedikit banyak harapannya dapat memberikan keringanan. 

1. Pertama, mengajukan penurunan biaya UKT. Barangkali ada kebijakan demikian di kampus/perguruan tinggi tempat Anda kuliah. Biasanya akan dibantu oleh prodi atau diadvokasi oleh lembaga mahasiswa setempat. Atau jika perlu bisa menemui pihak dekanat, dalam hal ini bidang keuangan. Setidaknya, mahasiswa bisa mencoba upaya ini. 

2. Kedua, mengupayakan mendapatkan beasiswa. Jika uang kuliah masih tetap mahal, cara lainnya adalah mendapatkan beasiswa on going. Ini juga mendorong agar mahasiswa harus aktif mencari di informasi bidang akademik kemahasiswaan. Di jaman saya dulu ada namanya beasiswa PPA-BBM. Syaratnya seingat saya, saya hanya harus mempertahankan dan meningkatkan nilai IPK. Akan ada sejumlah uang yang bisa didapatkan melalui rekening tabungan oleh bank rekanan. Karena siapa sangka, buku tabungan dan rekening warisan 'bekas' beasiswa tersebut karena masih aktif dapat saya gunakan hingga sekarang. Untuk itu, mahasiswa bisa aktif mencari dan memperoleh beasiswa yang tentunya akan menentukan masing-masing persyaratan. Kita hanya menyesuaikan, beasiswa mana yang bisa kita raih. Dan, beasiswa tidak hanya dalam bentuk pembiayaan kuliah saja. Jika memungkinkan, mendapat beasiswa untuk tugas akhir (untuk penelitian atau publikasi) pun juga begitu berarti dan bermanfaat. 

3. Ketiga, mengikuti perlombaan. Biasanya di tingkat perguruan tinggi akan ada berbagai event perlombaan di berbagai tingkat dari regional, nasional hingga internasional. Saya kira ini solusi yang bisa menjadi pilihan. Meski tidak semua mahasiswa bisa mencobanya karena memang membutuhkan motivasi tersendiri. Serta, mengikuti lomba disini tidak saja benefit secara prestasi, namun juga secara materi. Biasanya ada kampus yang memberikan semacam reward atau imbalan atas hasil prestasi / kejuaraan mahasiswa. Ini tentu bisa menjadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa. Selain mendapatkan hadiah dari panitia lomba, kampus juga memberikan apresiasi. Jika mahasiswa berada di lingkungan kampus seperti ini, maka ada baiknya untuk dimanfaatkan. Hasil uang tersebut bisa kita gunakan untuk keperluan kuliah. 

4. Keempat, kerja sampingan atau mengambil part time. Solusi ini pun saya kira bisa menjadi pilihan, meski lagi-lagi juga harus menyesuaikan kondisi masing-masing mahasiswa. Kerja juga membutuhkan motivasi tersendiri. Hal ini lantaran bekerja juga memerlukan waktu sedangkan status mahasiswa juga masih harus menunaikan kewajiban. Tetapi jika kegiatan kerja sampingan ini berada di ranah akademik seperti menjadi asisten dosen baik di bidang pengajaran atau penelitian-pengabdian mereka, hal ini akan sangat bermanfaat. 

Dengan demikian, tingginya biaya pendidikan dan UKT, apa yang bisa kita lakukan? Hal-hal di atas barangkali menjadi masukan, saran dari saya berdasarkan pengalaman masa kuliah yang pernah saya alami. Jika para pembaca sedang pada posisi apakah saya perlu kuliah atau tidak lantaran ragu-ragu melihat dan membayangkan biaya yang tinggi, ada baiknya melakukan renungan serta perencanaan terlebih dahulu. Apa motivasi kita kuliah, apa urgensi dan keperluannya. Apakah kita memerlukan gelar dan kompetensi tertentu dengan proses belajar di perguruan tinggi? Mengapa demikian, karena di hari ini, semenjak lahir Merdeka Belajar, kita bisa lihat bahwa belajar bisa dimana, kapan saja dan oleh siapa saja. Selain itu, didukung dengan teknologi IT yang serba cepat dan lengkap seperti sekarang, memungkinkan kita untuk belajar secara daring. Sudah banyak pelatihan, lembaga, serta komunitas yang membuka kelas pelatihan ruang belajar yang bisa kita akses baik secara gratis maupun berbiaya. Baik secara daring, partisipasi kelas fisik maupun keduanya. Nah, pilihan ada di tangan Anda. 

Akhir kata, tetap semangat dan berpikir positif demi meraih pendidikan terjauh tertinggi dan terbaik versi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun