Mohon tunggu...
Hanif Wibowo
Hanif Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"The ignorance of one voter in a democracy impairs the security of all." - John F. Kennedy

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Apakah TNI-Polri Solid dalam Menghadapi Premanisme Jalanan Berbentuk Ormas Radikal?

22 November 2020   19:15 Diperbarui: 22 November 2020   19:31 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Front Pembela Islam memang dibentuk untuk bikin gaduh, apapun klaim moral yang disematkan sebagai alasan gerakannya. Jadi, jangan telan bulat-bulat bila ada yang mengatakan bahwa organisasi ini mewakili aspirasi umat Islam.

Siapapun paham bahwa FPI, demikian organisasi ini disingkat, adalah hasil dari tarik menarik kepentingan ekonomi-politik elit orba. Kelompok yang ingin mempertahankan status quo tersebut mengangkangi identitas keIslaman dan membentuk premanisme berbaju ormas.

Tujuannya satu, yaitu membenturkan masyarakat sipil akar rumput satu sama lain di jalanan, yaitu antara massa ormas pendukung orba dan kelompok sipil penentangnya. Pertanyaannya, bila dulu ia didanai oleh pendukung Orba, sekarang siapa lagi yang menjadi penyuplai keuangannya?

Pilpres 2014 dan 2019 sudah menunjukkan bagaimana FPI, bersama kelompok Islam konservatif lainnya, bermain di kontestasi politik mendukung paslon tertentu. Tidak hanya di Pilpres, mereka juga bermain di Pilkada di seluruh Indonesia, menyebarkan sentimen antirasial.

Partai nasionalis Gerindra saat pilpres 2019 tergiur berselingkuh dengan FPI bahkan Ketumnya akan menjeput HRS. Pilkada DKI 2017 adalah contoh paling gamblang yang sekaligus menunjukkan "kesuksesan" mereka dalam membangun bargain politik melalui konsolidasi massa.

Pilkada DKI boleh saja menunjukkan kesuksesan, tetapi tidak di dua edisi Pemilu Presiden. Namun, kekalahan elektoral tersebut tidak mematikan langkah mereka. Yang ada kini kelompok intoleran ini semakin besar.

Bukan tidak mungkin jika untuk Pemilu 2024 nanti, tidak hanya politisi dari partai Islam seperti PKS saja yang memanfaatkan FPI. Partai yang menyebut diri nasionalis pun mulai tergiur untuk berkoalisi dengan kelompok ini.

Kalau di 2017 "perselingkuhan" ideologis tersebut dilakukan oleh Demokrat, yang di tahun kembali 2019 bergerak secara malu-malu, maka partai nasionalis mana yang nanti akan menyusul di 2024? Sulit sekali untuk menafikan konteks Pilpres 2024 dalam kedatangan Habib Rizieq Shihab di era Pandemi ini.

Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta yang digadang-gadang akan menjadi Capres 2024, sudah menemui HRS. Nafsu politik Anies rupanya lebih besar daripada konsekuensi yang ditimbulkan dari kunjungan tersebut. Anies menunjukkan dirinya sebagai oportunis ulung.

Anies rupanya sudah cuek bebek yang sebagai Gubernur menunjukkan kebodohannya dengan melanggar Protokol Kesehatan yang ia buat sendiri untuk DKI. Ketika ia diperiksa oleh Polisi, muncul suara pembelaan dari Nasdem.

Melalui Ketua Fraksi Nasdem DPRD DKI Wibi Andrino, partai tersebut mulai mendukungnya. Apakah ini pratanda untuk koalisi politik? Ketidaktegasan Partai Politik dalam menyikapi pelanggaran protokol oleh massa FPI ini menunjukkan bahwa mereka butuh FPI.

Sampai saat ini baru PDI-Perjuangan yang tegas melawan arogansi massa FPI itu. Yang lain melempem dan malah cenderung mencari aman dengan mengeluarkan pernyataan yang diplomatis. Di tahun Pilkada, partai mana yang mau dicap antiIslam?

Arogansi FPI di jalanan dan mulut HRS akhirnya terhenti ketika TNI terpaksa turun untuk menunjukkan kekuatan. Harus diakui, Polisi kewalahan mengurus massa ini. Karena anak buahnya tidak tegas, Kapolri mencopot bawahannya. Irjen Nana Sudjana dan Irjen Rudy Sufahriadi.

