Mengapa Andika Perkasa Bukan The Next Panglima TNI?
Ketika Andika Perkasa diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, aktivis HAM menyatakan kekecewaannya terhadap Jokowi. Jokowi dinilai tidak memiliki komitmen terhadap penuntasan masalah HAM masa lalu. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam ucanews.com, mengatakan bahwa Andika bukan seorang reformis.
Hamid mengatakan akan sulit bagi Andika untuk merevisi undang-undang tribunal militer yang telah banyak memakan korban sipil. Sebab, Andika dianggap dekat dengan orang-orang yang diduga pernah melakukan pelanggaran HAM di masa lalu.
Bonar Tigor Naipospos, wakil ketua Setara Institute for Peace and Democracy, sebagaimana ditulis ucanews.com, dengan lebih gamblang mengatakan bahwa Andika tidak hanya dekat dengan tokoh pelanggar HAM tetapi juga diduga terlibat di dalamnya. Pada tahun 2001, Andika diduga terlibat dalam pembunuhan Dortheys Hiyo Eluay di Papua. Theys meregang nyawa usai menghadiri undangan peringatan Hari Pahlawan di markas Kopassus di Jayapura.
Saat itu empat perwira dan tiga serdadu Kopassus diadili lantaran kasus tersebut, Andika bukan salah seorangnya.
Surat yang dikirim oleh Agus Zihof, ayah seorang terdakwa, Kapten Inf. Rionardo, menyeret nama sang mantu ke pusaran hitam pelanggaran HAM di Papua. Surat Agus kepada Kasad Ryamizard Ryacudu itu mengisahkan betapa anaknya dipaksa mengakui pembunuhan Theys oleh seorang yang bernama Mayor Andika.
Dengan demikian pendapat bahwa Andika bukan seorang reformis sangat tepat, sebab ia terganjal kasus HAM berat di masa lalu. Ini menjadi alasan mendasar mengapa ia tidak bisa menjabat sebagai Panglima TNI. Pemimpin sipil membutuhkan dukungan militer untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia. Tanpa dukungan militer, penyelesaian itu akan sulit.
Selain itu, sekarang kita lihat, bagaimana Andika Perkasa membangun citranya saat mengawal kasus Covid-19. Bagi Andika, citra perlu digerek agar posisi Panglima bisa didapatkan. Kalau itu terwujud, jalan menuju kursi Capres terbuka lebar. Pemolesan citra dimulai ketika Andika dipilih sebagai Wakil Ketua Komite Pelaksana Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mendampingi Menteri BUMN, Erick Thohir.
Semua orang bertanya, apa kapasitas Andika Perkasa, seorang Militer, dalam bidang Ekonomi? Publik menilai, penetrasi militer dalam posisi-posisi sipil sudah terlampau dalam.
Bila Andika adalah seorang pemimpin yang baik, ia akan memahami bahwa posisi itu tidak tepat untuknya. Menghargai supremasi sipil di negara ini sangat penting dan kedisiplinan militer untuk tetap berada di barak harus terus dilakukan agar tidak terjadi lagi kebangkitan neo orde baru yang otoriter. Namun karena tujuannya adalah meningkatkan citra, apa pun diambil melalui lobi-lobi kekuasaan yang memang sangat dimiliki oleh Andika ketimbang petinggi militer lain di negeri ini. Â
Selain itu, niatnya membawa solusi yang baik bagi bangsa, obat antivirus yang diklaim dirinya dalam penelitian bersama Unair malah ditolak oleh BPOM, karena proses pembuatan obat tersebut tidak sesuai prosedur ilmiah. Beruntung publik acuh tak acuh dengan niat ini. Tentu juga karena penetrasi informasi dari WHO yang kredibel sudah membuat publik melek. Tetapi mengapa seorang Jenderal mesti ikut campur terlalu dalam pada urusan ilmuwan yang merupakan wilayah utama kerja masyarakat sipil di Republik ini?
Berniat memulihkan ekonomi nasional dengan mengatasi Covid-19, Andika Perkasa malah kecolongan ketika beberapa cluster Covid-19 justru muncul dari TNI Angkatan Darat.
Ada Cluster dari Secapa AD, TNI AD BKO Papua Barat, Pusat Pendidikan Polisi Militer (Pusdikpom) Kodiklat AD Cimahi, dan Resimen Induk Kodam (Rindam) I Bukit Barisan Sumatera Utara. Di sini jelas ada problem kepemimpinan. Andika sejatinya fokus pada tupoksi utamanya saat ini sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Terlalu banyak ke luar membuat Pak Jenderal kehilangan perhatian pada pekerjaan pada rumah sendiri.
Tidak hanya itu, insiden penyerangan oknum TNI AD terhadap Polsek Ciracas menjadi batu sandungan bagi Andika. Setidaknya sudah ada dua kali serangan oleh anggota TNI AD terhadap Polsek Ciracas. Yang pertama di tahun 2018 dan yang kedua di tahun 2020 ini. Alasan penyerangan tentu tidak perlu dikemukakan di sini.
Pembaca bisa berselancar di internet dan mencari tahu persoalannya. Tetapi yang penting untuk dibahas adalah, mengapa kejadian berulang terjadi pada kepemimpinan KSAD yang sama? Mengapa Andika tidak belajar dari pengalaman?
Andika memang terlihat tegas saat menghadapi pelaku penyerangan yang tidak lain adalah anak buahnya tersebut. Namun di balik ketegasan, tersingkap kerapuhan kepemimpinan. Ia bahkan hendak memecat pelaku penyerangan tersebut. Ini tentu tidak lebih dari sekadar usaha cuci tangan. Sebagai pemimpin, Andika harus siap dikoreksi. Dalam kasus ini, tugas pembinaan prajurit oleh KSAD adalah titik lemahnya. Menjalankan tugas di lingkup terkecil saja masih susah, apalagi di lingkup yang besar sebagai Panglima?
Role model Panglima yang baik di negeri ini adalah Jenderal Soedirman. Sebagai pemimpin, ia adalah orang yang mau rela berkorban. Dalam perang revolusi, ketika sedang dalam sakit paru-paru, Soedirman berani berperang bersama prajurit-prajuritnya. Ia bukan pemimpin yang mau menaruh anak buahnya di depan agar bisa terlindungi dan selamat.
Tentu, dalam kondisi Indonesia yang tidak sedang perang ini, spirit Soedirman bisa dilihat dalam hal kinerja kepemimpinan. Berani mempertaruhkan nyawa demi anak buahnya adalah sikap yang harus dimiliki seorang panglima.
Lebih lanjut, Soedirman bukan tipe orang yang suka tampil di muka. Baginya perjuangan adalah jalan sunyi. Keberhasilan yang digapai merupakan perjuangan bersama dalam rangkaian revolusi yang panjang. Siapa pun yang menjadi petinggi militer di negara ini mesti tunduk terhadap pelayanan dan bukan mengejar nafsu jabatan.
Sekarang ini kita tengah menghadapi Pandemi Covid-9. Keputusan yang dibuat oleh elit adalah keputusan yang menentukan hidup dan mati.
Maka, siapa pun yang memegang jabatan, harus menjalankannya dengan sebaik mungkin demi kepentingan masyarakat. Yang ada, malah saling klaim paling berhasil agar citra dirinya bagus di mata publik sehingga memiliki kans yang baik dalam kontestasi politik. Kalau sudah seperti ini, nasib masyarakat benar-benar menjadi bahan perjudian. Kembali ke Andika, harus diakui memang bahwa ia adalah Jenderal yang Pancasilais.
Namun, menjadi Pancasilais itu tidak cukup. Ia harus memiliki etos kepemimpinan yang baik agar mampu mereformasi TNI. Salah satu yang paling utama dan yang paling dinantikan masyarakat sipil adalah penyelesaian kasus HAM. Apakah Andika Perkasa orangnya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H