Pencopotan dua Kapolda Metro Jaya dan Jawa Barat adalah bukti bahwa Kapolri tidak main-main dengan bawahannya yang tidak berani bertindak tegas. Melihat ketegasan Polri, TNI pun juga mulai mensolidkan barisannya.

Panglima TNI Hadi Tjahjanto keluar memberi pernyataan bahwa perusuh akan berhadapan dengan TNI. Ia bahkan mengunjungi markas pasukan khusus untuk melihat kesiapsiagaan pasukan. Rupanya, ada hal genting yang tidak diketahui publik tetapi mulai diendus aparat keamanan.

Tidak ada pemimpin FPI yang berani berkomentar banyak setelah itu. Mereka sadar, bahwa mereka mungkin bisa membangun bargain dengan Partai Politik, tetapi tidak dengan institusi Polri dan TNI. Sejak Pilkada DKI, Polri dan TNI memang diadu domba oleh kedua kelompok ini.

Polri dijelek-jelekkan dan TNI dijunjung tinggi. Waktu itu, Panglima TNI Gatot Nurmantyo kemakan hasutan mereka yang ingin mencalonkan dia menjadi Presiden. Untuk menarik kontras, Kapolri saat itu Tito Karnavian dijadikan musuh bersama.

Namun apakah institusi TNI bisa diarahkan begitu saja oleh Gatot Nurmantyo? Tentu tidak! Ketika Gatot "dicopot" sebelum waktu pensiun dan digantikan oleh Hadi Tjahjanto, soliditas TNI dan Polri semakin menguat. Kapolri baru Idham Aziz mempertahankan soliditas tersebut.

Menariknya, pada 19 November kemarin, sebuah video beredar di melalui aplikasi berbagi pesan. Video menampilkan iring-iringan mobil berlapis baja milik TNI, tengah melintasi Petamburan dengan sirine yang meraung-raung.

Dalam video, mobil lapis baja tersebut bertuliskan Komando Operasi Khusus (Koopssus). Mobil sempat berhenti di Jalan Petamburan, atau di depan gang menuju markas FPI. Tidak jelas apa yang membuat iring-iringan itu berhenti. Selama berhenti, sirine terus meraung-raung.

Kapuspen TNI ketika ditanyai terkait hal tersebut belum menjawab. Kita bertanya, apa maksudnya TNI melakukan hal tersebut? Tentu ini adalah aksi simbolik yang mau mengatakan bahwa FPI jangan main-main dengan Negara.

Ketegasan TNI tidak bisa digoyang oleh siapapun. Usai sikap tegas yang disampaikan Panglima, Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurachman juga angkat bicara. Ia secara tegas mengingatkan Rizieq Shihab untuk tidak berkata kotor kepada masyarakat dan institusi TNI-Polri.

Apalagi HRS mengklaim dirinya sebagai Habib, maka berlaku baik lah sebagaimana layaknya seorang Habib. "Ucapan dan tindakan harus baik. Saya sebagai orang Islam prihatin kalau bahasa seorang habib di peringatan Maulid Nabi bahasa dan ucapannya kotor." ujar Dudung.

Sikap tegas Kapolri dan bawahannya yang diikuti oleh sikap tegas Panglima dan anak buahnya tentu sangat diperlukan. Demokrasi memang membuka ruang bagi kebebasan berpendapat, tetapi kebebasan berpendapat jangan sampai mematikan demokrasi itu sendiri.

Oleh karena itu, sikap tegas dari alat negara untuk menertibkan kelompok-kelompok yang tidak siap berdinamika dalam demokrasi harus dipertahankan. Ini penting untuk menjaga wibawa negara dan memupuk kepercayaan masyarakat terhadapnya.

Sikap tegas itu harus diikuti dengan penertiban internal anggota kesatuan. Bukan rahasia lagi bila dalam institusi TNI dan barangkali juga Polri, penetrasi kelompok radikal semakin meluas. Dalam institusi TNI ada 2 (dua) personel dari AD & AU yang meneladani HRS melalui medsos. Ini adalah gunung es.

Kita butuh pelindung masyarakat dan Negara yang selain humanis juga pluralis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun